Sejarawan: Jejak Khilafah di Singapura Ada Sejak Kekhilafahan Utsmani
Mediaumat.id – Mengungkap jejak-jejak khilafah di Singapura, Sejarawan Nicko Pandawa menerangkan, jejak dimaksud ada sejak zaman Kekhilafahan Utsmaniah.
“Jejaknya yang paling kentara itu semenjak zaman Khilafah Utsmaniah,” ungkapnya dalam Special Interview: Jejak Islam dan Khilafah di Singapura, Senin (23/5/2022) di kanal YouTube Rayah TV.
“Khususnya di bantaran Selat Malaka itu mendapat pengaruh dari Khilafah Utsmani, tepatnya di pertengahan abad ke-19. Yakni sekitar tahun 1860-an,” sambungnya.
Di era itu, kata Nicko, daratan tersebut namanya sudah menjadi Singapura yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Temasek.
Awalnya, Malaka dan Singapura sama-sama masuk dalam wilayah yurisdiksi Belanda. Namun konsekuensi dari Traktat London 1824, Belanda dan Inggris bertukar wilayah jajahan.
“Belanda mengasihkan wilayah jajahannya di Semenanjung Melayu itu kepada Inggris, sementara Inggris memberikan wilayah Bengkulu kepada Belanda,” ungkapnya.
Berangkat dari situ, Singapura yang pada tahun 1826 masuk dalam wilayah administratif bernama straits settlements atau negeri-negeri selat, menjadi sangat berkembang berikut tiga pelabuhan di dekat Sabah.
Apalagi, kebijakan gubernur pengganti setelah Stamford Raffles, menjadikan Singapura sebagai pelabuhan bebas. “Maksudnya enggak ada cukai, yang kemudian diberlakukan kepada kapal-kapal yang melintas,” tuturnya.
Hingga seperti diketahui, Kekhilafahan Utsmaniah dalam hal ini Sultan Abdul Majid I menempatkan seorang duta besar atau konsulatnya di sana pada tahun 1860.
“Yang ditempatkan pertama itu adalah Sayyid Umar al-Junaid. Beliau ini adalah seorang Arab Hadrami, Arab dari Hadramaut yang semulanya itu tinggal dan beraktivitas di Palembang,” sambungnya.
“Kemudian pergi ke Singapura, di situ diangkat oleh Khalifah Abdul Majid I sebagai konsul,” tambahnya sembari menyebutkan, jabatan konsul ketika itu terus berganti-ganti hingga muncul sebuah nama Sayyid Shafi.
Sebagai penegas, ia tunjukkan sebuah buku Malay Seals karya Annabel Teh Gallop, berikut satu cap dari Konsul Utsmani di Singapura yang termaktub di dalamnya.
Surat berikut cap, menurut keterangan buku tersebut, kata Nicko, diperuntukkan bagi Yang Dipertuan Tengku Raja Ali Riau dari Paduka Ayahanda Tuan Sayyid bin Syarif as-Shafi bin Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Habashi al-Alawi di kampung Gelam, Singapura.
“Sampai hari ini Kampung Gelam di Singapura itu memang menjadi kawasan yang padat populasi Muslimnya,” sebutnya.
Maka, tutur Nicko, keberadaan tokoh-tokoh Utsmaniah di Singapura kala itu memang benar-benar amat berperan.
Ertugrul
Terkait pula jejak khilafah di sana, sampailah pada satu peristiwa lain yang menurut Nicko menarik, yakni pada waktu kapal perang model fregat Ertugrul milik Kekhilafahan Utsmaniah melakukan perjalanan laut ke Jepang sebagai bentuk hubungan bilateral untuk bisa bersama-sama melawan hegemoni Barat.
Terlepas itu, di dalam ekspedisi laut dari Turki ke Jepang, tentu Ertugrul mampir ke beberapa tempat. Mulai Mesir, Yaman, India, Singapura, Hongkong hingga Yokohama Jepang.
“Ketika kedatangan Kapal Ertugrul di Singapura, di Selat Malaka, itu banyak sekali kaum Muslimin yang bergembira berikut sultan-sultannya,” katanya.
Ia juga mengatakan, kala itu kapal fregat tersebut berlabuh di Singapura pada tahun 1890. Era yang di dalamnya banyak sekali peperangan terjadi. Di Sumatera, Jawa, Semenanjung Melayu sampai Kalimantan. “Baik itu Kalimantan Timur sekarang jadi Indonesia, maupun Kalimantan yang sekarang menjadi Malaysia dan Brunei,” jelasnya.
Sehingga, kata Nicko, saat itu banyak sultan yang kemudian sangat senang, lantas mengirim surat ke Osman Pasha, untuk selanjutnya disampaikan ke Khalifah di Istanbul, Turki.
Perlu dipahami, Osman Pasha yang memiliki nama Ali Osman adalah seorang kapten dari Kapal Ertugrul, sekaligus ketua delegasi yang dikirim Kesultanan Ustmaniah.
Menegaskan hal itu, Nicko mengaku telah menemukan di arsip-arsip Utsmani bahwa yang melakukan korespondensi dimaksud ternyata kesultanan dari berbagai wilayah. Sebutlah Sultan Aceh Muhammad Daud Syah, Sultan Tambusai di hulu sungai Rokan (Riau daratan) Zainal Abidin bin Abdul Wahid.
“Dan termasuk kemarin saya tulis adalah surat dari Qadhi Singapura,” tukasnya seraya menerangkan, qadhi merupakan hakim yang berwenang mengurus urusan peradilan atau yang menyangkut kehidupan kaum Muslim di suatu wilayah.
Lantas ia pun menunjukkan sebuah buku berjudul Ottoman Southeast Asian Relations yang penyusunannya memakan waktu 10 tahun oleh Ismail Hakki Kadi dan Andrew Charles Spencer Peacock.
Di dalamnya termuat foto surat dari qadhi dimaksud, yang ditujukan kepada Khalifah Abdul Hamid II melalui Osman Pasha. “Sampai disebutkan surat ini untuk siapa. Amirul Mukminin Sultan Gazi Abdul Hamid II, anaknya Sultan Abdul Majid I,” jelas Nicko.
Di dalam surat tersebut, tertulis pula doa-doa mengharap kebaikan atas khalifah, dengan terjemahan sebagai berikut, ‘Semoga Allah menguatkan kedudukannya, singgasana kerajaannya dan khilafahnya dengan keberadaan Khalifah Abdul Hamid’.
Bahkan di paragraf pertama pun, sambungnya, tercantum pula doa memohon kebaikan bagi para tentara tauhid dan menghancurkan musuh-musuh Islam. “Semoga Allah menolong pasukan-pasukan dan tentara-tentara kaum tauhid, para ahli tauhid. Semoga Allah menghancurkan orang-orang kafir, orang-orang rafidah, orang-orang musyrik,” urainya.
Dengan demikian, apabila diukur dengan sikap negara Singapura terhadap Islam dan ajaran-ajarannya, menurut Nicko, sangat bertentangan dengan pandangan rakyat Singapura terhadap khilafah di era Ustmani yang lampau.
Terlebih, keberadaan qadhi di Singapura kala itu justru menegaskan bahwa di sana pun pernah diberlakukan hukum Islam, walau kata Nicko, hanya kepada kaum Muslim.
“Karena saat itu yang menjadi otoritas penguasanya itu governor of settlements, gubernur di Selat Malaka. Tetapi tetap ada qadhi. Mereka tetap menjalankan hukum Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian