Sebuah Agama Baru yang Disponsori oleh UEA, Saudi dan Mesir
1- Peran Emirat dalam Mendistorsi Agama
Oleh: Hamid Abdul Aziz
Makna pembaharuan yang benar dan Mekanisme Serta Kaedah-Kaedahnya:
Pembaharuan wacana keagamaan sama sekali tidak berarti mengubah agama atau menggantinya, sebagaimana yang diinginkan oleh kaum yang terkooptasi oleh Barat pengusung panji westernisasi di negeri kita. Melainkan maknanya adalah menjaga dan melestarikannya. Jadi pembaharuan itu semestinya merupakan proses reformasi dan penghancuran. Ini merupakan tuntutan syar’iy dan realitas yang dihargai. Dan ada banyak ayat yang mendorong kaum Muslim untuk berpegang teguh kepada agama dan mengamalkannya, selain hadits-hadits Nabi yang menunjukkan kebutuhan kita akan pembaharuan, pemahaman dan amal. Hafalan tanpa pemahaman atau amal tidak memberi faedah kepada seseorang, bagaimana pun tinggi pengetahuannya. Oleh karena itu, kaum Muslim perlu memperbaharui wacana keagamaannya dan menyebarkan ilmu-ilmu agama, terlebih lagi bahwa ilmu itu akan berkurang dengan meninggalnya para ulama yang akan bisa menjatuhkan orang awam ke dalam kebodohan dan kesesatan dan berikutnya mengarah kepada kebinasaan. Untuk mencapai tujuan pembaharuan wacana keagamaan, maka harus ditetapkan kaedah-kaedah praktis yang mencegah skeptisisme, propaganda, dan rumor, sehingga memenuhi prinsip akidah Islamiyah, dan pengetahuan yang telah diketahui termasuk bagian dari ketentuan agama.
Mungkin di antara kaedah dan mekanisme terpenting yang merealisasi tujuan pembaharuan wacana keagamaan adalah:
1- Spesialisasi dalam dakwah memperhatikan pembaharuan. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ﴾
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (TQS an-Nahl [16]: 43).
Pembaharuan merupakan tugas ar-râsikhûn fî al-‘ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya) dan ahlul halli wal ‘aqdi di tengah umat, tidak terbuka untuk orang-orang yang mengklaim berilmu dan penyusupnya.
2- Objektivitas dan terlepas dari hawa nafsu. Seorang pembaharu (al-mujadid) harus mencari kebenaran dan berpegang teguh kepada kebenaran, jauh dari menuruti suasana hati dan taklid buta.
3- Berpegang teguh kepada usul dan prinsip-prinsip Islami.
4- Mengakui keterbatasan akal manusia, kekurangan, kontradiksi, dan keterpengaruhan akal manusia oleh lingkungan sekitarnya. Karena akal manusia, bagaimanapun tingkat kesempurnaannya kekurangan merupakan keniscayaannya. Jadi nas-nas syar’iy dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya saw harus lebih dikedepankan terhadap akal.
5- Maksud dari pembaharuan haruslah untuk memurnikannya dari apa yang melekat padanya yang bukan bagian darinya, dan menjelaskan hukum-hukum agama dengan cara yang benar berdasarkan asas-asas dan prinsip-prinsip.
6- Berpegang kepada uslub-uslub bahasa Arab dan usul-usul fikih dan kaedah fikih dalam menafsirkan dan menakwilkan teks-teks keagamaan.
7- Tidak mengeluarkan hukum atas satu perkara sebelum dilakukan penelitian yang dalam dan studi yang cermat.
Pendistorsian Agama atas Nama Pembaharuan:
Mereka yang membaca sejarah fikih Islami akan menemukan bahwa banyak masalah fikhiyah dan hukum-hukum fikih di dalam kitab-kitab fikih datang untuk menatasi masalah-masalah yang belum ada pada zaman Rasulullah saw. Para mujtahid mengerahkan segenap daya upaya maksimalnya untuk mengistinbath hukum syara’ dari nas-nas syara’, yang menyelesaikan masalah baru ini. Namun, keadaan berubah ketika tsaqafah Islam bercampur dengan konsep-konsep baru Barat yang menyerukan perlunya harmonisasi tsaqafah agar toleransi antar agama menyebar bagian dari bab dialog antar agama dan peradaban, bukan dari bab konflik dan konfrontasi. Selain fakta bahwa sebagian fukaha mentolerir masalah-masalah yang mereka sebut eksklusif (masalah apa yang telah menyebar luas) yang sebagian kaum Muslim karena alasan subjektif terpaksa untuk menyimpang di belakang peradaban Barat. Maka muncul budaya keterasingan intelektual dan mental, yang terus mempengaruhi mentalitas Muslim. Hal ini mengakibatkan arus intelektual yang menyerukan westernisasi dan modernisasi, satu perkara yang pada akhirnya menyebabkan menyebarnya tsaqafah pendistorsian, perubahan dan penggantian yang terrepresentasi dalam hal-hal berikut:
- Mengosongkan Islam dari isinya. Tidak ada lagi sistem politik Islam. Tidak ada lagi jihad di dalamnya. Tidak ada lagi batasan syar’iy yang dapat diterima di era saat ini. Dan tidak ada lagi ushul yang tetap untuk istinbath. Karena kepentingan akliyah adalah dasar, dan kedekatan dengan Barat yang kafir adalah tujuannya.
- Menyerukan untuk mendekatkan antar agama menurut falsafah Barat, dan memberikan penjelasan tentang beberapa hal ghaib hanya dari perspektif sains eksperimental saja, bahkan mempromosikan agama kemanusiaan baru.
- Mengibarkan panji westernisasi: yaitu gerakan intelektual yang didasarkan pada mengambil Barat sebagai contoh di semua bidang kehidupan yang berbeda. Westernisasi mulai tampak pada awal abad ke-14 hijriyah.
- Seruan modernitas. yang dimulai pada pertengahan abad ke-14 hijriyah, dan menyerukan pembacaan baru dan penafsiran ulang nas-nas syar’iy sesuai dengan pencapaian modernisasi ilmiah dan intelektual. Di antara cara yang digunakan dalam hal ini adalah klaim bahwa ibrah (pelajaran) itu menurut nilai dan isi, bukan menurut bentuk dan rupa. Mereka menyerukan kebebasan mutlak bagi perempuan dan keluarnya perempuan dari iffahnya. Demikian juga mereka menyerukan pelepasan Islam dari sistem politiknya dan menganggap Islam sebagai agama kependetaan seperti agama lain, dan menciptakan kaedah-kaedah baru untuk memahami dan mengistinbath, dan menyerukan pluralisme agama dan penerimaan agam lain dalam artian tidak mengkafirkan non-Muslim. Kita perhatikan bagaimana media Mesir membuat penyangkalan terhadap orang yang mengkafirkan orang Nashrani. Hal ini selain mempertimbangkan model Barat dalam mempraktikkan demokrasi sebagai model terbaik yang dapat diikuti di era saat ini.
- Penerimaan terhadap globalisasi: Setelah runtuhnya blok timur, pada akhir tahun delapan puluhan abad kedua puluh, Amerika sendirian menjadi pemimpin dunia. Amerika mempromosikan istilah globalisasi. Yang mana Amerika memasukkan semua bangsa ke dalam sistem intelektual, budaya dan moral mereka. Amerika mewajibkan bangsa-bangsa dunia untuk menerima dan rela dengannya, dan mengharuskan pembaharuan berlangsung dalamkerangka globalisasi.
- Memaksakan pembaharuan (pendistorsian) menggunakan kekuatan: yang mana Barat menggunakan dukungan yang murah hati kepada para kolaborator dengannya dari kalangan pemerintah negara-negara yang loyal padanya, menyerukan pembaharuan wacana keagamaan dengan mengembangkan kurikulum sekolah sesuai dengan sistem Barat, mengarahkan khutbah dan seruan media sesuai dengan redaksi Barat, pembolehan riba di berbagai bank, penerimaan terhadap keputusan internasional yang terkait dengan perempuan dan LGBT, dan menilai hijab perempuan sebagai masalah kebebasan pribadi bukan perkara syar’iy. Tradisi dan adat istiadat lah yang mengatur pakaian perempuan dan bukan syara’. Juga menyerukan penghapusan hukum kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Tujuan utama darisemua ini adalah untuk mengisolasi Islam dari kehidupan dan untuk menancapkan sekularisme di negeri-negeri kaum Muslim.
Tiga rezim memalukan yang ada di negeri kita: Emirat, Arab Saudi, dan Mesir, menerima gagasan pembaharuan menurut pemahaman Barat ini, untuk dia terapkan dan sebarkan. Rezim-rezim ini memanfaatkan semua kemampuan materinya untuk mengantarkan masalah sampai ke ujungnyadalam rangka menyenangkan Barat kafir dan untuk hegemoni Barat secara intelektual, politik dan militernya atas negeri-negeri kaum Muslim. Dan pada saat yang sama untuk memastikan kelangsungan mereka di tampuk kekuasaan.
- Peran Emirat Dalam Mendistorsi Agama:
UEA mengetahui kemunculan gerakan Islam politik di wilayahnya bahkan sebelum penyatuan Emirat. Hal itu melalui Asosiasi Reformasi dan Bimbingan Sosial (Jam’iyah al-Ishlâh wa at-Tawjîh al-Ijtimâ’iy) yang didirikan oleh mahasiswa Emirat yang kembali dari Mesir. Namun, para penguasa Uni Emirat Arab, yang membangun persatuan mereka dalam aliansi yang kompleks, segera menyadari bahaya gerakan islam politik itu berbahaya bagi kelanjutan kekuasaan mereka. Hanya saja, negara mereka yang sedang berkembang belum mampu menanggung biaya konflik yang mungkin terjadi. Maka para Islamis menemukan pijakan bagi mereka di pemerintahan pertama dan kedua. Dan puncaknya diketahui ketika Ikhwanul Muslimin di Emirat berhasil berpartisipasi dengan satu menteri dalam pembentukan pemerintahan pertama pada tahun 1971. Said Abdullah Salman, saudara pendiri Asosiasi Reformasi, diangkat sebagai Menteri Perumahan. Pada tahun 1977 M, Muhammad Abdurrahman al-Bakr menjadi Menteri Kehakiman, Urusan Keisalaman dan Wakaf, atas pencalonan dari syaikh Rashid bin Said juga. Al-Bakr adalah menteri kedua dari Asosiasi Reformasi yang menjalankan kementerian pemerintah. Dalam pembentukan pemerintahan ketiga pada Juli 1979 M, Salman menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran dan ketua Universitas Emirat dua tahun setelah pendiriannya. Bersamaan dengan pembentukan kabinet selanjutnya pada Juli 1983 M, kedua menteri tersebut tidak diperpanjang.
Negara mulai menargetkan kelompok tersebut sedikit demi sedikit, sampai munculnya tokoh pertama Emirat Muhammad bin Zayid ke permukaan. Tokoh yang digambarkan oleh mantan duta besar Inggris untuk Uni Emirat Arab Sir John Jenkins, dengan ucapannya: “Putra Mahkota UEA Muhammed bin Zayid mungkin menjadi orang yang paling membenci Ikhwanul Muslimin di dunia”.
Pada awal tahun 2011 M, otoritas UEA meluncurkan kampanye penangkapan yang luas di dalam barisan oposisi. Hal itu diikuti dikeluarkannya UU Federal no. 2 tahun 2015 yang memberikan hak kepada negara untuk membubarkan asosiasi (organisasi) dan menahan para pendirinya menurut standar longgar yang pemerintah menjadi satu-satunya yang berhak menafsirkan. Kampanye penyebaran penyalahgunaan UEA mencatat 15 kasus pencabutan kewarganegaraan. Kebanyakan dari mereka adalah Islamis, menurut Observatorium Internasional untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia.
Pada bulan Juli 2018, Dinas Keamanan Negara di Pengadilan Tinggi Federal di Abu Dhabi memvonis 69 orang aktivis Islamis lainnya dengan tuduhan berusaha menggulingkan pemerintah. Vonis itu menghukum terdakwa dengan kehadiran dan secara tanpa kehadiran (in-absentia) dalam kasus “sel Ikhwanul Muslimin” dengan terdakwa sebanyak 30 orang Mesir dan Emirat dengan hukuman penjara berkisar antar tiga bulan dan lima tahun, dan membebaskan satu orang terdakwa dari dua tuduhan, dan mendenda 21 orang terdakwa sebesar 3000 Dirham, dan menjauhkan orang Mesir yang divonis dalam kasus tersebut dari Emirat setelah berakhirnya masa hukuman mereka. Jamaah Ikhwanul Muslimin di negara tersebut dibubarkan, semua kantor mereka diturup, disamping alat-alat dan perangkat di tempat aktivitas dan rumah mereka disita.
UEA tidak berhenti menganggap kaum Islamis sebagai batu sandungan bagi proyek modernisasi yang diadopsi oleh anak-anak Zayid, proyek yang mengubah Dubai menjadi ibu kota khamr dan perdagangan manusia, menyertai modernitas fisik yang terwujud dala bentuk gedung-gedung pencakar langit raksasa yang penuh dengan amoralitas dan kefasikan. Hal itu terus menjadi pendorong tindakan anak-anak Zayid yang mengambil alih sendiri misi menyebarkan pemikiran sekuler. Tidak ada yang lebih menunjukkan hal itu dari pernyataan Duta Besar UEA di Washington, Yusuf al-‘Utaibah mengomentari blokade yang dikenakan terhadap Qatar. Dia mengatakan, “perselisihan dengan Qatar bukan diplomatis. Perselisihan itu adalah perselisihan filosofis tentang visi UEA, Arab Saudi, Yordania, Mesir dan Bahrain untuk masa depan Timur Tengah“. Dia menambahkan, “visi tiga negara tersebut untuk pemerintahan Timur Tengah setelah sepuluh tahun adalah visi sekuler”.
UEA menimpakan kepada arus Islam tanggung jawab atas ekstremisme dan terorisme di dunia. UEA bekerja untuk memerangi mereka di mana saja. Tidak hanya itu, bahkan UEA berkonspirasi melawan organisasi Islam yang beroperasi di Eropa dan Amerika. UEA menuduh masjid-masjid di Eropa dan Amerika mempromosikan terorisme dan mensponsori seruan-seruan hasutan dan kebencian. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Toleransi Emirat, Sheikh Nahyan Mubarak Alu Nahyan, “Mengabaikan memantau masjid di Eropa adalah sebab serangan teroris di sana”. Dia menyerukan kepada negara-negara Eropa untuk memperketat undang-undang dalam memberikan izin untuk membangun masjid dan mengusir banyak imam. Dia menyarankan agar UEA menyiapkan para imam untuk dikirim untuk mensupervisi masjid-masjid di Eropa. Sebagaimana UEA telah merangkul institusi-institusi Islam yang mencurigakan seperti Muassasah Thayibah yang memiliki orientasi sufi.
Hal itu muncul sebagai tanggapan atas strategi Amerika dalam menghadapi terorisme Islam yang bersandar pada penciptaan Islam alternatif yang dipimpin oleh orang-orang sekuler, liberal dan Islamis moderat, termasuk di antaranya orang-orang Sufi. Di UEA simbol-simbol sufiyah seperti al-Jafri, dan beberapa pendukung rasionalisme dan humanisasi Islam, seperti Adnan Ibrahim dan Muhammad Syahrur leluasa beraktivitas. Yang lebih lagi, dibukanya tempat ibadah Buddha di Emirat, pada saat umat orang-orang Buddha melakukan kejahatan paling keji terhadap Muslim di Myanmar.
Persekongkolan Emirat terhadap umat Islam tidak terbatas pada batas pendanaan, perencanaan, dan metode diplomatik, tetapi juga melewati batas itu dengan melakukan intervensi militer langsung. Berbagai laporan menyingkap keterlibatan UEA dalam pembunuhan dan tindakan pemusnahan yang dilancarkan oleh pasukan Prancis terhadap Muslim Mali dan Afrika Tengah. Hal itu dengan pengakuan mantan Presiden Prancis Francois Holland, yang menegaskan bahwa Putra Mahkota Emirat memberikan bantuan keuangan kepada pasukan Prancis dalam intervensi mereka untuk melawan kaum Islamis Mali. UEA juga mengungkapkan keprihatinannya kepada Prancis setelah kelompok Islamis mencapai tampuk kekuasaan di Afrika Tengah. UEA menegaskan bahwa mereka siap untuk membiayai operasi pendongkelannya dari kekuasaan.
Hal ini karena dianggap secara ideologis dekat dengan arus Islamis jihadis. Perkara itu mengantarkan pada intervensi Prancis yang mengakibatkan pembantaian keji yang dilakukan terhadap Muslim Afrika Tengah oleh umat Kristiani yang didukung oleh pasukan Prancis. Rekor UEA juga penuh dengan sejarah berdarah intervensi militer di Afghanistan dan Pakistan dalam pelayanan proyek salibis imperialis. Perkara itu mendorong mantan Jenderal Amerika David Petraeus untuk menyatakan bahwa UEA adalah negara yang paling mampu membunuh orang-orang Islamis radikal mengingat sejarahnya yang penuh dengan hal itu di Afghanistan.
Dalam salah satu dari pesan yang dibocorkan dari surat Duta Besar UEA untuk Amerika Serikat Yusuf al-‘Utaibah, al-‘Utaibah menulis menyeru kolumnis di New York Times Tom Friedman, “Abu Dhabi selama dua ratus tahun telah memerangi orang-orang Saudi disebabkan Wahhabisme. Kami memiliki sejarah yang buruk dengan Saudi lebih dari yang kami miliki dengan pihak manampun. Tetapi dengan datangnya Muhammad bin Salman, kami melihat perubahan nyata sedang terjadi. Inilah mengapa kami merasa gembira. Kami akhirnya mulai melihat harapan, dan kami perlu melihatnya berhasil”.
Alat-Alat UEA yang Digunakan untuk Perang terhadap Islam Politik:
1- Yayasan Orang-Orang Mukmin Tanpa Batas (Muassasah Mu`minûna bilâ Hudûd):
Ketika terjadi kudeta militer di Mesir, tepatnya pada Mei 2013 M, dengan dukungan Emirat, didirikan Yayasan itu untuk studi dan penelitian, yang berbasis di Maroko. Yang menjadi Direktur umumnya adalah seorang Suriah Muhammad al-‘Ani. Yayasan itu memiliki dua cabang di Kairo dan Amman. Posisi Direktur Eksekutif Yayasan diisi oleh Dr. Ahmad Fayiz dari Yordania. Yayasan ini menaungi banyak peneliti dan penulis Arab dan asing. Yayasan ini menerbitkan tiga majalah:
– Al-Bâb: Majalah tiga bulanan (triwulanan) membahas tentang agama, politik dan moral.
– Yatafakarûn: Majalah Intelektual Budaya Triwulanan.
– Dzawât: majalah elektronik budaya Arab.
Muassasah Mu`minûna bilâ Hudûd (Believers Without Borders) bertujuan untuk melakukan konfrontasi terhadap pemikiran gerakan-gerakan Islam. Pad agilirannya lembaga ini menyerukan “humanisasi agama” dan mencurahkan perhatiannya untuk mengkaji sistem gagasan lembaga untuk pikiran budaya yang menyeluruh di kawasan tersebut. Lembaga ini berusaha dalam bagian praktis untuk: “Memeriksa ijtihad-ijtihad efek budaya, intelektual dan sosial di ruang Arab Islami, baik secara teoritis maupun realistis, dalam menghadapi gerakan Islam politik”. Dan dala, hal itu lembaga ini menempuh “jalur kritik terbuka dalam meninjau semua ide tanpa bias kecuali untuk apa yang merealisasi kemaslahatan manusia dalam realitas dan penghidupannya”. Lembaga ini menentukan tujuannya seperti yang dinyatakan di situsnya adalah:
– Membongkar asas-asas dan kaedah-kaedah intelektual untuk fenomena pemikiran dan budaya yang tertutup dan eksklusif.
– Mendukung kajian dan penelitian sosial, intelektual, dan keagamaan yang tegak di atas asas-asas ilmiah dan rasional.
– Membangun kompetensi ilmiah dan kader penelitian yang mampu melakukan penelitian ilmiah tentang isu-isu pembaharuan dan reformasi budaya dan keagamaan secara mendalam dan sempurna.
– Mengkoordinasikan dan mendukung komunikasi dan kerjasama antara peneliti, pemikir dan institusi yang kepentingan dan pekerjaannya bersinggungan dengan misi lembaga.
– Menyuarakan arus pembaharuan yang serius ke berbagai strata sosial.
Lembaga ini berusaha untuk mereproduksi pemikiran yang dianggap memiliki visi yang mencerahkan, seperti pemikiran pemikir Sudan Muhammad Abu al-Qasim Hajj Hamad, penulis kitab al-Hâkimiyyah, Muhammad Syahrur, dan Hassan Hanafi yang beraliran kiri, penulis ide-ide Yahudi Baruch Espinosa tentang Taurat di al-Qur’an al-Karim, serta tulisan-tulisan Nashr Hamid Abu Zaid yang kontroversial menjadi perdebatan selama dekade sembilan puluhan abad lalu.
Lembaga itu juga terbuka terhadap pena yang terkenal dengan pembacaan pengeringan untuk tsaqafah islami seperti Abdul Majid asy-Syarfi, dan pena yang telah menulis dalam beragam masalah seperti seorang Lebanon Radwan as-Sayid yang berpartisipasi dalam forum penguatan perdamaian sipil di masyarakat Muslim, yang menyatakan lebih dari sekali bahwa “kegagalan gerakan Islam politik sudah sangat gamblang apakah itu terkait dengan pengalaman Ikhwanul Muslimin, aliran Salafi, atau para penyeru Wilayatul Faqih”. Dia menyerukan di banyak kesempatan untuk melestarikan peran lembaga keagamaan tradisional seperti al-Azhar di Mesir, Zaytuna di Tunisia, al-Qarawiyun di Maroko, dan lembaga keagamaan di Arab Saudi disertai rehabilitasi dan pembebasannya dari pengaruh para islamis dan institusi-institusi pemerintahan diktator.
2- Lembaga Media:
Abu Dhabi pada musim Ramadhan 2019 M menghasilkan dua serial sejarah yang menyajikan biografi paling terkenal dari dua kutub sufi, yaitu al-Hallaj dan Ibn Arabi. Serial pertama (biografi al-Hallaj) diberi judul “al-‘Asyiq … Shirâ’ al-Jiwârî”. Sedangkan serial yang kedua yang menyajikan sejarah kehidupan Muhyiddin Ibn Arabi berjudul “Maqâmât al-‘Asyaq -Kuil Kerinduan-“. Orientasi Emirat untuk memproduksi dua karya ini telah membuka pintu bagi pertanyaan tentang tujuan menghidupkan kembali sosok semisal ini. Tentu saja motifnya sudah diketahui dan tidak tersembunyi bagi siapapun. Ini merupakan model Islami yang ingin dikedepankan oleh UEA kepada para pemuda muslim jauh dari model dunia mujahid seperti Ibnu Taimiyyah dan al-‘Izz bin Abdu as Salam dan semisal mereka.
Sebagaimana UEA telah meluncurkan sebuah website baru yang menargetkan pendistorsian agama Islam dan aktivitas generasi Muslim di Eropa. Website itu bernama al-Mijhar al-Awrûbî li Qadhâyâ asy-Syarq al-Awsath -Mikroskop Eropa Untuk Isu-isu Timur Tengah-“ yang dijalankan secara langsung oleh Ali Rashid an-Nuaimi, salah seorang pilar aparat keamanan dan intelijen UEA dan orang dekat Putra Mahkota Abu Dhabi Muhammad bin Zayid. Aktivitas website itu bersandar kepada sosok berdarah Saudi yang kontroversial Kamil al-Khattiy, yang dikenal dengan sikap anti kelompok non Wahhabi dan serangannya secara terbuka dan tidak terbuka terhadap aktivitas generasi Muslim di Eropa.
Pemimpin redaksi website ini adalah penulis Italia sayap kanan Sarah Berzus Kewitch, yang mengidentifikasi dirinya sebagai mahasiswa doktoral di Catholic Sacred Heart University di Milan, dan telah bekerja sebagai peneliti tamu di Program Extremism di George Washington University. Anggaran yang dialokasikan untuk website itu lebih dari 1,3 juta euro setiap tahun. Dan UEA mengandalkan website ini untuk memperkuat eksistensinya di Eropa dan untuk memerangi aktivitas lawannya, serta untuk mendistorsi organisasi-organisasi islam politik.
3- Reformulasi Pengetahuan Menurut Model Barat:
Penguasa Emirat berusaha untuk memaksakan model pengetahuan yang bertentangan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat secara umum, baik di dalam maupun di luar Emirat. Model pengetahuan ini mencakup ide, nilai, sistem, dan simbol-simbol historis. Karena UEA berkontribusi melalui pusat penelitian, penerbitan, dan dialog dalam mempromosikan sekelompok pemikir pembaharuan wacana keagamaan dan pembangunan kembali pikiran Islami, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkun, Basim Yusuf, Adnan Ibrahim dan lainnya. Pengkhutbah Amerika Hamza Hansen di antara mereka yang diundang oleh UEA. Gedung Putih telah menunjuknya sebagai penasehat untuk hubungan dengan dunia islami pasca peristiwa 11 September 2001 M. Dia telah melakukan tur ke sejumlah negara Arab meminta informasi. Dia menganut tarekat Naqsyabandiyah. Hansen menaruh perhatian untuk mengunjungi pemimpin tarekat Naqsybandiyah di Siprus, Nazhim Haqqani, dan memiliki hubungan dekat dengan Syaikh Abdullah bin Bayyah, yang pengetahuan-pengetahuannya digunakan oleh Hansen di Amerika untuk keuntungannya.
4- Yayasan Thabah (Muassasah Thâbah):
Lembaga ini diumumkan lebih awal. Lembaga ini didirikan pada tahun 2005 M, bersamaan dengan munculnya bintang penyeru Ali al-Jafri, yang punya asal usul Hadrami dan putra dari sekolah Sufi kuno di Yaman. UEA mulai menggelontorkan uang untuk mendukung Syaikh Ali al-Jafri untuk memperluas hubungannya dan menarik tokoh-tokoh Islam yang yang punya bobot dan menjadi rujukan syar’iy di dunia Islam. Dan di antara badan penasehatnya adalah Dr. Muhammad Sa’id al-Buthi dan Syaikh Abdullah bin Bayyah. Beberapa penerbitan didirikan. Yang terkenal adalah Dar al-Faqih di Abu Dhabi, Dar al-Wabil ash-Shaib dan Dar al-Muqaththam di Kairo, selain menghasilkan sejumlah program advokasi yang mempromosikan al-Jafri di Mesir dan memungkinkannya untuk membangun hubungan yang kuat dengan beberapa syaikh al-Azhar yang berpengaruh, terutama mantan Mufti Ali Jum’ah, yang melaluinya Emirat menjalankan sejumlah proyek di al-Azhar dan memberinya hibah yang mewah.
Bukan rahasia lagi dukungan berkelanjutan al-Jafri kepada rezim Bashar al-Assad dengan mengorbankan rakyat Suriah yang menjadi sasaran operasi pembunuhan dan pengusiran sistematis, dimulai dengan partisipasinya dalam konferensi “Tasawuf, pendekatan otentik untuk reformasi –at-Tashawuf Manhaj Ashîl li al-Ishlâh-“ yang diadakan di Kairo pada 24 September 2011 untuk mendukung rezim Assad. Tokoh-tokoh Muassasah Thâbah yang turut serta sebagai peserta konferensi itu mengatakan bahwa apa yang terjadi di Suriah bukanlah revolusi tetapi fitnah, yang menegaskan bahwa itu merupakan sikap sufiyah secara umum bukan kekeliruan individual!!
Dari sini tampak bagi kita bagaimana aliran sufi bukan lagi aliran keagamaan yang misinya mencari kebenaran dan mendisiplinkan jiwa dalam beribadah kepada Allah. Tetapi telah menjelma menjadi kelompok-kelompok yang mengerahkan diri di bidang politik dan melaksanakan rencana-rencana yang berdimensi politik, yang terpenting adalah mendukung penguasa dan menyerukan ketaatan kepada perintahnya.
Musim Semi Arab dan Pengetatan Cengkeraman Emirat Terhadap al-Azhar:
Kita semua tahu bahwa tidak ada yang akan mengambil posisi penting di al-Azhar, kecuali dia berada dalam lingkaran persetujuan rezim Husni Mubarak dan partai nasionalnya. Semua orang ingat bahwa ketika Mubarak mengeluarkan keputusannya untuk menunjuk Ahmad ath-Tayyib sebagai Syaikh al-Azhar, dan pada saat itu dia adalah anggota Komite Kebijakan Partai Nasional, dia menolak untuk mengundurkan diri dari partai sampai Mubarak kembali dari perjalanan medisnya di Jerman untuk meminta izinnya mengundurkan diri. Inilah yang membuat marah pasukan revolusi 25 Januari karena tetap bertahannya Ahmad ath-Thayyib di jabatannya, dan menganggap para Syaikh sebagai salah satu sarang sisa-sisa rezim Mubarak.
Mungkin keterkaitan Syaikh al-Azhar yang sudah diketahui dengan Komite Politik Partai Nasional yang dibubarkan dan penolakan revolusioner kepadanya, inilah yang mendorong para Syaikh al-Azhar membahas kubu politik yang mengaturnya dan mendukungnya. Di sinilah tangan Emirat mulai bermain di dalamnya dan bergerak di situ sesuai keinginannya. Tampak tanda-tanda proyek Emirat untuk memanfaatkan al-Ashar sebagai yang terdepan untuk menyerang gerakan-gerakan islami. Hal itu melalui dua proyek:
Proyek pertama: Mendirikan apa yang dikenal sebagai Kantor Pesan al-Azhar, yang tugasnya meliputi meninjau seruan al-Azhar, mereview keputusan-keputusannya, dan mensupervisi koridor ilmiah di Masjid Jami’ al-Azhar. Sebagai penanggungjawab ditunjuk Usamah al-Azhari, salah seorang murid dekatnya Ali Jum’ah dan memiliki kontak langsung dengan Ali al-Jafri. Setelah kudeta as-Sisi, Usamah al-Azhari menempati posisi Penasihat Urusan Agama di Kepresidenan Republik. Dan dia terus menduduki posisi itu meskipun usianya masih muda dan kurang pengalaman dibandingkan dengan tokoh-tokoh Azhari lainnya. Dia -kemungkinan besar- salah satu yang dijadikan sandaran oleh UEA untuk memperketat cengkeramannya terhadap al-Azhar, dengan menyingkirkan sosok yang mungkin membahayakan pengaruh Emirat di al-Azhar. Dan bahkan dapat menghalangi Syaikh al-Azhar sendiri jika dia mencoba keluar dari lingkaran kendali atasnya. Dan surat kabar Mesir bersaksi atas serangan sengit yang dilancarkan Usamah al-Azhari terhadap Syaikh al-Azhar Ahmad ath-Tayyib ketika Syaikh al-Azhar menolak permintaan as-Sisi untuk mengeluarkan fatwa yang melarang terjadinya talak secara verbal.
Proyek kedua adalah pembentukan Asosiasi Global Lulusan al-Azhar (ar-Râbithah al-‘Âlamiyah li Khurûjiy al-Azhar asy-Syarîf) yang kemudian berubah menjadi Organisasi Internasional untuk Lulusan Al-Azhar (al-Munazhzhamah al-‘Âlamiyah li Khurûjiy al-Azhar asy-Syarîf). Dan tujuan organisasi yang dipimpin oleh Syaikh al-Azhar ini adalah untuk menarik mahasiswa al-Azhar, terutama ekspatriat, dan untuk memobilisasi mereka dengan wacana keagamaan yang dipromosikan oleh UEA. Juga untuk mencegah mereka berkenalan dengan Gerakan Islam dan bekerja untuk mendistorsinya. Organisasi ini juga mencerminkan sebagai faktor penarik bagi banyak ulama al-Azhar melalui perjalanan luar negeri dan imbalan finansial yang diberikannya kepada mereka yang membuat mereka setia pada orientasi ini. Organisasi itu mulai membuka cabang di berbagai negeri Islami. Orang yang menelaah program-program organisasi ini, niscaya mendapati bahwa organisasi ini memerangi arus Islam politik dengan dalih melawan terorisme dan ekstremisme.
Ini ditambah dengan peroyek-proyek lain yang tercermin dalam pembentukan kanal-kanal satelit seperti kanal Azhari, penerbitan dan pusat penelitian, yang menonjol adalah Asosiasi Tesaurus Islam (Jam’iyyah al-Makniz al-Islâmî), dan Rumah Astronomi (Dâr al-Fuluk) yang dikelola oleh Asyraf Sa’ad al-Azhari, rekan dekat Ali Jum’ah, yang juga menarik mahasiswa dan para ustadz al-Azhar, dengan dana yang dipompakan oleh UEA.
Konferensi Grozny untuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Dewan Tetua Muslim (Majlis Hukamâ` al-Muslimîn):
Setelah sinyal-sinyal aliansi Saudi-Emirat mulai muncul di depan umum dan jatuhnya Muhammad bin Salman di bawah pengaruh Muhammad bin Zayid, yang tampaknya di antara hasilnya adalah pembatasan seruan Salafi, dengan pengecualian salafisme al-Madkhaliyah yang masih dibutuhkan di beberapa titik api ketegangan seperti di Libya, untuk mendukung proyek Haftar secara militer. Kedekatan ini mendorong UEA untuk mengambil langkah maju dengan proyeknya, dengan mengadakan konferensi Grozny pada tahun 2016 M, bertajuk Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berdasarkan asas sektarian dan eksklusi. Tujuannya adalah untuk membatasi istilah ahlus sunnah wal jamaah pada pendekatan yang diadopsi oleh Emirat. Konferensi itu sesuai untuk meminggirkan Salafisme dan menyerang gerakan-gerakan Islam.Tujuan konferensi ini juga untuk menemukan jalan masuk ke sekolah-sekolah Islami yang sudah lama seperti az-Zaytunah di Tunisia dan Sekolah Hadramiyah di Yaman, untuk digunakan di garis depan di samping al-Azhar, dengan menarik tokoh-tokoh dari sekolah-sekolah ini dan mengekspornya sebagai gugus depan untuk orientasi ini. Terlepas dari ekslusifisme dan sektarianisme yang menjadi asas penyelenggaraan konferensi itu, namun salah satu hasilnya adalah dibentuknya Dewan Tetua Kaum Muslim (Majlis Hukamâ` al-Muslimîn) yang dipimpin oleh Ahmad ath-Thayyib Syaikh al-Azhar. Majelis itu dianggap sebagai kover keagamaan untuk kebijakan Emirat di kawasan tersebut dan salah satu promotornya.
Wacana Keagamaan Dalam Proyek Emirat:
Proyek UEA untuk mengontrol lembaga-lembaga keagamaan, terutama al-Azhar, dan mempekerjakan mereka untuk mengabdi dan mempromosikan kebijakannya datang sebagai reaksi terhadap kebangkitan kaum Islamis, yang mencapai puncaknya setelah Arab’s spring. Satu hal yang naif untuk percaya bahwa UEA memiliki proyek Islami yang benar. Orang yang memantau wacana proyek ini dan programnya, niscaya dia menemukan difokuskan pada:
1- Isu-isu terorisme dan ekstremisme dalam konteks menjadikan kelompok Islam politik sebagai yang bertanggung jawab atas terorisme dan ekstremisme ini. Dan ini terbukti dan jelas dalam program-program Asosiasi Global Lulusan al-Azhar (ar-Râbithah al-‘Alamiyah li Khurûjiy al-Azhar) dan Konferensi Memperkuat Perdamaian di Masyarakat Muslim yang diselenggarakan berkala di Abu Dhabi, yang menghadirkan aliran-aliran Islam sebagai faktor kekacauan dan destabilisasi masyarakat.
2- Meninggikan wacana sufi rohani dan melepaskannya dari makna praktisnya. Dan melalui itu berusaha menjadikan agama sebagai hubungan spiritual antara hamba dan Rabbnya saja, dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, terutama politik.
3- Menciptakan persepsi dalam kesadaran masyarakat yang membatasi ulama syariah pada aspek spiritual dan peringatan, dan menghadirkan keadaan perbandingan pikiran mereka dengan agamawan dari agama lain, dalam upaya untuk membentuk kerahiban agama Islam. Mungkin pertemuan persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwah al-insâniyah) yang mengumpulkan Syaikh al-Azhar dengan Paus Vatikan di Abu Dhabi adalah perwujudan paling menonjol dari ini.
4- Menutup mata terhadap tren sekuler dan pencerahan yang melawan dan mendistorsi syariah dengan dalih pembaharuan, dan kadang-kadang membenarkannya, terutama yang berkaitan dengan urusan politik. Tren ini juga didukung oleh UEA, terutama Organisasi Munazhamah Mu`minûna bilâ Hudûd, seperti yang telah kami singgung.
5- Memberikan kover agama untuk kebijakan normalisasi dengan entitas Zionis yang dilakukan oleh rezim Emirat, Saudi dan Mesir secara penuh, dan kover untuk praktik tirani politik, melalui fatwa dan pandangan fikhiyah yang dibuat-buat.
6- Partisipasi aktif dalam konferensi yang diadakan oleh al-Azhar dengan judul Pembaharuan Wacana Keagamaan. UEA berpartisipasi dalam konferensi terakhir yang diadakan oleh al-Azhar pada awal tahun ini. Dalam konferensi itu Dr. Muhammad Matar al-Ka’bi, ketua Badan Umum untuk Wakaf (al-Hay`ah al-‘Âmah li al-Awqâf) di Uni Emirat Arab, menyerukan untuk mengoreksi kesalahpahaman kaum muda tentang hakikat iman, Islam, afiliasi kepada tanah air, hakikat jihad, amar makruf dan nahi mungkar. Demikian juga menjelaskan secara akurat dan menyeluruh konsep kemurtadan, “untuk memutus jalan bagi kelompok teroris dengan penafsiran keliru untuk nas-nas, memalingkannya dan memotongnya keluar dari konteksnya”. Dalam pidatonya di sesi yang membahas peran institusi akademik keagamaan dalam memperbaharui pemikiran Islam, al-Ka’bi menambahkan, “Penafsiran teks yang salah yang disiarkan oleh kelompok teroris kepada para pemuda dan mendorong mereka untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama; membuat citra stereotip Islam memusuhi sesama dan merusak peradaban umat manusia serta haus darah orang yang melanggarnya, sebagaimana juga mempromosikan untuk tidak mengakui tanah air dan membagi dunia menjadi Dar al-Islâm dan Dâr al-Kufr”.
7- Menyerang Shahîh al-Bukhârî dan mendeskripsikannya sebagai “kitab terbelakang, dan bahwa kita tidak dapat memenjarakan diri kita sendiri dalam buku-buku yang berusia 1400 setahun” oleh akademisi Emirat Moza Ghabasy. Hal itu dilakukan di hadapan Nahyan bin Mubarak Alu Nahyan, Menteri Toleransi. Wasim Yusuf, seorang pendakwah naturalisasi Emirat, mendahuluinya ketika dia mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya pada al-Bukhari dan Sunnah Nabi secara mutlak, mengisyaratkan bahwa keimanannya hanya berdasarkan pada al-Quran al-Karim.
Memantau Aktivitas Kaum Muslim dan Mempersempit Mereka, dan Tolerans Kepada Orang-orang dari Agama Lain di UEA:
The Washington Post baru-baru ini dalam laporannya menyatakan bahwa kontrol negara di UEA terhadap Islam meluas lebih dalam ke kehidupan sehari-hari kaum Muslim. Pemerintah memilih dan memeriksa semua imam, dan memberi mereka pedoman mingguan untuk khutbah Jumat. Bahkan praktik pengajaran Islam secara informal harus disetujui oleh pemerintah. The Washington Post menunjukkan bahwa UEA menganggap gerakan Islam sebagai ancaman utama bagi sistem politik dan keamanan nasional, khususnya setelah revolusi musim semi Arab pada 2011 M. Menurut laporan the Washington Post, UEA mentolerir perayaan besar umat Kristiani dan Hindu dan Tahun Baru Imlek, serta iklan dan propaganda untuk kegiatan keagamaan selain Islam.
Hubungan Dengan Entitas Yahudi:
Entitas Yahudi yang bersemangat untuk merasakan hari yang mana dia menemukan dirinya sendiri sebagai entitas alami yang dapat diterima di wilayah tersebut. Perkara ini sangat sulit selama hukum-hukum Islam dan ide-idenya tetap menancap di dalam jiwa umat yang mengharuskan umat untuk tidak menerima entitas kanker ganas di negeri kita, bahkan di tanah suci. Perkara ini tidak bisa terjadi keculai di bawah pendistorsi Islam dan menyeret umat Islam secara paksa agar rela dengan situasi de facto. Dan inilah yang diusahakan oleh para antek di negeri-negeri Muslim, terutama rezim as-Sisi dan rezim UEA, dan belakangan ikut serta di dalamnya Muhammad bin Salman.
Hubungan Emirat-Zionis telah menyaksikan perkembangan yang luar biasa, mencapai tingkat kerja sama yang erat yang berpuncak pada penunjukan Muhammad Dahlan sebagai penasihat keamanan Putra Mahkota Emirat, Muhammad bin Zayid. Dahlan, seorang Palestina yang dituduh melakukan kegiatan intelijen untuk kepentingan entitas Zionis. Dahlan juga dikenal sebagai penyusup di dalam Jalur Gaza. Yang mana, dia mendirikan fasilitas penahanan dan menargetkan aktivis Hamas dengan penangkapan, likuidasi, dan spionase untuk kepentingan “Israel”.
Keharmonisan rahasia antara entitas Yahudi dan rezim Emirat mulai terlihat di depan umum baru-baru ini, yang mana rezim Emirat menerima secara terbuka beberapa tokoh resmi yang mewakili negara pendudukan, dan disertai dengan pertemuan-pertemuan rahasia untuk membahas cara-cara meningkatkan kerja sama di antara mereka di bidang ekonomi dan budaya. Menteri luar negeri entitas Yahudi Yisrael Katz yang dikenal rasis ikut berpartisipasi di dalam Konferensi PBB tentnag iklim yang diselenggarakan di UEA pada bulan Juni 2019 M. Selain Menteri Kebudayaan entitas Yahudi sayap kanan ekstrem Miri Regev mendamppingi tim Israel selama turnamen Judo internasional pada bulan Oktober 2018 M. Ini di samping yang disebarkan oleh media berupa kunjungan rahasia mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel Gadi Azancot pada bulan November 2018 M.
Hubungan normalisasi juga mencapai wilayah udara, setelah salah satu pesawat milik perusahaan pemerintah “Dubai Ports World“ yang merupakan salah satu dari lima perusahaan terbesar pengelola pelabuhan internasional beberapa kali mendarat di Bandara Ben Gurion. Perusahaan yang disebutkan di atas memiliki hubungan komersial dengan entitas Yahudi, terutama investasi bersama yang dikumpulkannya dengan Perusahaan Perkapalan Israel Zim yang secara langsung terlibat dalam kejahatan entitas Yahudi terhadap rakyat Palestina sejak Nakba hingga saat ini. Perusahaan Dubai Ports World serius untuk memperkuat hubungan dagang dengan entitas Yahudi. Hal itulah yang mendorong CEO-nya, Sultan Ahmad Bin Sulayyim melakukan kunjungan ke Tel Aviv pada bulan Agustus 2019 untuk membahas cara memperkuat kerja sama ini.
Normalisasi hubungan tidak hanya normalisasi perdagangan yang diatur oleh pemerintah, tetapi melampaui hal itu sampai tingkat keamanan. Investigasi Bloomberg menyingkap proyek infrastruktur keamanan yang dikembangkan oleh perusahaan Israel dengan para insinyur Israel di UEA senilai enam miliar dolar. Dalam situasi kesepakatan-kesepakatan militer atau keamanan yang dilakukan antara negara pendudukan dengan beberapa rezim Teluk yang otoriter ditutup-tutupi, sebuah laporan terbaru surat kabar Haaretz mengungkapkan tentang kesepakatan antara entitas Yahudi dengan UEA untuk pembeli paling akhir pesawat pengintai canggih Israel dengan nilai sekira 846 juta dolar.
Sebaaimana Emirat berpartisipasi berdampingan dengan entitas Yahudi dalam manuver udara militer. Yang pertama adalah manuver yang berjudul Red Flag di Amerika Serikat yang juga diikuti oleh tentara Pakistan dan Spanyol di samping Amerika Serikat. Yang kedua, manuver yang dilakukan di pangkalan udara Yunani … Semua yang kami sebutkan adalah pendahuluan untuk pengumuman UEA atas normalisasi hubungannya secara resmi dengan Israel pada 13 Agustus 2020 M, dalam sebuah langkah yang secara terbuka melampaui semua keharaman.
Sumber: Majalah al-Wa’ie (arab) Tahun ke-35 Shafar al-Khair 1442 H – Oktober 2020 M
http://www.al-waie.org/archives/article/15220