Mediaumat.id – Di tengah naik pesatnya utang Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi, ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meminta rakyat tidak usah khawatir karena Indonesia masih mampu membayar utang dinilai hanya sebatas retorika dan dongeng saja.
“Ucapan Menteri Keuangan terdengar meyakinkan, tapi juga seperti dongeng dan sebatas retorika,” ujar Managing Director Political Economy and Policy Studie (Peps) Anthony Budiawan dalam rilis yang diterima Mediaumat.id, Ahad (29/1/2023).
Anthony mengungkapkan, utang pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2014 hanya Rp2.609 triliun. Tetapi kemudian melonjak menjadi Rp7.734 triliun pada akhir tahun 2022. Atau naik Rp5.125 triliun, selama delapan tahun.
Anthony meragukan, apakah pemerintah mampu membayar utang yang terus menggelembung itu. Sebab kalau pemerintah mampu membayar utang, kenapa jumlah utang malah naik terus dan pajak (PPN) dinaikkan. “Demikian anomali pernyataan Menteri Keuangan, yang dirasakan oleh rakyat,” ucapnya.
Anthony melihat, pernyataan “kita mampu bayar utang” sepertinya mempunyai maksud pembenaran untuk menambah utang lagi. Karena, menurut APBN 2023, pemerintah akan menambah utang lagi pada tahun ini, jumlahnya cukup fantastis, sekitar Rp700 triliun.
Anthony mengatakan, faktanya, pemerintah selama ini tidak pernah membayar utang, dari kantong sendiri: dari pendapatan negara atau APBN. Artinya, pemerintah selama ini membayar utang yang jatuh tempo dari utang lagi: utang lama yang jatuh tempo dibayar dengan menarik utang baru.
Bukan itu saja, kata Anthony pemerintahan Jokowi selama berkuasa juga tidak pernah membayar bunga utang dari kantong sendiri. Artinya, pemerintahan Jokowi selama ini membayar bunga utang dari menarik utang baru.
Jadi, ia mempertanyakan dari mana datangnya optimisme dan keyakinan Menteri Keuangan, bahwa Indonesia mampu membayar utang. Karena, faktanya, utang pemerintah dan bunganya tidak pernah dibayar dari pendapatan negara, tetapi dari gali utang baru.
Di lain sisi, faktanya, keuangan negara semakin tertekan. Beban bunga utang pada tahun 2022 sudah mencapai 19 persen dari total penerimaan perpajakan. Rasio ini naik dibandingkan dengan tahun 2019, sebelum pandemi, yang hanya 17,8 persen.
Padahal, penerimaan perpajakan tahun 2022 naik pesat, akibat kenaikan harga komoditas yang tinggi. Dan sebagian beban bunga utang juga sudah ditanggung oleh Bank Indonesia dengan mencetak uang yang digunakan untuk membeli surat utang negara (di pasar primer), tanpa bunga.
Anthony menilai, utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2022 mencapai Rp443 triliun, atau sekitar 21,8 persen dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, beban bunga ditambah cicilan pokok utang yang harus dibayar pada 2022 sudah mencapai 40,8 persen dari penerimaan perpajakan.
Rasio yang tinggi tersebut, kata Anthony, sebenarnya sudah mencerminkan pemerintah sulit, atau bahkan tidak mampu membayar kewajiban beban bunga dan pokok utang yang jatuh tempo. Akibatnya bunga dan pokok utang dibayar melalui penarikan utang baru. Ditambah, bantuan cetak uang dari Bank Indonesia dan ditambah menaikkan pajak PPN.[] Agung Sumartono