RUU TPKS Dinilai Berlawanan dengan Islam dan Norma Adat
Mediaumat.id –Meski Panitia Kerja (Panja) terkait telah mengganti Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetap saja RUU tersebut dinilai berlawanan dengan nilai agama Islam dan norma adat di Nusantara.
“RUU TPKS ini, ini sebetulnya berlawanan dengan agama (Islam) dan juga norma-norma adat istiadat yang ada di Nusantara ini,” ujar Dr. Erwin Permana dari Indonesian Justice Monitor dalam Kabar Petang: Tolak RUU TPKS, Rabu (15/12/2021) di kanal YouTube Khilafah News.
Erwin menerangkan, di dalam RUU yang sempat mengambang sejak 2016 dan masuk prolegnas lagi pada 2022, ternyata banyak pasal bermasalah. Di antaranya pasal 16 menunjukkan aroma liberal-sekuler, yang berarti bebas sekaligus kontra dengan prinsip agama khususnya Islam.
“Pasal 16 RUU TPKS menyatakan, (termasuk) perbuatan (kekerasan seksual) menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual,” kutipnya.
Lantaran itu, Erwin mempertanyakan, kenapa pasal yang menurutnya absurd dan tak masuk akal tersebut bisa mengategorikan hal dimaksud sebagai bentuk kekerasan seksual. Sebabnya, misal, hubungan seksual dilakukan oleh pasangan yang telah resmi menikah kemudian menjadi suami atau istri jelas legal.
Sehingga contoh dari satu pasal saja, pasal 16, nantinya seorang suami bisa saja ditersangkakan istrinya ketika tidak adanya persetujuan perihal hubungan intim dari pihak korban (istri).
Di samping itu, dengan dilegalkannya RUU ini, lanjut Erwin, bisa dipastikan akan menghantam institusi rumah tangga. “Dipastikan angka perceraian akan semakin meningkat,” tambahnya memprediksi.
“Dan tentunya juga angka perzinaan itu akan semakin merajalela dengan adanya pasal ini salah satunya, pasal 16,” imbuhnya.
Begitu pula di pasal 17 yang kata Erwin, tersemat didalamnya ‘tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan’.
“Pasal ini telah mengingkari sekaligus mendelegitimasi kedudukan dan hak orang tua, wali untuk mencarikan jodoh terbaik bagi anak-anak mereka. Dan kita ketahui juga ini sudah, juga merupakan budaya di sebagian masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Pilar Demokrasi
Penting diketahui, budaya liberal atau menjunjung tinggi kebebasan adalah pilar utama demokrasi yang terbagi menjadi empat. Kebebasan berkeyakinan, berekspresi, berkepemilikan dan berpendapat.
Dari sini bisa dipahami bahwa negara penganut demokrasi memang berfungsi menjaga kebebasan-kebebasan individu sehingga tidak boleh ada intervensi. “Akibatnya apa? Keran perilaku buruk, keran perilaku kekerasan seksual itu akan semakin meningkat jadinya,” ucap Erwin.
Misal ketika di luar rumah, seorang perempuan boleh berpakaian seperti telanjang dengan alasan kebebasan berekspresi. Yang nantinya, apabila ada laki-laki terangsang karena tampak olehnya aurat, yang disudutkan malah lelaki tersebut dengan anggapan berotak mesum.
Lantas berkenaan dengan keadilan, Erwin mengatakan selama hulu kebebasan masih terbuka lebar, masyarakat tidak bisa berharap lebih. “Misalnya ada keluarga korban, menjadi korban kekerasan seksual, paling banter pelakunya itu dihukum, dipenjara,” tandasnya.
Sedangkan korban kekerasan seksual (laki-laki/perempuan) akan mengalami trauma bahkan bisa seumur hidup. “Itu pun kalau misalnya pelakunya dihukum, kalau misalnya aparat tidak main mata dengan pelaku bejat itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, segala macam tindak seksual yang bebas atau perzinaan yang kerap terjadi, semua itu ia katakan sebagai dampak di hilir dari penerapan ideologi liberal-sekuler demokrasi di hulu.
Sehingga, selain tak bisa mendapatkan keadilan dari demokrasi dengan instrumen hukum yang memang produk buatan manusia tersebut, negeri ini malah mengalami overlapping laws atau hukum yang saling tumpang tindih.
Sebutlah UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan berbagai jenis aturan lainnya. Dan terbaru, UU TPKS yang masih berupa rancangan.
Erwin khawatir, dari berbagai rapat legislatif para wakil rakyat, justru anggota di dalamnya hanya mengincar gurihnya agenda politik tersebut, tanpa menilai apakah bermanfaat atau tidak UU yang akan dibuat. “Bikin dulu deh undang-undang, yang penting duitnya cair,” selorohnya dengan mengatakan sangat mungkin gurihnya bisa mencapai puluhan miliar.
Lebih memprihatinkan lagi, ketika hukum sudah berpihak kepada para pendukung atau pun aparat hukum saja. Tetapi sangat tajam terhadap masyarakat bawah maupun lawan-lawan politiknya.
Islam
Di dalam Islam, kata Erwin, yang dimaksud dengan kejahatan seksual adalah semua perilaku seksual yang dilakukan di luar pernikahan. Entah dilakukan dengan kekerasan maupun atas dasar suka sama suka. “Yang melakukan kegiatan seksual dengan kekerasan itu termasuk tindakan kriminal, yang dilakukan suka sama suka pun juga merupakan perbuatan kriminal,” jelasnya.
Terkait penanganan kejahatan seksual, tuturnya, ternyata hanya Islam yang mampu mengatasinya, berikut aturan cara berpakaian, sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan, serta penegakan hukum Islam. “Cara ini hanya ada dalam Islam saja. Enggak ada pada sistem yang lain,” tegasnya.
Ketika keluar rumah, seorang perempuan diwajibkan memakai jilbab serta kerudung. Tujuannya, terang Erwin, untuk menjaga kehormatan kaum perempuan agar terminimalisir dan terhindar dari gangguan-gangguan seksual.
“Itulah kenapa di negara-negara yang menutup aurat perempuan ketika mereka keluar rumah, seperti di Timur Tengah itu tindak (kejahatan) seksualnya itu lebih kecil dibandingkan dengan negara misalnya Amerika Serikat yang dikenal dengan kebebasan,” ungkapnya.
Berikutnya, lanjut Erwin, hukum asal pergaulan dalam Islam, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Kecuali perkara muamalah dan pendidikan. Itu pun masih dibatasi dengan saling menundukkan pandangan ketika di luar rumah.
Beda lagi soal nikah. Islam, menurut Erwin mempermudah dalam urusan satu ini. “Ketika menikah dalam usia muda misalnya. Karena misalnya mereka punya anak, melahirkan, kesehatan, gratis,” tegasnya.
Bahkan untuk biaya pendidikan anak, pasangan muda tadi tak akan dipusingkan karena memang digratiskan negara. “Luar biasa ketika Islam diterapkan dalam kehidupan manusia,” tambahnya.
Terakhir, berkenaan penegakan hukum, Islam hanya memantaskan bagi orang yang memang benar-benar kebangetan melakukan perbuatan seksual di luar nikah.
“Bagi laki-laki atau siapa saja, atau laki-laki atau perempuan yang sudah menikah melakukan perbuatan zina, maka hukumannya adalah rajam. Sedangkan bagi yang belum menikah, zina maka hukumannya adalah dicambuk dengan seratus kali cambukan yang membekas,” terangnya.
Dengan demikian, ia yakin dengan penerapan Islam secara kaffah, sangat mustahil kejahatan/kekerasan seksual muncul. “Tidak seperti hari-hari ini kita dibuat pusing bagaimana mengatasi kekerasan seksual itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian