Sebut Rempang Eco City Bagian PSN, Langgar UU?

Mediumat.idPenyebutan Rempang Eco City sebagai salah satu dari proyek strategis nasional (PSN), dinilai Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, telah melanggar Undang-Undamg (UU) Cipta Kerja itu sendiri.

“Pemberian status PSN tampaknya melanggar Undang-Undang Cipta Kerja itu sendiri,” ujarnya dalam pers rilis yang diterima Mediaumat.id, Sabtu (23/9/2023).

Pasalnya, status sebagai PSN hanya bisa diberikan untuk proyek pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD.

Namun bukanlah Anthony, apabila mengkritik tanpa memaparkan data. Tepatnya di Bab X, Pasal 173 ayat (1) UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

“Pemerintah pusat atau pemerintah daerah… bertanggung jawab dalam menyediakan lahan… bagi proyek strategis nasional dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,” tulisnya, mengenai pasal tersebut.

Artinya, pemerintah tidak boleh ikut campur menyediakan lahan untuk proyek Rempang Eco City yang dikelola swasta. Apalagi tambahnya, sampai mengusir warga setempat dengan istilah relokasi atau pengosongan sekalipun.

Makanya, melihat apa yang telah dilakukan pemerintah terkait pelepasan maupun penggunaan kawasan hutan Rempang untuk proyek Rempang Eco City yang notabene swasta, jelas melanggar UU.

Pelanggaran Lain

Pun pemberian lahan seluas satu pulau atau sekitar 17.000 hektare untuk satu investor Rempang Eco City, kata Anthony, melanggar UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

“Penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), dan dipertegas bahwa pemerintah wajib mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat 2),” lansirnya.

“Bukannya mencegah, pemerintah malah memfasilitasi,” imbuhnya, berkenaan dengan sikap pemerintah yang seharusnya masuk akal.

Dengan kata lain, meski tidak atau belum ada sertifikat kepemilikan tanah, secara otomatis pemerintah harusnya proaktif mengonversi lahan (adat) tersebut menjadi bersertifikat atas nama warga, bukan terkesan sengaja mendiamkan.

Apalagi seperti diketahui bersama, kebanyakan dari masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua, misalnya, wilayah yang terancam penggusuran, merupakan penduduk setempat secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.

Ditambah, masyarakat adat Rempang pernah mengajukan permohonan penetapan hak tanah pada Kamis (17/9/2020) silam, kepada Kementerian ATR/BPN. Tetapi kata Anthony, mereka tidak mendapat jawaban solutif. “Jawaban pemerintah mempertahankan status quo,” sebutnya.

Terakhir, dengan menimbang indikasi pelanggaran-pelanggaran sebagaimana ia paparkan sebelumnya, maka proyek ini layak dibatalkan, dan bahkan digugat. “Proyek Rempang Eco City layak dibatalkan, dan bahkan digugat,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: