RUU Kesehatan Omnibus Law Bakal Disahkan, Pemerintah dan DPR Dinilai Lakukan Pemufakatan Jahat

Mediaumat.id – Dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang rencananya bakal dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan menjadi UU, Pemerintah dan DPR RI dalam hal ini Komisi IX, dinilai telah melakukan permufakatan jahat.

“RUU tersebut merupakan hasil permufakatan jahat pemerintah dan DPR,” demikian bunyi kutipan pers rilis Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan Menolak RUU Kesehatan Omnibus Law, yang diterima Mediaumat.id, Rabu (28/6/2023).

Pasalnya, RUU Kesehatan ini bukan hanya berpotensi merampas hak rakyat atas kesehatan, tetapi juga mengancam keselamatan rakyat dan kedaulatan negara.

Hal ini, bisa dilihat dari beberapa indikasi yang menjadi dasar. Pertama, Pemerintah dan DPR telah membuat RUU Kesehatan Omnibus Law dengan cara melanggar hukum dan konstitusi.

“Pemerintah dan DPR membuat dan membahas RUU Kesehatan Omnibus Law dengan meniadakan partisipasi publik yang bermakna,” sebutnya.

Kedua, RUU tersebut hanyalah cek kosong bagi rakyat. Artinya, RUU ini memuat janji-janji yang bakal memprioritaskan seputar kesehatan masyarakat Indonesia.

Sebab pada saat yang sama, terdapat kesepakatan menghapus ketentuan tentang alokasi anggaran minimal (mandatory spending),

Sementara, seperti diketahui, pada Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, misalnya, mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Ketiga, RUU ini bakalan menghukum rakyat miskin, kelompok rentan termasuk perempuan dan anak, penyandang disabilitas, dan rakyat di daerah 3T atas kejahatan yang selama ini dilakukan pemerintah dan DPR.

Maksudnya, dengan menghapus alokasi anggaran minimal, penguasa hendak cuci tangan kewajiban memenuhi hak atas kesehatan rakyat. Seperti, melalui skema BPJS yang notabene berasal dari iuran publik.

Keempat, RUU ini adalah instrumen Pemerintah dan DPR untuk meliberalisasi sektor kesehatan dan perluasan privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan.

Tengoklah pasal-pasal tentang pendayagunaan dokter asing dan pasal terkait penerbitan perizinan berusaha fasilitas pelayanan kesehatan.

Kelima, bisa memberi ruang bagi pelanggaran etika oleh tenaga medis dan atau tenaga kesehatan dan berpotensi meningkatkan malpraktik dalam layanan kesehatan di Indonesia.

Keenam, membuka celah bagi pengumpulan informasi data genetik (genom) penduduk Indonesia yang rentan disalahgunakan.

Dalam RUU ini dinyatakan, transfer data dan informasi kesehatan bisa dilakukan untuk kepentingan penanggulangan KLB, wabah, ibadah haji, perjanjian alih material, dan kerjasama internasional di bidang kesehatan.

Padahal transfer data ini berbenturan dengan UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Lebih-lebih, poin ketujuh yang menyebut RUU ini disusun secara serampangan dan tidak cermat. Artinya, substansi RUU ini disusun secara tergesa-gesa dan terkesan sembunyi-sembunyi oleh pemerintah dan DPR RI.

Karenanya, mempertimbangkan ketujuh indikasi mendasar tersebut, Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan dalam penolakannya, juga menyerukan agar RUU ini tak disahkan dengan meninjau kembali seluruh substansi RUU berikut pelibatan segenap pemangku kepentingan sesuai perintah UU. Atau, dikarenakan lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya, RUU ini sebaiknya dibatalkan saja.[] Zainul Krian

Share artikel ini: