Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Baru-baru ini ada seorang profesor yang memiliki dua gelar doktor yang mempersoalkan kompetensi para pengemban dakwah yang tidak sejalan dengannya, dengan alasan, mereka tidak bersanad. Persoalan ini mengemuka karena ada yang terlalu bersemangat dan lalu agak meremehkan para doktor, dan seolah-olah gelar prestisius itu tidak terlalu penting.
Sebenarnya persoalannya berakar ketika kita kurang mengenali kenyataan adanya tiga jenis kebenaran: naratif, induktif, dan deduktif.
Yang naratif, itu adalah kebenaran pemindahan fakta menjadi data. Dari realitas (dunia nyata) ke dalam pikiran (dunia model). Dari pengamat pertama ke penutur yang sampai kepada kita. Ini berlaku pada apa saja. Pada ilmu hadits, sejarah atau hukum jelas.
Di dunia sains juga. Di dunia sains, orang yang memasang alat di Antartica atau di stasiun ruang angkasa ISS wajib membuktikan bahwa alatnya akurat, ketidaktelitiannya diketahui dalam batas toleransi, intinya mencatat fenomena apa adanya.
Bedanya, dalam sains, proses pengukuran itu bisa diulangi orang lain, selama fenomenanya masih ada. Dalam hadits, sejarah, atau hukum, fenomena sudah lewat. Nabi sudah wafat. Revolusi sudah berlalu. Perkara sudah terjadi. Tidak ada pengulangan. Maka sanad menjadi sangat penting.
Namun tentu saja ini fardhu kifayah. Tidak wajib semua Muslim punya sanad. Hanya saja, perlu ada ahli Alquran atau ahli Hadits bersanad yang bersaksi bahwa isi mushaf Alquran atau kitab Shahih Bukhary itu tetap seperti aslinya. Kepada merekalah kita mempertaruhkan ayat atau hadits yang menjadi referensi keislaman kita itu. Itulah makanya setiap Alquran yang diterbitkan harus disahkan oleh Lajnah Tashih Qur’an dari Kementerian Agama. Lajnah ini beranggotakan para hufadz yang bersanad. Hal yang sama juga terjadi pada penerbit kitab-kitab hadits.
Ternyata di dunia sains pun sama. Para saintis mempertaruhkan data yang mereka terima dari Antartica atau ISS pada lab-lab kalibrasi alat-alatnya.
Sebagai contoh, dalam belajar dasar-dasar keislaman, saya belajar dari ibu saya, Machwiyah. Bunda belajar dari Kyai Syaubari (Soropaten-Magelang), uwaknya yang mengasuhnya dari kecil setelah yatim piatu. Kyai Syaubari belajar dari ayahnya, Kyai Sholeh bin Umar, yang juga dikenal dengan nama Kyai Sholeh Darat dari Semarang, dan seterusnya. Namun saya juga belajar dari ayah saya, dari guru-guru agama saya di SD, SMP, SMA yang saat itu lulusan PGA atau IAIN, yang pasti juga punya guru dan seterusnya. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia tidak mencantumkan sanad di ijazah.
Yang induktif, itu adalah kebenaran penyimpulan atas data. Dalam fiqih, ini adalah kemampuan istinbatul hukmi. Kadang beberapa ayat atau hadits seperti kontradiktif. Ahli fiqihlah yang dapat memilah mana yang ‘am (umum), mana yang khas (khusus), mana yang mujmal, mana yang muqayyad, dsb.
Ini perlu pendidikan, dan “jam terbang”. Jelas ada bedanya antara mereka yang sudah 10 tahun menekuni persoalan secara full time, dengan yang baru “kemarin sore” itupun part time. Mereka yang terdidik secara reguler, apalagi sampai S3, mestinya memang lebih faqih, dibanding yang tidak S3.
Namun, sebagaimana di bidang lainnya, kadang ada yang tidak sekolahan formal, tetapi kompeten ditempa pengalaman, jadi lebih faqih. Karena itu, di sini sanad tidak mutlak. Sanad hanya afdhaliyah, yang lebih utama adalah kualitas istinbat itu sendiri.
Kebenaran kesimpulan itu relatif tergantung data dan alur logika yang dipakai. Kesimpulan yang paling benar adalah kesimpulan yang sama sekali tidak menyisakan kejanggalan. Semua data yang shahih (valid) terpakai, tak ada yang dibuang, konsisten dengan data-data baru yang diprediksi. Baru ini kesimpulan yang objektif. Ini akan sangat kuat. Tidak tergantung sanad orang yang menyimpulkan.
Makanya ada kesimpulan yang qath’i (pasti) dan yang dzanny (dugaan kuat). Ini terjadi baik dalam fiqih maupun sains. Bahwa bumi itu mendekati bulat, bukan datar seperti cakram, itu kesimpulan induktif dari berbagai data, namun sifatnya qath’i. Tidak akan berubah lagi. Namun seberapa bulat, berapa meter perbedaan radius bumi yang ke khatulistiwa dengan yang ke kutub, itu dzanny, ada dalam kisaran toleransi kesalahan alat-alat ukurnya.
Dalam belajar sains, saya belajar pada guru-guru SD, SMP dan SMA hingga para dosen di universitas. Mereka tentu juga mendapat ilmu dari gurunya lagi. Kalau matematika, akan sampai juga ke Newton, Al-Khawarizmi, Phytagoras, dan seterusnya. Merekalah yang pertama menyimpulkan sebagian fenomena itu, dan masih bisa diuji hingga hari ini. Namun untuk sains, sanad tidak lazim ditulis lengkap. Orang cukup menulis nama penemu dalam referensi sebagai penghargaan.
Yang deduktif, itu adalah kebenaran penciptaan karya baru. Sebagai karya baru, tentu kebenarannya subjektif, mutlak tergantung si pencipta. Kalau seorang ayah memberi nama anaknya Hasan, bukan Husen, itu kebenarannya mutlak dan subjektif. Karena hak dia memberi nama yang baik sesukanya.
Demikian juga ketika Steve Jobs memberi nama perangkat ciptaannya dengan iPad, ya suka-suka dia. Soal nanti terpakai atau tidak, itu tergantung apakah ciptaan baru itu menyelesaikan persoalan atau tidak.
Dalam fiqih, yang seperti ini adalah ijtihad. Seorang mujtahid memang diperlukan untuk memberikan solusi-solusi atas persoalan baru yang dulu belum ada. Zaman Nabi belum ada pesawat. Maka dulu tidak ada yang bertanya kepada Nabi bagaimana cara shalat di pesawat. Bahkan di zaman Umar bin Khaththab saja, sudah banyak ijtihad yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak pernah dihadapi Nabi.
Apakah untuk ijtihad ini perlu sanad? Kalau ada sanad, maka itu bukan untuk ijtihadnya, tetapi untuk data yang dipakai, atau untuk sekadar mencari tahu, apakah di zaman dulu pernah ada persoalan yang sejenis yang dijawab oleh mujtahid zamannya. Tetapi kalau persoalannya mutlak baru, semisal shalat di pesawat tadi, maka sanad menjadi tidak relevan. Yang relevan adalah sabda Nabi, bahwa seorang mujtahid itu kalau benar dapat dua pahala, kalau salah satu pahala. Tetapi tentu saja, ijtihad yang di belakang hari terbukti salah, tidak boleh diikuti.
Syeikh Taqiyuddin an Nabhani jelas memiliki sanad dalam Alquran, Hadits dan Fiqih, karena beliau dididik kakeknya Yusuf an-Nabhani dan juga seorang Azhari (alumnus Al-Azhar asy Syarif). Namun ijtihad beliau dalam “Membangun kembali Khilafah pasca runtuh tahun 1924”, pasti belum pernah dipelajari dari guru-gurunya, karena berabad-abad Khilafah selalu ada. Jadi dalam ijtihad ini, tidak relevan menanyakan sanadnya. Yang jelas, beliau menggali ijtihad itu dari metode dakwah Rasulullah, yang diaplikasikan dalam konteks zaman modern.
Jadi sebelum bertindak ekstrem, baik yang mendewakan sanad (karena bergelar Profesor Doktor), ataupun yang ekstrem di kubu yang lain, yang meremehkan sanad (karena tidak bergelar pada bidang tersebut), sebaiknya semua berendah hati dan bertanya, apakah persoalan yang dihadapi ini bersifat naratif, induktif, atau deduktif.[]