Mediaumat.id – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Jakut) yang mengesahkan pernikahan beda agama antara GABA, pria beragama Katolik, dengan RYA, perempuan beragama Kristen Protestan, dinilai tidak patuhi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
“Intinya hakim tersebut tidak patuhi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Soal sanksi, terserah MA,” ujar Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. kepada Mediaumat.id, Selasa (29/8/2023).
Menurut Prof. Suteki, menikah beda agama sudah terang benderang kepastian hukumnya pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama melalui Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebab, kata Prof. Suteki, MK menilai tidak ada urgensi untuk bergeser dari pendirian mahkamah pada putusan-putusan sebelumnya (2014). Selain itu, dalil pemohon terkait Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 8 huruf F UU No 1 Tahun 1974 dinilai tidak beralasan menurut hukum.
“Dan MK juga berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal saja, melainkan juga aspek spiritualitas agama dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” terangnya.
Pandangan Hukum
Terkait pandangan hukum nikah beda agama, Prof. Suteki menjelaskan ada 5 hal yang melatarbelakanginya. Pertama, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, dinilai dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
Ketiga, putusan MK. Aturan soal menikah beda agama beberapa kali digugat ke MK. Namun MK hingga kini tidak mengabulkan. Nikah beda agama tetap tidak diperbolehkan sesuai UU Perkawinan.
Prof. Suteki menyebut, upaya uji materi UU pernikahan sempat diajukan ke MK tahun 2014 yang lalu oleh sejumlah nama, yakni Damian Agata Yuvens, dkk. Fokus gugatannya adalah pada pasal 2 ayat (1) UU ini, yang mengatur keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama.
“Menurut penggugat, ketentuan ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena membatasi ruang untuk mempraktikkan pernikahan beda agama yang oleh mereka dinyatakan sebagai hak asasi,” jelas Prof. Suteki.
Tapi melalui putusan No. 68/PUU/XII/2014, MK menolak permohonan tersebut. Kemudian pasal ini kembali digugat ke MK awal Februari lalu oleh E. Ramos Petege, pria Katolik yang ingin menikahi pacarnya yang Muslimah.
Keempat, berdasar UU Adminduk No. 23 Tahun 2006 jo UU 24 2013. Ada peluang terbuka untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Syaratnya adalah sudah ada penetapan Pengadilan, maka Kantor Catatan sipil akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
Kelima, berdasar SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang ditandatangani oleh Ketua MA, yang isinya memberi pedoman kepada pengadilan di lingkungan MA, terutama Pengadilan Negeri, untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Prof. Suteki menilai, SEMA ini harus ditaati dan dilaksanakan secara konsisten oleh para hakim di seluruh pengadilan di wilayah hukum Indonesia. Esensi dari SEMA ini juga sesuai dengan konstitusi dan putusan MK yang menolak pengesahan perkawinan beda agama.
“Dengan SEMA ini maka, sifat terbuka perkawinan beda agama untuk dicatatkan di Kantor Catatan Sipil menjadi tertutup,” tegasnya.
Oleh karena itu Prof. Suteki menghimbau, kedua mempelai, hingga konselor pernikahan mengikuti aturan hukum serta aturan agama yang berlaku di Indonesia. Jadi selama masih ada di Indonesia, harusnya semua pihak mengikuti aturan hukum yang ada di Indonesia.
Selain itu, jelasnya, perkawinan bukan semata urusan surat menyurat administratif belaka, melainkan juga terkait dengan kehidupan agama, apalagi negeri ini sudah mendeklarasikan diri sebagai religious nation state sebagaimana tertulis dalam Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945.
“Jadi, jelas sudah tentang kedudukan hukum kawin beda agama. Berdasar Fatwa MUI, kaidah fikih, UU Perkawinan serta Putusan MK 2023 dan SEMA No. 2 Tahun 2023 bahwa kawin beda agama selain tidak sah juga diharamkan. Titik,” pungkasnya.[] Agung Sumartono