Oleh: Ilham Efendi
Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam suksesi kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sulthan). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.
Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.
Sedangkan dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.
Lalu, bagaimana mekanisme suksesi dalam sistem khilafah? Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sulthan) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.
Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).
Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).
Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.[]