Salamuddin Daeng: Kalau Beli Rio Tinto, Jangan Bilang Beli Freeport

 Salamuddin Daeng: Kalau Beli Rio Tinto, Jangan Bilang Beli Freeport

Pada Kamis, 12 Juli 2018, Kementerian Keuangan (Kemkeu), Kementerian BUMN, Kementerian ESDM dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) serta Freeport McMoRan.inc (FCX) menandatangani Head of Agreement (HoA))—yang pemerintah sebut sebagai—kesepakatan  pokok-pokok divestasi saham 51 persen Freeport Indonesia.. Benarkah HoA tersebut berisi pembelian saham Freeport? Mengapa? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan pengamat ekonomi politik dan peneliti tambang Salamuddin Daeng. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda dengan  pernyataan pemerintah yang membeli 51 persen saham Freeport?

Skema yang mereka bangun itu jelas menjerumuskan Jokowi semua. Amerika sih senang-senang saja dengan divestasi ini karena tidak mengikat Freeport secara korporasi.

Karena dalam HoA dengan Freeport, disebutkan rincian harga divestasi saham 51 persen senilai US$ 3,85 miliar tersebut, sebanyak US$ 3,5 miliar untuk harga 40 persen participating interest (PI) Rio Tinto dan 9,36 persen milik PT Indocoper dengan harga US$ 350 juta.

Walaupun saham yang didisvestasi 51 persen tidak mengikat Freeport?

Lho, itu kan transaksinya dengan Rio Tinto! Jadi yang dibeli pemerintah ini Rio Tinto, subkontraktornya Freeport. Apakah PT Rio Tinto Indonesia ataukah Rio Tinto internasional yang dibeli sahamnya, saya belum tahu.

Kenapa harus diketahui dulu PT atau internasionalnya?

Karena perusahaan negara atau BUMN itu hanya boleh membeli, mengakuisisi, mengambil alih badan usaha milik negara lainnya atau perseroan terbatas. Jadi kalau perusahaan asing itu bukan perseroan terbatas. Perusahaan asing itu bentuknya macam-macam, kalau perseroan terbatas itu berarti berbadan hukum Indonesia. Nah, BUMN itu dalam regulasinya tidak boleh membeli perusahaan asing.

Nilai Rio Tintonya sendiri di mata Freeport bagaimana?

Setelah pemerintah membeli Rio Tinto, tentu saja Freeport akan melakukan negosiasi ulang dengan Indonesia. Berapa nilai Rio Tinto sekarang. Nilai Rio Tinto dulu waktu membeli peralatan operasi di Freeport segala macam 20 tahun lalu, dikurangi dengan nilai sekarang yang telah dikurangi penyusutan dan macam-macam, nanti ketemu nilainya kecil sekali. Sudah beli saham mahal, ketika dihitung ulang nilainya kecil.

Nilainya akan lebih kecil lagi karena Rio Tinto itu tidak punya cadangan, tidak punya kontrak dan lainnya, Rio Tinto itu hanya punya peralatan yang beroperasi di Freeport. Nah, itu sebenarnya yang kita beli. Peralatan itu nilainya pasti akan dihitung ulang oleh Freeport. “Karena sudah menyusut, nilainya jadi mengecil sehingga butuh investasi baru.” Karena butuh investasi baru, Freeport kan berutang jadinya, yang namanya penyertaan saham, nanti terdelusi, walhasil nilainya berkurang lagi. Jadi nanti Rp 52 triliun yang pemerintah bayarkan untuk membeli saham tidak lagi dalam proporsi hitungan sekarang. Menurut perhitungan saya akan berkurang sekitar 10 persen.

Tapi itu kalau Freeport mau mengakui bahwa Rio Tinto itu bagian dari skema divestasi. Tiba-tiba Freeport berubah pikiran, lalu mengatakan “Rio Tinto tidak masuk dalam skema divestasi” bagaimana?

Kok bisa begitu?

Bisa! Karena di dalam Kontrak Karya, divestasi yang diatur hanya dengan Freeport, tidak ada dengan perusahaan subkontraktor atau pun perusahaan lainnya. Jadi pemerintah membeli sesuatu yang salah. Bertransaksi secara ilegal.

Kok ilegal sih?

Apa coba dasar hukumnya? Undang-undang bukan, Kontrak Karya bukan. Peraturan Menteri bukan, tidak tahu apa dasar hukumnya. Siapa Rio Tinto itu? Rio Tinto itu kan tidak ada kontrak dengan pemerintah untuk dibeli atau dijual. Kalau begitu bukan divestasi Freeport dong, tetapi pembelian biasa, jadi jangan dibilang divestasi Freeport.

Kalau divestasi Freeport yang dibeli itu seharusnya saham Freeport, bukan saham Rio Tinto. Kalau beli saham Rio Tinto, seharusnya bilang saja mau beli saham Rio Tinto.

Sekarang ini ada 11 lokasi tambang Freeport yang beroperasi di Papua, namun yang mau dibeli pemerintah adalah deposit Grasberg yang sekitar 60 persen telah habis dikeruk, yang dimaklonkan (subkontraktor) oleh Freeport ke Rio Tinto. Jadi masih tinggal 40 persennya, itu pun underground (bawah tanah). Underground mining (penambangan bawah tanah) itu lebih mahal biaya operasionalnya, harus dibiayai ulang lho dengan investasi baru.

Tapi pada intinya ini ilegal, karena tidak ada payung hukumnya. Jadi kalau transaksinya dengan Freeport ya bilang dengan Freeport, kalau dengan Rio Tinto, bilang dengan Rio Tinto. Nah, kalau dengan Rio Tinto, namanya bukan divestasi saham Freeport, kasihlah nama yang lain.

Jadi faktanya hanya membeli Rio Tinto saja ya?

Untuk membeli Rio Tinto pun itu kan ilegal, karena tidak ada klausul pembelian saham ke perusahaan subkontraktornya Freeport. Untuk membeli sesuatu yang ilegal ini pun pemerintah belum punya uang.

Katanya mau beli kontan…

Dari mana uangnya?

 

Dari 11 bank nasional maupun asing…

Kalau seandainya uang bank itu bisa dipakai untuk beli tambang dengan mekanisme jual beli saham seperti ini, uang bank itu sudah habis di seluruh dunia ini karena dipakai oleh umat manusia dan para investor untuk jual beli saham Newmont dan Freeport. Tapi faktanya tidak ada kan orang yang bermain seperti itu. Berarti permainan ini permainan apa? Permainan luar biasa…

Tujuan pemerintah apa melakukan permainan luar biasa ini?

Sampai sekarang saya itu belum mengerti, tujuannya itu apa. Mungkin mau menggertak Amerika kali. Karena Amerika telah melancarkan perang dagang kepada Cina dan Indonesia. Mungkin Amerika menganggap Indonesia jadi bagian dari Cina sehingga ketika Amerika dan Cina perang dagang Indonesia kena dampaknya. Kita kan kena tarif di aluminium 10 persen, di baja 25 persen. Dipukul oleh Amerika.

Tapi ya mungkin pesannya bahwa Pak Jokowi ingin menggertak Amerika, “Kamu kalau ngasih sanksi dagang ke aku, saya akan menasionalisasi Freeport.” Tapi ya bagaimana, nasionalisasi kok pakai uang asing?

Tapi yang jelas, pemerintah melakukan transaksi dengan para pihak yang tidak diatur dalam UU dan KK. Transaksi pembelian participating interest (PI) Rio Tinto berpotensi sebagai tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *