Saya Mendidik Anak Saya Supaya Seperti Ini
Pada tahun 1940 M, tentara Cina dan Rusia menyerbu Turkestan Timur untuk menaklukkan umat Islam yang tinggal di dalamnya. Dalam penyerbuan ini, seperti biasa, mereka melakukan pembantaian dan kejahatan terhadap umat Islam, termasuk pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, dan pelanggaran kesucian. Mereka menangkapi orang-orang yang diketahui membawa senjata, apakah itu senapan, panah, atau bahkan pisau sekali pun.
Ada seorang pahlawan Kazakh, Osman Islamoglu, yang dijuluki “Batur” yang berarti pemberani, menolak menyerahkan senjatanya, dan memilih untuk tinggal di gunung.
Osman Batur lahir pada tahun 1899 M di Wilayah Koktokay, Prefektur Altay, Xinjiang – pendudukan Turkestan Timur dari Republik Rakyat Tiongkok.
Ketika dia memilih untuk tinggal di gunung, maka temannya Sulaiman dan putra sulungnya Sherdiman ikut bersamanya. Mereka membentuk kelompok mujahid yang tujuannya adalah untuk membuat perlawanan dan membalas dendam pada musuh dari prajurit Rusia-Cina. Mereka mulai menyerbu pusat-pusat industri, membunuh para penjaga dan mengatur penyergapan.
Osman Batur yang berusia empat puluh tahun itu telah berjihad selama sepuluh tahun di Pegunungan Altay dengan kekuatan tiga puluh ribu Mujahidin yang bersamanya, sedang jumlah pasukan Cina saat itu adalah 300 ribu tentara.
Akan tetapi angin datang tidak seperti yang diinginkan kapal. Ya, seperti biasa, dalam setiap perjuangan ada pengkhianatnya, yang memberi tahu pasukan Cina tentang keberadaannya Osman Batur. Sehingga Osman Batur harus menghadapi pasukan Cina yang akan datang untuk membunuhnya bersama dua ratus Mujahidin yang bersamanya. Setelah pertempuran sengit, kuda ksatrianya jatuh dan kuda kemuliaan itu melemparkan penunggangnya, serta senapan mesinnya—yang dia rampas dalam pertempuran—rusak. Namun demikian, dia tidak berhenti melawan, dan terus bertarung dengan belatinya sampai dia jatuh terluka.
Pada 29 April 1951, dia ditangkap, kemudian dengan bengis dan sadis musuh memotong hidung dan telinganya, dalam menghadapi eksekusi hukuman mati, dia tak henti-hentinya meneriakkan Takbīr (Allahu Akbar) dan Tahlīl (Lā Ilāha Illallāh), hingga dia menyambut kematiannya dengan kemuliaan.
Ketika berita kematiannya sampai pada ibundaya, Aisyah, sepontan dia berkata: “Saya mendidik anak saya supaya seperti ini.”
Sumber: Dikutip dari buku “Lam Yanhanū (Mereka yang Tidak Mau Membungkuk)” oleh Yusuf Ziya Arpacik.