Sebuah Kuburan Kosong untuk Remaja Kashmir yang Dibunuh Pasukan India

Sejak tahun 2020, pihak berwenang India mulai menguburkan para tersangka pemberontak di kuburan yang tidak bertanda, menolak pemakaman yang layak oleh keluarga dan menambah sentimen kemarahan anti-India.

Pada suatu hari di musim dingin baru-baru ini di Kashmir, Mushtaq Ahmed Wani menggali tanah dengan susah payah untuk putranya yang masih remaja. Namun, tidak ada jenazah yang diturunkan ke dalamnya.

Dengan perasaan tertegun, sekelompok orang menyaksikan adegan tadi dengan diam-diam. Namun Ahmed terus menggali, sehingga setinggi lutut di dalam kuburan yang sudah setengah digali.

“Saya ingin jenazah anak saya,” katanya meraung-raung. “Saya meminta India untuk mengembalikan jenazah anak saya kepada saya.”

Polisi mengatakan pasukan pemerintah menembak mati anak laki-laki Ahmed yang berusia 16 tahun, Ather Mushtaq Wani, dan dua pemuda lainnya saat mereka menolak menyerah di pinggiran kota Srinagar pada tanggal 30 Desember. Mereka menggambarkan orang-orang itu sebagai “rekan teroris garis keras” karena menentang undang-undang India.

Namun, keluarga pria bersikeras bahwa mereka bukanlah pemberontak bersenjata namun mereka tewah dibunuh pembunuh berdarah dingin.

Tidak ada cara untuk mengkonfirmasi klaim tersebut secara independen.

“Itu adalah pembunuhan ekstra judicial,” teriak Ahmed sambil menangis, saat kerumunan orang berkumpul di sekitarnya, di sebuah pemakaman di selatan desa Bellow , sambil meneriakkan slogan-slogan menuntut keadilan.

Pihak berwenang menguburkan mereka di pemakaman terpencil 115km (70 mil) dari desa leluhur mereka.

Di bawah kebijakan yang dimulai pada tahun 2020, pihak berwenang India telah menguburkan beberapa pejuang Kashmir di kuburan tidak bertanda, dan menolak pemakaman yang layak oleh keluarga mereka. Kebijakan tersebut telah menambah kemarahan anti-India yang meluas di wilayah yang disengketakan.

India telah lama mengandalkan pasukan militer untuk dapat mempertahankan kendali atas wilayah Kashmir yang dikuasainya. India telah berperang dua kali di wilayah tersebut dengan Pakistan, yang juga mengklaim wilayah pegunungan yang sama. Pemberontakan bersenjata sejak tahun 1989 untuk melawan kendali India atas wilayah itu dan tindakan keras India telah menewaskan puluhan ribu warga sipil, para pejuang dan pasukan pemerintah.

Pada bulan Agustus 2019, India mencabut status semi-otonom Kashmir, memberlakukan jam malam dan mematikan jalur komunikasi, serta menangkap ribuan orang, yang memicu kemarahan dan kehancuran ekonomi. Sejak saat itu, pihak berwenang India telah membawa banyak undang-undang dan menerapkan kebijakan yang oleh penduduk setempat dan para kritikus dianggap sebagai bagian dari “proyek kolonialisme pemukim” India di wilayah yang bergejolak itu.

Warga Kashmir selama bertahun-tahun menuduh pasukan India menargetkan warga sipil dan menyalahgunaan kekuasaan secara luas dan pelakunya bebas dari hukuman. Pasukan India telah dituduh melakukan baku tembak dan kemudian mengatakan para korban adalah “kelompok militan” hanya untuk mendapat penghargaan dan promosi jabatan.

Pembunuhan Ather terjadi beberapa bulan setelah pengakuan kesalahan yang jarang dilakukan oleh militer India, yang mengakui bahwa tentara telah melebihi wewenang hukum mereka atas kematian tiga pria setempat yang awalnya digambarkan sebagai “kelompok teroris Pakistan”.

Polisi menyimpulkan bahwa seorang perwira militer India dan dua “sumber militer” sipil membunuh ketiga pria tersebut “setelah melucuti identitas mereka dan menandai mereka sebagai teroris garis keras”. Perwira militer itu dituduh melakukan pembunuhan.

Ketakutan dan kemarahan warga Kashmir atas insiden semacam ini diperburuk oleh kebijakan baru yang tidak mengidentifikasi orang-orang yang terbunuh atau rekan-rekan mereka dan menolak untuk mengembalikan jenazah para korban ke keluarga mereka.

Pihak berwenang mengatakan kebijakan itu dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran virus korona, namun para aktivis HAM dan penduduk mengatakan itu adalah upaya pemerintah untuk menghindari pemakaman yang menarik banyak orang sehingga memicu lebih banyak kebencian terhadap India.

Inspektur jenderal polisi, Vijay Kumar, mengatakan dalam wawancara baru-baru ini dengan surat kabar The Hindu bahwa kebijakan tersebut “tidak hanya menghentikan penyebaran infeksi COVID tetapi juga menghentikan daya tarik para teroris dan menghindari potensi masalah hukum dan ketertiban”.

Namun, pihak berwenang tidak menghentikan pemakaman yang disponsori negara untuk pasukan pemerintah yang tewas dalam pertempuran dengan pihak pejuang.

“Tidak mengembalikan jenazah yang terbunuh adalah penghinaan bagi kemanusiaan,” kata Zareef Ahmed Zareef, juru kampanye hak-hak sipil dan penyair terkemuka Kashmir.

Keluarga pejuang dan warga sipil yang putus asa yang dibunuh oleh pasukan pemerintah telah berulang kali menuntut agar pihak berwenang mengizinkan upacara keagamaan terakhir dan penguburan secara Islam yang layak di desa leluhur mereka. Permohonan itu berulang kali ditolak.

Pihak keluarga terkadang secara diam-diam mengunjungi kuburan terpencil dan menandai kuburan kerabat mereka dengan batu dan menulis nama mereka dengan kuas.

Hingga April lalu, pasukan India telah menyerahkan jenazah tersangka pemberontak kepada kerabat mereka untuk dimakamkan. Sejak itu, menurut polisi, 158 tersangka pemberontak telah dimakamkan di lokasi-lokasi terpencil.

Jenazah Ather adalah yang terakhir yang tidak diserahkan ke pihak kerabatnya tahun lalu.

Pada tanggal 30 Desember, ketika Ahmed menerima berita tentang pembunuhan putranya itu, dia sedang menuju fasilitas polisi di Srinagar tempat jenazah Ather disimpan. Ketika polisi kemudian membawa jenazahnya, bersama dengan dua pria lainnya, ke sebuah gunung terpencil untuk dimakamkan, Ahmed mengikutinya.

Sepanjang jalan, dia dihentikan beberapa kali namun memohon pasukan India untuk membiarkannya melihat wajah putranya untuk terakhir kalinya, katanya. Ketika dia akhirnya sampai di kuburan, hatinya serasa hancur berkeping-keping.

Ahmed mengatakan bahwa kuburan itu telah digali dengan buldozer, suatu hal yang bertentangan dengan kebiasaan tradisional di mana kuburan digali dengan sekop dan umumnya ditandai dengan batu nisan marmer.

“Itu bukan kuburan tapi lubang yang digali dengan cepat,” katanya. “Saya sendiri menurunkan anak saya ke dalam lubang itu.”

Para ahli dan aktivis HAM mengatakan penolakan untuk mengembalikan jenazah ke keluarga adalah suatu kejahatan.

“Ini merupakan pelanggaran langsung terhadap hukum internasional dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa,” kata Parvez Imroz, seorang pengacara HAM terkemuka. “Ini bahkan melanggar undang-undang setempat.”

Pembunuhan Ather dan penguburannya di tempat yang terpencil menyebabkan duka masyarakat, dimana ribuan orang menuntut dengan seruan di media sosial untuk “mengembalikan jenazah”

Di rumah sederhana keluarganya di Bellow, para pelayat mengelilingi ibu Ather yang berduka. Kakak perempuannya menangis, “Ibu, sabarlah. Dia akan kembali. Dia telah berjanji padaku bahwa dia akan melakukannya. ”

Di kuburan itu, kuburan yang telah digali Ahmed untuk putranya, tetap kosong.

Sumber: aljazeera.com

Share artikel ini: