Sebut Energi Nuklir Opsi Terakhir, Bappenas Masih Trauma Safety Nuklir?

Mediaumat.news – Terkait pernyataan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) yang akan menggunakan energi nuklir bila seluruh sumber energi yang ada saat ini sudah mulai habis, Pengamat Energi dari Forkei Dr. Lukman Noerachim, S.T., M.Sc. (Eng) Ph.D. menilai orang masih trauma terkait safety dari reaktor nuklir.

“Meledaknya reaktor Chernobyl di Rusia, kemudian bom Hiroshima dan Nagasaki, itu (membuat) orang masih trauma sampai sekarang terkait keamanan yakni safety dari adanya reaktor nuklir ini,” tuturnya dalam acara Kabar Malam, Rabu (09/12/2020) di kanal YouTube Khilafah Channel.

Menurutnya, ini sebenarnya terkait dengan kekhawatiran yang cukup lama. “Mungkin sudah kita dengar berkaitan dengan radiasi radioaktif. Seperti kejadian tahun 80-an di Chernobyl, Rusia. Jadi, inilah yang selama ini menjadi konsen dari pejabat sekarang dalam hal ini Pak Arifin sebagai Direktur dari Bappenas yang mengatakan bahwa ini adalah opsi terakhir,” ujarnya.

Namun, ia menilai peristiwa tersebut sebenarnya sudah cukup lama, artinya teknologi nuklir itu sudah hampir 40 tahun. “Sekarang sudah banyak sekali perubahan-perubahan terkait safety ini,” ungkapnya.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia sudah mempunyai reaktor nuklir meskipun dalam skala kecil. “Pertama, di Jogya itu ada, BATAN Jogja, namanya Reaktor Kartini. Kedua, di Serpong, di daerah Puspitek itu juga ada. Itu sudah sekian tahun dan tidak ada masalah. Oleh sebab itu, sebenarnya kekhawatiran tersebut sudah enggak perlu dirisaukan lagi,” ujarnya.

Stabil dan Tanpa Emisi

Dari sisi efisiensi, ia menilai nuklir itu paling stabil dibandingkan dengan energi yang lain. “Kalau murah tergantung investasi yang ditanamkan. Tapi, dari energi yang dihasilkan nuklir itu lebih stabil dan yang menjadi catatan adalah zero emission. Emisi asap yang dikhawatirkan itu enggak ada sama sekali,” ujarnya.

Menurutnya, mungkin yang dikhawatirkan adalah limbah nuklirnya. Tapi, ia menilai sekarang teknologi nuklir sudah maju termasuk prosedur penanganan limbah nuklir yang ketat.

“Limbah nuklir ini, ada prosedur yang sangat ketat terkait bagaimana cara menanganinya. Sekarang teknologi sudah sangat advanced, sudah sangat maju. Teknologi nuklir sudah banyak dipakai negara-negara besar seperti Amerika, Rusia, Cina dan Korea Selatan. Bahkan, negara kecil Taiwan pun sudah menggunakan nuklir sebagai pembangkit listrik mereka,” bebernya.

Ia menyatakan kalau total sudah ada 450 pembangkit nuklir dunia yang beroperasi di 30 negara sejak 50 tahun yang lalu. “Dan kalau dilihat hanya kasus di Rusia itu saja yang mengkhawatirkan. Ketika gempa di Fukusima Jepang kemarin pun bisa segera diatasi kebocorannya. Sehingga dari sisi kekhawatiran sudah bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan,” ujarnya.

Menurutnya, kajian terkait pembangunan PLTN ini sebenarnya sudah sangat lama.

Ia menyebut ada beberapa opsi tempat yang bisa dijadikan tempat. Pertama, Bangka Belitung untuk menghindari jika terjadi gempa. Seperti Jepang atau Taiwan, meskipun rawan gempa, dengan teknologi yang ada sampai sekarang tidak ada masalah dengan fasilitas nuklir mereka.

Kedua, di Jepara, namun ada penolakan dari warga. Sebenarnya yang paling aman, yang terakhir di Kalimantan. Karena kalimantan dari segi pergerakan tanah maupun faktor-faktor terkait gempa itu lumayan stabil di daerah sana,” jelasnya.

Ia menuturkan sebenarnya Indonesia punya potensi yang besar dalam mengembangkan teknologi nuklir, artinya dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan listrik juga akan sangat penting di masa depan terutama di daerah.

“Sekarang pun banyak daerah yang belum bisa menikmati fasilitas listrik sehingga sampai sekarang di Kalimantan masih ada pemadaman lokal di beberapa kota beberapa jam. Ini artinya sebenarnya (pemenuhan) kebutuhan listrik belum merata di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Ia menegaskan sebenarnya teknologi nuklir saat ini sudah sangat aman. “Dari safety sudah sangat aman, kemudian lebih stabil dan yang terakhir tidak menghasilkan emisi gas buang karbondioksida jika dibandingkan dengan yang digunakan PLN saat ini yakni PLTU yang berbasis batu bara,” ujarnya.

Ia menyayangkan Indonesia sebenarnya negara kaya, tapi miskin penduduknya. “Jadi, aneh. Termasuk pemerataan energi listrik masih redah. Pemadaman masih banyak terjadi di beberapa daerah yang tidak menikmati fasilitas listrik,” ungkapnya.

Padahal, menurutnya, sumber energi listrik di Indonesia sangat besar. Selain batubara, ada gas alam, sumber daya air, angin, gelombang laut dan sebagainya. Namun, belum banyak dimanfaatkan dengan benar. Sehingga selama ini kita sangat tergantung pada listrik yang berbahan baku batubara.

Ini tentunya sangat berpengaruh terhadap lingkungan. “Selama ini yang kita pahami pengelolaan listrik sering diserahkan pada pihak swasta. Seperti kasus PLN yang mau dipecah-pecah. Ada yang namanya holding, ada PLN yang khusus menangani jaringan, ada yang khusus menangani pembangkit, ada yang khusus menangani jual beli token,” bebernya.

Ia menilai tujuan PLN dipecah-pecah agar PLN bisa diswastanisasi. Padahal sebenarnya listrik ini adalah kebutuhan umum artinya kebutuhan pokok bagi masyarakat untuk menjalankan aktivitas mereka.

“Dalam Islam itu menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Tapi faktanya, hajat hidup orang banyak terkait energi ini seolah-olah justru diserahkan pada pihak swasta,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: