Saksi Ahli Munarman: Ada Kesesatan dalam Perumusan Dakwaan JPU

Mediaumat. id – Saksi Ahli Munarman Dr. H. Abdul Chair Ramadhan.S.H., M.H. mengatakan ada kesesatan dalam perumusan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Pada prinsipnya saya pribadi mengatakan bahwa ada kesesatan dalam perumusan dakwaan JPU,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (18/3/2022).

Menurutnya, rumusan delik dalam pasal 14 juncto pasal 7 itu jelas dikatakan bahwa orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme adalah orang yang bertindak sebagai pemberi hasutan dan provokasi atau orang yang berkedudukan sebagai penganjur yang memberikan hadiah, uang, atau janji.

“Nah permasalahannya adalah bahwa dalam perkara tersebut tidak ada kondisi kejadian konkret terkait pasal 7. Kenapa? Karena ini kan dijunctokan. Orang yang menggerakkan itu ia dimasukkan ke pasal 14. Tetapi harus terbukti dulu kalau terjadi peristiwa konkretnya, dimaksudkan di sini telah memenuhi unsur pasal 7. Jadi saya istilahkan delik ini berpasangan. Pasal 14 itu tidak akan menjadi apa-apa ketika pasal 7 itu tidak terbukti. Dengan lain perkataan pasal 14 yang menyebutkan orang yang menggerakkan itu akan kehilangan obyeknya apabila pasal 7 itu tidak terpenuhi,” bebernya.

Abdul Chair mengatakan, pasal 14 yang dijunctokan dengan pasal 7 itu adalah delik materiil, bukan delik formil. Begitupun pasal 15 yang dijunctokan dengan pasal 7 itu adalah delik materiil. “Karena di sini sangat terang benderang ada kata-kata yang demikian banyak yang bersifat alternatif menimbulkan. Berkali-kali itu disebut menimbulkan itu. Berarti harus ada akibat konkretnya,” tegasnya.

Ia menilai jaksa tidak memahami ini. “Dia mendalilkan dengan mengacu kepada naskah akademik versi BPHN. Dia katakan naskah akademik versi BPHN ini adalah undang-undang. Masa iya seorang JPU mengatakan naskah akademik itu adalah undang-undang. Gimana ceritanya?” herannya.

“Kalau seorang jaksa melakukan pendakwaan kemudian menuntut tidak tahu, ini bagaimana?” tanyanya.

Menurut Abdul Chair ini suatu hal yang bertentangan. Kondisi demikian mengonfirmasi bahwa penerapan hukum, pemenuhan unsur itu cenderung dipaksakan, sangat dipaksakan. Apalagi di dalam hal ini ketika suatu delik itu materiil harus wujud dulu akibatnya. Ketika tidak ada akibatnya, tidak ada delik. “Disini juga harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kesalahan. Di sisi lain perbuatan dengan kesalahan itu berkorelasi, berhubungan dengan akibat yang terjadi,” ungkapnya.

“Sepanjang itu tidak ada, tidak mungkin ada suatu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan, karena doktrin kita asasnya monoistis yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan kesalahan. Kesalahan adalah kata lain dari pertanggungjawaban pidana. Tidak Mungkin seseorang dimintakan pertanggungjawaban tindak pidana ketika tidak ada kesalahan. Kesalahan tanda konkritnya adalah kesengajaan. Kesengajaan itu harus dibuktikan. Lagi-lagi jaksa tidak memahami ini,” tukasnya.

Menurutnya, semua aksi ahli yang dihadirkan mendalilkan sebaliknya dengan apa yang didalilkan oleh JPU. Apalagi JPU tidak menghadirkan ahli pidana.

“Ini sesuatu hal yang perlu kita sikapi bersama. Kenapa? Karena perkara H. Munarman ini sangat menarik perhatian, karena menyangkut kedudukan hukum itu sendiri yang harus diterapkan sesuai dengan asas hukum yang kita anut,” tegasnya.

“Kita tidak mungkin menerapkan hukum secara bias hanya berdasar selera atau hanya asumsi. Hukum itu harus demikian jelas, tegas bahkan diterapkannya itu dengan prinsip asas yang benar-benar sesuai dengan kedudukan hukum itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: