Saksi Ahli Linguistik Forensik: “Jin Buang Anak” Merupakan Metafora

 Saksi Ahli Linguistik Forensik: “Jin Buang Anak” Merupakan Metafora

Mediaumat.id – Saksi Ahli Linguistik Forensik Prof. Dr. Drs. Aceng Ruhendi Syaifullah, M.Hum. dalam sidang kasus Edy Mulyadi mengatakan, perkataan “Jin Buang Anak” merupakan gaya bahasa metafora.

“Itu merupakan metafora dalam kajian ilmu bahasa. Itu gaya bahasa yang berfungsi untuk memperkuat, memperdalam, membuat aksen suatu makna. Dalam ilmu bahasa secara global, memiliki kearifan-kearifan lokal seperti itu. Berupa bahasa-bahasa, ungkapan-ungkapan yang tertuju pada kearifan lokal yang pada dasarnya itu netral,” tuturnya dalam tayangan Live! Sidang Jin Buang Anak vs Oligarki Bersama Rocky Gerung, Selasa, (23/8/2022) di kanal YouTube MimbarTube.

Namun demikian, menurutnya, tergantung pematerinya, ditujukan kepada siapa, di mana, kapan dan untuk tujuan apa perkataan tersebut. “Saya menyimak dalam YouTube, itu diucapkan oleh Saudara Edy Mulyadi di Jakarta dalam sebuah konferensi pers. Jarak antara Jakarta dan Kalimantan itu jauh,” jelasnya.

Oleh karena itu, kasus tersebut kurang relevan jika dimaksudkan untuk warga Kalimantan. Menurutnya, harus dilihat juga Saudara Edy Mulyadi sedang melakukan apa. “Ia sedang melaporkan sebuah kejadian, sebuah peristiwa. Jadi, dilaporkan saja kejadiannya di mana. Metafora “Jin buang anak” itu mewakili tempat yang dilaporkan oleh pemateri atau tidak? Saya belum pernah ke Kalimantan,” bebernya.

Akan tetapi, menurutnya, apa yang dikatakan Edy Mulyadi tidak dimaksudkan untuk masyarakat Kalimantan. “Tapi, yang jelas, pikiran itu tidak dimaksudkan, tidak ditujukan kepada masyarakat Kalimantan. Pikiran itu muncul karena dipicu oleh wacana IKN (Ibu Kota Negara). Jadi, ditujukan kepada perumus IKN itu sendiri,” tegasnya.

Menurutnya, kalau ada potensi terjadinya kekerasan, itu muncul dari pihak penggagas IKN. Prof. Aceng kemudian menganalogikan jika ada orang yang menginjak kakinya. “Ketika saya teriak aduh, itu bukan ditujukan kepada orang lain. Tapi kepada orang yang menginjak kaki saya,” tambahnya.

Menurutnya, setiap wacana pasti ada pemicunya. Sementara tugas jurnalistik, menurutnya, memberikan informasi dan memberikan opini. “Untuk apa? Kepentingan publik. Jadi, di dalam jurnalis ada dua, ada kepentingan publik yang sifatnya struktural dan kepentingan individu,” jelasnya.

Sementara itu, ia menambahkan, bukti yang ada tidak mampu menguji linguistik forensik. “Karena yang dipersoalkan Saudara Edy itu tempat, bukan suku, bukan agama, bukan ras dan bukan antar golongan. Dalam uji forensik, yang namanya tempat itu netral. Jakarta, Surabaya, Amerika, Kalimantan itu netral,” pungkasnya.[] Ikhty

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *