Mediaumat.id – Pihak-pihak berkepentingan yang menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) perlu segera disahkan menjadi undang-undang agar bisa menghentikan maraknya kasus kekerasan seksual saat ini, justru dibantah oleh Cendekiawan Muslim sekaligus Pakar Peradaban Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar.
“Mereka punya agenda tertentu juga. Tentu tidak benar kalau ini (RUU TPKS), itu memang untuk mengurangi kekerasan seksual,” ujarnya dalam FGD #25 FDMPB bertajuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): Urgensi dan Solusi? di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Sabtu (18/12/2021)
Sebelumnya, ia mengaitkan masa depan peradaban manusia yang tentu di dalamnya terdapat kebutuhan biologis manusia, dengan kemajuan teknologi yang saat ini sering disebut revolusi industri 4.0, dan bahkan saat ini sudah maju lagi ke society 5.0.
Terkait kemajuan teknologi, terang Fahmi, pada masa society 4.0 manusia dituntut untuk dapat lebih memiliki kemampuan memecahkan masalah kompleks, berpikir kritis, dan kreativitas. Apalagi, pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya memerlukan tenaga ahli, saat ini sebagian besar terbantu oleh mesin.
Tetapi, untuk profesi semisal melayani anak, orang tua, orang sakit, menurutnya sama sekali tak bisa diotomatisasi. Karena memang tak bisa dibuat algoritmanya.
Begitu juga dengan aktivitas para aktivis LSM, diplomat, negarawan dan di bidang kesehatan spiritual yang dikarenakan melibatkan emosi, sosial atau spiritual, profesi-profesi itu juga tak akan terimbas kemajuan teknologi.
Sebagaimana yang justru pernah terjadi pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Banyak penduduknya yang sebetulnya memiliki pekerjaan cukup baik, memiliki skill sebagai teknisi, insinyur, pegawai bank, terdampak langsung dari revolusi industri kedua.
“Banyak sekali hal-hal itu dibuat mekanis, dibuat otomatis. Padahal belum seperti sekarang otomatisasinya. Tetapi waktu itu cukup membawa dampak bagi mereka. Sehingga kemudian ada depresi besar,” ungkapnya.
Keluarga
Berkenaan dengan RUU TPKS, Fahmi mengorelasikannya dengan institusi keluarga berikut profesi yang dibutuhkan dari adanya keturunan. “Menyayangi anak, mendidik anak, melayani orang tua yang dalam bahasa Islam itu birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) dan tarbiyatul aulad (pendidikan anak),” terangnya.
Bahkan di negara-negara maju sudah mulai muncul kekhawatiran angka pertumbuhan penduduk yang negatif. “Di Jerman, di Prancis, di Swedia, dsb. Itu pertumbuhan penduduknya negatif,” kata Fahmi.
“Sehingga mereka sudah memperkirakan jangan-jangan nanti di tahun 2100 sudah enggak ada lagi ras Jerman yang asli. Itu enggak ada lagi, punah. Nah ini tentu tidak kita inginkan,” imbuhnya.
Secara Indonesia, ujarnya, kerusakan semacam berpotensi muncul seiring dengan disahkannya RUU TPKS atau pun Permendikbud No. 30/2021. “Rusaknya karena apa? Rusaknya karena liberalisasi seksual, maka kita tidak bisa bayangkan bahwa masyarakat kita ke depan ini akan selamat,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa liberalisasi seksual yang ada di negara-negara Barat termasuk Jepang juga telah membuat keluarga-keluarga di sana berhancuran. “Institusi keluarga tidak lagi menarik. Kenapa? Karena untuk apa punya keluarga, toh kalau tujuannya adalah kebutuhan biologis bisa didapatkan dengan cara di luar keluarga,” ucapnya.
Oleh karena itu, RUU TPKS dan Permendikbudristek No. 30/2002, dinilainya amat membahayakan masa depan institusi keluarga yang pada akhirnya membahayakan pula bagi peradaban manusia di tengah derap teknologi 4.0.
Lantas, agar masyarakat tidak terjebak dalam liberalisasi seksual yang telah menjerat peradaban Barat kepada jurang masalah, ia mengajak untuk lebih memahami hal-hal semacam itu. “(Sehingga) dari banyaknya detail masalah filosofis, sosiologis, pendidikan, hukum, kesehatan hingga peradaban, secara sistematik masih perlu dikomunikasikan lebih baik,” pungkasnya.[] Zainul Krian