Rupiah Anjlok, PEPS: Menkeu Panik dan Salahkan The Fed

 Rupiah Anjlok, PEPS: Menkeu Panik dan Salahkan The Fed

Mediaumat.info – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Presiden Jokowi yang menyebut The Fed dan faktor global sebagai penyebab anjloknya nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dinilai Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan ngawur dan panik.

“Sri Mulyani mengatakan The Fed dan faktor global penyebab kurs rupiah merosot: ngawur dan panik,” tuturnya kepada media-umat.info, Ahad (23/6/2024).

Menurut Anthony, pernyataan Sri Mulyani tersebut sangat mengecewakan, tidak ada dasar teori yang membenarkan pernyataan tersebut.

“Menunjukkan Sri Mulyani tidak mempunyai kompetensi atau pengetahuan memadai terkait moneter. Bahaya!” ujarnya.

Anthony menilai, pernyataan Sri Mulyani blunder dan tidak masuk akal.

“Kenapa The Fed harus menurunkan suku bunga acuannya, dan apa dampaknya terhadap rupiah? Pernyataan Sri Mulyani seolah-olah kurs rupiah ditentukan oleh suku bunga acuan The Fed? Seolah-olah, suku bunga The Fed turun, maka kurs rupiah akan menguat?” tanya Anthony.

Intinya, jelas Anthony, Sri Mulyani berharap, kalau suku bunga The Fed turun maka selisih suku bunga antara AS dan Indonesia melebar, sehingga dapat menarik investor asing untuk investasi di Indonesia, dan karena itu rupiah menguat.

“Tetapi, untuk memperlebar selisih suku bunga antara AS dan Indonesia, kenapa harus tergantung dari The Fed? Bukankah Bank Indonesia bisa menaikkan suku bunga acuannya untuk memperlebar selisih suku bunga antara AS dan Indonesia?” tanya Anthony.

Ternyata, menurutnya, BI memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur BI yang lalu (19-20/06/24).

“Terus, kenapa The Fed dan faktor global yang menjadi kambing hitam atas merosotnya kurs rupiah?” herannya.

Pernyataan Sri Mulyani, bahwa anjloknya kurs rupiah karena The Fed tidak menurunkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate), kata Anthony, menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia sangat buruk, karena tergantung dari kebijakan moneter asing.

“Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan moneter negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia. Suku bunga acuan ketiga negara ASEAN tersebut bahkan lebih rendah dari suku bunga acuan The Fed,” beber Anthony.

Menurut Anthony, itu menunjukkan fundamental ekonomi Vietnam, Thailand, dan Malaysia sangat solid dan mandiri, tidak tergantung dari kebijakan moneter AS. Ketiga negara tersebut berani mempertahankan suku bunga acuan rendah, karena fundamental ekonomi negara-negara tersebut tidak tergantung dari investor asing.

Ketiga negara tersebut, lanjutnya, berani dan mampu mempertahankan suku bunga acuan lebih rendah dari suku bunga The Fed, karena fundamental ekonomi negara-negara tersebut sangat baik, dan tidak tergantung dari investor asing. Suku bunga acuan per Juni 2024: Indonesia 6,25 persen, Amerika Serikat 5,5 persen, Vietnam 4,5 persen, Malaysia 3 persen, dan Thailand 2,5 persen.

“Sebaliknya, Bank Indonesia tidak mampu menurunkan suku bunga acuan karena faktanya fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah, dengan defisit transaksi berjalan dan defisit APBN yang terus meningkat, mengakibatkan ekonomi Indonesia tergantung dari utang luar negeri (investor asing). Hal ini mengakibatkan Bank Indonesia tersandera untuk menetapkan suku bunga acuan tinggi agar investor dan kreditur asing tidak kabur,” sesalnya.

Kurs rupiah terus merosot, tembus Rp16.500 per dolar AS pada perdagangan Kamis, 20 Juni 2024. Kondisi ini memicu panik. Jokowi sangat panik. Sore harinya langsung memanggil Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa. [] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *