SBY Kutip Mochtar Lubis (1977) ‘Manusia Indonesia Munafik’, Relevankah Sekarang?

Mediaumat.id – Untuk menjawab masih relevan tidaknya pernyataan salah satu ciri manusia Indonesia adalah munafik —sebagaimana yang dikutip Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari buku Manusia Indonesia (1977) karya Mochtar Lubis— dengan kondisi sekarang, Analis Geopolitical Institute Adi Victoria mengaitkannya dengan fakta yang ada sekarang.

“Untuk menjawabnya kalau menurut saya tentu kita bisa menggunakan akal sehat untuk menilai bagaimana fakta yang ada sekarang,” tuturnya di Kabar Petang: Munafik & Feodal, Ciri Manusia Indonesia? melalui kanal YouTube Khilafah News, Rabu (30/8/2023).

Menurut Adi, munafik secara umum disandarkan kepada seseorang ketika dia berbicara berdusta, ketika berjanji mengingkari, ketika diberi amanah mengkhianati. “Tinggal lihat saja apakah rakyat Indonesia seperti itu?” tukasnya.

Ia mencontohkan, wakil rakyat yang duduk di kursi dewan yang mewakili rakyat apakah sudah benar-benar menjalankan amanah sebagai wakil rakyat atau malah menjadi wakil kelompok elite tertentu?

“Salah satu amanah itu, berkaitan dengan pengelolaan uang. Kalau korupsi masih sering terjadi baik oleh anggota dewan ataupun penguasa berarti memang belum bisa berlaku amanah,” ucapnya mencontohkan.

Ia memberikan contoh lain, pelayanan pendidikan dan kesehatan adalah hak rakyat dan tanggung jawab negara.

“Faktanya rakyat malah diminta iuran untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Padahal kalau hak rakyat semestinya negara yang bertanggung jawab memberikan layanan kesehatan kepada rakyat. Ini malah seolah menjadi kewajiban rakyat,” kesalnya.

Mitos

Adi juga menyebut mitos-mitos modern yang membelenggu manusia untuk maju. Satu di antaranya mitos demokrasi.

“Prof. Timothy D. Snyeder dari Universitas Yale Amerika dalam bukunya On Tyranny menyebut demokrasi telah banyak menghasilkan tiran dunia, diktator dunia,” ungkapnya.

Tiran, lanjutnya, adalah pemimpin yang antikritik, membungkam suara yang berseberangan denganya. “Pembungkaman suara ini terjadi. Jadi kalau ada slogan demokrasi itu demi rakyat banyak itu adalah palsu, karena faktanya bertolak belakang. Ini ironi!” simpulnya.

Adi menambahkan, termasuk bagian dari demokrasi, adalah ide kebebasan beragama. “Barat katanya menjujung tinggi ide kebebasan beragama. Tapi Barat malah melarang pendirian masjid, melarang pemakaian kerudung dan lain-lain. Ternyata Barat hipokrit. Jadi kebebasan beragama mitos palsu juga,” nilainya.

Pemikiran

Dalam pandangan Adi, sebuah bangsa bisa maju hingga mencapai peradaban gemilang kuncinya ada di pemikiran.

“Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa bangkitnya manusia itu tergantung pada pemikirannya tentang manusia, alam semesta dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia,” ucapnya.

Pemikiran seperti di atas menjawab pertanyaan dari mana asal manusia, untuk apa dia hidup dan mau kemana setelah mati.

“Jawaban dari pertanyaan ini akan membentuk landasan berpikir seseorang, termasuk menjadi cara pandangnya dalam melihat kehidupan dunia. Apakah cara pandangnya berpijak kepada Islam, sekuler atau bahkan komunis,” urainya.

Orang yang menjawab pertanyaan dengan Islam, bahwa dirinya berasal dari Allah, di dunia untuk ibadah, dan setelah mati akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, menurut Adi, akan senantiasa mengikatkan perbuatannya dengan aturan Sang Pencipta, sehingga akan menjadi individu yang bertakwa.

“Untuk membentuk masyarakat yang berperadaban cemerlang, tidak cukup hanya individu yang bertakwa saja tapi butuh kontrol masyarakat dan peran negara yang memiliki kemauan mewujudkan peradaban gemilang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: