Satu Dekade Berlalu: Pelajaran Dari Suriah
Pemberontakan di Suriah pada akhir tahun ini akan mencapai peringatan satu dekade. Saat ini terjadi, sedang berlangsung pertandingan babak akhir di Suriah dengan wilayah terakhir yang tersisa – Idlib – dimana disaksikan pertempuran berskala penuh di wilayah terakhir di luar kekuasaan rezim Bashar al-Assad. Belum lama ini al-Assad memohon bantuan saat dia berjuang untuk mempertahankan kendali atas seluruh negara. Tetapi karena pertempuran untuk wilayah terakhir di negara itu berjalan lancar, ada banyak pelajaran yang bisa diambil, satu dekade kemudian.
Kurangnya kesadaran politik telah merugikan saudara-saudari kita dan akibatnya mereka tidak dapat menentukan siapa musuh dan siapa sekutu. Sementara rezim Ba’athist adalah para penindas dengan jalur pasokan yang jauh melampaui Suriah. Meskipun ada retorika Barat terhadap rezim al-Assad, Bashar dipuji di ibukota-ibukota di Barat sebelum terjadinya pemberontakan. Dia digambarkan sebagai seorang reformator saat Hilary Clinton mengatakan al-Assad harus diberikan waktu di Suriah. Akibatnya, banyak kelompok pemberontak yang mengambil senjata dan bantuan dari Barat dan mengira Barat akan membantu perjuangan mereka melawan rezim Baath. Padahal pada kenyataannya mereka ingin menggagalkan pemberontakan itu sendiri.
Pada tahun 2012, Menteri Pertahanan Leon Panetta dalam sebuah wawancara dengan CNN menguraikan kebijakan AS, dengan mengatakan: “Saya kira penting ketika Assad turun, dan dia akan turun, untuk mencoba menjaga stabilitas di negara itu. Cara terbaik untuk menjaga stabilitas adalah dengan mempertahankan sebanyak mungkin pasukan militer dan polisi, bersama dengan pasukan keamanan, dan berharap Assad akan mengambil bentuk pemerintahan yang demokratis. Itulah kuncinya. ”
Tujuan Amerika adalah mempertahankan rezim, dengan atau tanpa al-Assad. Kelompok pemberontak yang bersekutu dengan Barat akhirnya dipaksa untuk menandatangani gencatan senjata dengan rezim, karena mereka tidak pernah diberi senjata yang cukup, dan kemudian menghadiri konferensi di Riyadh, Jenewa, Wina dan Astana untuk bernegosiasi dengan rezim itu sendiri.
Intervensi langsung dari Barat yang dipimpin oleh AS memiliki dampak terbatas, karena sebagian besar kelompok pemberontak tidak pernah mengambil bantuan AS. Di sini AS memanfaatkan negara-negara di kawasan itu untuk mengelola berbagai wilayah Suriah dan kelompok pemberontak yang berperang di dalamnya. Turki mengelola wilayah utara Suriah dan mengorganisasikan banyak pembelot militer Suriah menjadi Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Arab Saudi mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok Salafi yang hadir di Suriah Selatan. Saudi akhirnya mendorong kelompok-kelompok ini untuk ikut dalam perundingan Wina. Qatar juga mulai mendukung beberapa kelompok pemberontak termasuk koalisi yang dikenal sebagai Tentara Penaklukan, bahkan mengoperasikan basis pelatihan bagi pemberontak di wilayahnya. Qatar-lah yang mengorganisir kelompok ‘Teman-teman Suriah’ atas inisiatif Eropa yang merupakan upaya untuk memulai proses paralel dengan AS, sehingga Qatar dapat memaksa semua pemimpin pemberontak untuk ambil bagian. Namun, setelah inisiatif ini gagal semua kelompok itu bergabung dengan proses Jenewa. Yordania mendukung kelompok pemberontak di Gubernuran Deraa termasuk Front Selatan FSA. Akhirnya Yordania mengurangi dukungannya bagi kelompok tersebut dan kemudian mempersenjatai kelompok-kelompok yang memerangi kelompok pemberontak yang lebih Islami.
Masing-masing negara mendukung kelompok pemberontak tertentu di wilayah tertentu, dan mereka memastikan kelompok-kelompok itu tidak tumbuh di luar wilayah mereka dan AS memastikan tidak ada negara yang mendukung kelompok pemberontak untuk tumbuh terlalu kuat. Kelompok-kelompok pemberontak hanya diberikan senjata dengan kemampuan dasar, tidak pernah diberikan senjata berat yang akan membuat mereka berbeda, dan tidak akan pernah membuat mereka berbeda. Kurangnya dukungan senjata berat ini akhirnya memaksa hampir semua kelompok pemberontak itu melakukan gencatan senjata dengan rezim karena mereka tidak dapat mengalahkan milisi yang didukung al-Assad. Gencatan senjata itu termasuk penempatan kembali ke Idlib, yang saat ini sedang dibom. Ada hubungan langsung antara kelompok pemberontak dan negara-negara di sekitarnya yang terlibat. Semakin banyak negara-negara regional terlibat di Suriah, semakin banyak wilayah yang hilang oleh kelompok pemberontak tersebut. Negara-negara regional ini tidak ingin ditinggalkan saat mereka melihat negara-negara saingan mereka mengeluarkan uang dan senjata ke Suriah.
Qatar dan Saudi melihat kehadiran Iran sebagai ancaman dan kemudian kedua negara ini melihat satu sama lain sebagai ancaman. AS dapat menggunakan semua negara itu untuk tujuannya sendiri karena mereka hanya mengejar tujuan sempit mereka sendiri yang terbatas.
Dalam kasus Turki di Suriah utara, kenyataan yang menyedihkan adalah di hari saat pasukan Turki memasuki Suriah, kelompok pemberontak benar-benar kehilangan wilayah dan sekarang berjuang untuk hidup di Idlib. Turki tidak dapat melihat selain Kurdi dan mengalirnya pengungsi Muslim ke Turki karena hal ini mempengaruhi posisi Erdogan di Turki.
Pertandingan terakhir di Suriah saat ini sedang berlangsung dan tidak diragukan lagi ini bukanlah pemberontakan terakhir di dunia Muslim dan itulah sebabnya pelajarannya bisa diambil. Pelajaran yang paling penting adalah meskipun kehilangan di Suriah sebagai umat kita harus mendapatkan revolusi kita yang benar karena musuh-musuh Islam bisa berhasil setiap saat.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Adnan Khan
22 Jumadil Akhir 1441 H
Minggu, 16 Februari 2020