Oleh: Ahmad Rizal –Dir. Indonesia Justice Monitor
Propaganda terorisme dikaitkan dengan radikalisme, dianggap sebagian pengamat lebih dilandasi oleh semangat untuk memberangus perbedaan pandangan politik secara signifikan. Secara historis, penggunaan istilah radikal tidaklah selalu negatif. Dalam strategi perjuangan bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan, strategi non-kooperatif atau sering disebut sebagai strategi radikal pun dilakukan. Strategi ini mengiringi strategi kooperatif atau non-radikal semisal negosiasi dan perundingan-perundingan seperti Perundingan Linggarjati, Renville, Rum-Royen dan Konferensi Meja Bundar.
Strategi radikal yang dilakukan Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan melakukan gerilya melawan Belanda, atau penyerangan Sekutu dengan Palagan Ambarawanya, atau penolakan pendudukan sehingga melahirkan Peristiwa Bandung Lautan Api bahkan peristiwa heroik di Surabaya pada 10 Nopember adalah bukti bahwa radikalisme adalah cara untuk melawan penjajah yang kini diabadikan sebagai peristiwa sejarah penting bagi bangsa Indonesia.
Sayang, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah “Islam radikal” yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk. Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat.
Adapun kejadian teror belakangan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendesak agar DPR dan pemerintah segera menyelesaikan revisi UU Antiterorisme karena dinilai tidak cukup memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme. Bahkan Presiden Jokowi mengancam akan menerbitkan Perppu jika pada masa persidangan Mei hingga Juni 2018 revisi belum selesai.
Ada sejumlah tuntutan dari berbagai praktisi politik yang mengusulkan DPR dan pemerintah untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti-terorisme). Perlu dicatat revisi RUU Anti-terorisme harus sesuai dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mengedepankan akuntabilitas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Sorotan berikutnya terkait ketentuan mengenai penyadapan yang dianggap belum sepenuhnya jelas antara upaya penegakan hukum intelijen. Ketika aktivitas penyadapan dimaknai dalam proses penegakan hukum, maka aturan soal jangka waktu selama satu tahun dan bisa diperpanjang lagi sangat tidak rasional. Karena ketentuan jangka waktu penyadapan itu bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana dan biaya ringan.
Pasal yang wajib menjadi perhatian adalah terkait penangkapan dan penahanan. Penangkapan terduga terorisme harus memenuhi bukti permulaan yang cukup serta terdapat dua aspek yang harus dipenuhi, yakni lokasi penempatan dan jangka waktu. Pasal terkait jangka waktu penangkapan dalam RUU Antiterorisme saat ini sangat rawan pelanggaran HAM. Pasal tersebut menyatakan jangka waktu penangkapan terduga teroris untuk kepentingan penyelidikan mencapai 21 hari. Di sisi lain, belum ada pengaturan mengenai kewajiban kepolisian menetapkan atau memberitahukan lokasi penahanan saat menangkap dan memeriksa seorang terduga teroris. Hal itu memperbesar potensi pelanggaran HAM dan suramnya akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga atau kuasa hukumnya.[]