Sebut Pengesahan RUU Tergantung Ketum Partai, Buktikan Kedaulatan Rakyat Hanyalah Ilusi Demokrasi

Mediaumat.id – Pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul tentang pengesahan suatu RUU tergantung ketua umum partai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa waktu lalu, menunjukkan kedaulatan rakyat di dalam sistem pemerintahan demokrasi hanyalah ilusi.

“Dalam praktik demokrasi kini, kedaulatan rakyat hanya ilusi demokrasi,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki kepada Mediaumat.id, Senin (3/4/2023).

Adalah ketika itu ditegaskan secara gamblang oleh Bambang Pacul dalam hal pengesahan suatu RUU, semua anggota DPR hanya menuruti apa kata ketum mereka masing-masing.

Bermula membahas penanganan kasus-kasus korupsi serta pencucian uang yang tengah jadi isu sentral bersama Menkopolhukam Mahfud MD.

Seperti kasus di Kemenkeu dengan contoh nyata mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo serta transaksi gendut lebih dari Rp300 triliun oleh ratusan pegawai.

Di kesempatan itulah Mahfud MD meminta agar DPR mendukung penbentukan Undang-Undang Perampasan Aset.

“Pak Mahfud tanya pada kite, tolong dong Undang-Undang Perampasan Aset dijalanin. Republik di sini gampang Pak, Senayan ini. Lobinya jangan di sini Pak, nih korea-korea ini nurut sama bosnya masing-masing,” kata Bambang Pacul kala itu.

Namun dikarenakan anggota Dewan hanya takut kepada ketum partai mereka masing-masing, sekeras dan setegas apa pun mereka, ketika sudah ada suara dari ketum maka semuanya bisa berubah.

“Di sini boleh ngomong galak Pak, kalau Bambang Pacul ditelepon ibu, Pacul, berhenti wes, siap! Gitu Pak. Nih laksanakan, (maka) laksanakan Pak,” ujarnya.

Lalu, Bambang juga menyatakan bahwa jika memang Mahfud MD menginginkan agar RUU Perampasan Aset dimasukkan lagi ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) dan disahkan menjadi undang-undang, maka jalur politiknya bukan di Senayan, melainkan di semua ketum partai politik.

“Mungkin (RUU) perampasan aset bisa, namun harus bicara pada ketum partai. Jadi pertanyaan njenengan langsung saya jawab, Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan,” tandasnya.

Artinya, lanjut Wahyudi, yang berkuasa dan berdaulat sejatinya adalah ketua umum partai dan segelintir orang yang ia sebut sebagai oligarki.

“Mereka menunggangi negara untuk membuat undang-undang maupun berbagai aturan dan kebijakan yang menguntungkan kepentingan politik mereka atau kepentingan bisnis mereka,” urainya.

Lantaran itu, tambahnya, meski tampak spontan dan apa adanya, pernyataan tersebut sebenarnya sangat serius terutama tentang pembentukan UU yang harus dibicarakan dahulu dengan ketua partai.

Bahkan menegaskan hal ini, kata Wahyudi, Bambang Pacul pun menyebutkan, ‘Ini korea-korea ini semua nurut bosnya masing-masing’ yang sebagian publik memahami istilah ini sebagai gambaran sistem pemerintahan Korea Utara yang diktator sehingga tidak ada yang berani beda pandangan apalagi berani melawan.

Ditambah Bambang mengaku siap melaksanakan apa pun jika ada perintah dari juragan. “Siap kalau diperintah juragan,” demikian kata Bambang.

Sehingga merujuk pernyataan sebelumnya, menurut Wahyudi, yang dimaksud juragan adalah ketum partai. “Hal ini tentu sangat merisaukan rakyat, bagaimana mungkin undang-undang di republik yang mengklaim demokrasi ini pembuatannya bukan ditentukan oleh para anggota DPR sebagai wakil rakyat. Tapi sangat ditentukan oleh lobi-lobi segelintir orang dengan ketum partai,” ucapnya prihatin.

Di saat yang sama, hal ini pun membuktikan bahwa anggota DPR sebagai wakil rakyat tak berani dengan ketum partai. Tak heran, lahirlah kemudian berbagai undang-undang yang ditolak masyarakat karena bertentangan dengan kepentingan rakyat. Seperti UU Minerba, Migas, Ciptaker, dll.

“Di mana letak kedaulatan rakyat yang diklaim sebagai negara demokrasi?” tanyanya.

Makanya, sambung Wahyudi, jangan menyalahkan rakyat jika memahami anggota DPR bukan wakil mereka tetapi wakil partai yang mengakomodir kepentingan ketum partai dan segelintir orang (oligarki).

Untuk itu menjadi penting bisa memutus rantai kedaulatan ketum partai dan oligarki dengan menghentikan sistem politik demokrasi yang selama ini berbiaya sangat mahal dengan yang lebih murah.

Tak hanya itu, mempersiapkan kader-kader yang jujur, amanah dan profesional pun harus dilakukan. Sehingga, pungkasnya, diharapkan tidak bakal mengkhianati rakyat dengan menjadi pembela ketum dan oligarki.[] Zainul Krian

Share artikel ini: