Mediaumat.id – Pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mendengar kabar bahwa ada tanda-tanda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan diselenggarakan dengan tidak jujur dan adil, dinilai biasa saja tidak ada yang istimewa.
“Pandangan SBY itu biasa saja, enggak ada yang istimewa,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Erwin Permana kepada Mediaumat.id, Senin (19/9/2022).
Menurut Erwin, dalam demokrasi kekuasaan itu diperebutkan dengan menghalalkan segala cara. Sehingga mustahil ada kejujuran dan keadilan. Mencari pemilu yang jujur dan adil dalam demokrasi itu seperti mencari jarum dalam jerami, mustahil, dan sangat sulit.
Ia melihat, setiap pemilu pasti dilingkari dengan persekongkolan, kecurangan dan berbagai skenario untuk meraih kekuasaan. Termasuk pemilu-pemilu sebelumnya. Ia mencontohkan, hal yang paling umum dalam setiap kali pesta pemilu adalah adanya akrobat data daftar pemilih tetap (DPT). Mulai dari terdaftarnya anak-anak sebagai pemilih, hingga orang yang sudah meninggal tapi masih masuk DPT.
“Belum lagi kita memperhatikan adanya korupsi besar-besaran menjelang pemilu yang anggarannya patut diduga untuk ongkos pemilu yang memang mahal,” bebernya.
Erwin mengungkapkan, ada masalah mendasar dalam sistem hidup masyarakat negeri ini yakni mengadopsi sistem dengan dasar sekuler. Kemudian di atasnya dibangun peradaban demokrasi yang menjadikan kebenaran itu menjadi relatif. Dan mereka bangga dengan kebenaran relatif itu. Akhirnya masing-masing orang punya klaim kebenarannya sendiri-sendiri. Pandangan seperti ini membuat aktor-aktor demokrasi melakukan hal-hal yang haram namun diklaim sebagai kebenaran.
Dan sebaliknya jika ada orang lain yang melakukan suatu hal yang sesungguhnya halal, tapi karena musuh politik maka akan dituding pelanggaran. Erwin mencontohkan, Jokowi sebagai Presiden sudah sangat banyak melakukan pelanggaran UU, tapi tetap diklaim benar. Sedangkan umat Islam yang hanya mendakwahkan khilafah dan itu jelas ajaran Islam dianggap sebagai pelanggaran, sehingga di-bully dan dimusuhi.
“Semua itu akibat sistem hidup sekuler yang telah meracuni kehidupan kita,” pungkas Erwin.[] Agung Sumartono