Secara Hukum, OPM Ditetapkan Sebagai Teroris, Namun …
Mediaumat.id – Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. menyampaikan, pemerintah sebenarnya secara resmi telah menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi teroris.
“Sebenarnya secara hukum, pemerintah secara resmi telah menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi teroris,” ungkapnya kepada Mediaumat.id, Senin (17/4/2023)
Keputusan itu, kata Riyan, merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
“Ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 di mana yang dikatakan teroris itu adalah siapa pun orang yang mengancam, menggerakkan dan mengorganisasi terorisme,” ucapnya, mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud, dalam suatu wawancara pada April 2021 lalu.
Disebutkan demikian, sebab untuk menegaskan kembali bahwa kelompok separatisme bersenjata Papua merdeka adalah memang sebuah organisasi terorisme, bukan sekadar kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Betapa tidak, sebagaimana informasi terbaru sebelumnya, pada Sabtu (15/4/2023) sore waktu setempat, teroris OPM menewaskan enam prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan sembilan lainnya dalam tawanan setelah kelompok teroris melakukan serangan di Pos Militer Mugi di Distrik Nduga.
Dikabarkan dalam serangan itu juga, 21 anggota dari satuan Kostrad TNI, pun belum diketahui nasibnya sampai saat ini.
Kendati demikian, sambung Riyan, dalam hal penanganan, terdapat inkonsistensi pemerintah dalam melaksanakan keputusan tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ini. “Terlihat di lapangan banyak ketidakkonsistenan, yang memperlihatkan kesan kelambanan pemerintah dalam menindak secara menyeluruh KKB OPM,” terangnya.
Sehingga hal ini menjadi satu faktor keberadaan teroris OPM seolah tak tersentuh dan bahkan terus-menerus melakukan teror, baik kepada penduduk sipil maupun aparat militer serta polisi.
Standar Ganda
Faktor lain yang juga terkait dengan kelambanan penanganan dimaksud, menurut Riyan adalah keterlibatan Amerika Serikat (AS) yang tengah menerapkan standar ganda.
Sebut saja ketika dahulu AS mengusir Belanda dari Papua lantas menyerahkan ke Indonesia. Kini dalam kasus ketika ada tindakan tegas dari aparat militer Indonesia terhadap teroris OPM, mereka meneriakkan isu pelanggaran HAM.
Pun demikian dengan persoalan Timor Timur. “Permainan kotor Amerika dengan standar ganda ini (juga) terjadi di kasus lepasnya Timor Timur,” tambahnya.
Kala itu, tepatnya tahun 1975, AS masih mendukung penggabungan Timor Timur ke Indonesia dari Portugis. Tetapi pada 1999, AS memaksa Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur sehingga menjadi negara sendiri, Timor Leste.
Namun, hal yang lebih patut disesalkan terkait itu adalah tindakan yang diambil rezim dalam hal penanganan antara teroris OPM dengan kelompok Islam yang dianggap radikal menurut Riyan pun sangat berbeda.
Artinya, gerak cepat yang dilakukan rezim terhadap suatu kelompok Islam yang dianggap radikal tidak dilakukan hal serupa dalam penanganan kasus teroris OPM.
Menurutnya, perbedaan ini terjadi dikarenakan orientasi sikap politik rezim hari ini yang menjadikan isu radikalisme-terorisme untuk memukul dan membungkam kelompok Islam yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Lebih jauh, rezim ini sedang berpihak kepada AS yang juga menggaungkan hal sama. Ditambah, sikap ini sebagai bagian dari isu global war on terrorism (GWOT) yang intinya, kata Riyan, adalah war on Islam (WOI).
Maka tak heran, yang menjadi korban adalah kelompok Islam.”Ini tidak terjadi kepada kelompok non-Islam, dalam hal ini teroris KKB OPM,” sesalnya.
Karena sekali lagi, menurut Riyan, mereka digunakan oleh AS dengan standar gandanya untuk menekan pemerintah Indonesia di satu sisi dengan isu HAM, namun di sisi lain, AS tetap mengendalikan negeri ini untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka, seperti mengeruk tambang emas dan migas.[] Zainul Krian