Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menegaskan, bocornya dana APBN sekitar Rp800 triliun terjadi bukan karena oknum dan kelonggaran sistem, tapi memang diproduksi oleh sistem.
“Saya melihat sistemnya bukan sekadar longgar memberikan kesempatan, tetapi sistem itu sendiri yang memproduksi oknum-oknum atau orang-orang yang akhirnya berperilaku yang tadi menggarong APBN,” tegasnya kepada Mediaumat.id, Selasa (25/4/2023)
Wahyudi sekali lagi menegaskan, bocornya atau hangusnya APBN 20 sampai 30 persen atau sekitar 800 triliun dari 2700-an triliun itu bukan karena oknum, tetapi karena sistem yang memproduksi SDM-SDM atau para pejabat yang suka atau tidak suka, atau bahkan terpaksa melakukan tindakan tersebut secara sistematis.
Karena, jelas Wahyudi, sistem saat ini memang memberikan ruang untuk berperilaku demikian. “Jadi, bukan sekadar oknum dan bukan sekedar sistem yang longgar tapi ada banyak orang yang terpaksa melakukan itu karena sistem yang memproduksi perilaku seperti itu,” tandasnya.
Pasalnya, sistem demokrasi dengan biaya yang begitu tinggi akhirnya membuat para pejabat harus berpikir untuk menghasilkan biaya untuk menyelesaikan biaya politiknya itu.
“Sistem demokrasi yang begitu mahal, atau saya menyebutnya super mahal, memproduksi para pejabat yang berperilaku koruptif yang akhirnya melakukan tindakan korupsi,” ujarnya seraya menyebut sistem pilkada sebagai salah satu indikasi demokrasi berbiaya tinggi.
“Untuk jabatan politik, seorang kepala daerah secara sistem demokrasi, dia harus mendaftarkan diri dan itu sistem politik demokrasi mengharuskan dia mendaftarkan diri lewat partai,” jelasnya.
Dan untuk mendapatkan tiket dari partai itu, ujar Wahyudi, ada istilah membeli ‘perahu’ atau uang mahar atau segala macamnya itu butuh duit, butuh dana. Tentu tidak kecil tergantung daerahnya seperti apa. Kalau daerah kaya, tentu besar.
Langkah pertama sistem itu, jelas Wahyudi, memberikan celah dan memberikan potensi untuk orang itu mencari pendanaan selain pribadinya, sehingga seorang calon kepala daerah maupun calon gubernur maupun calon presiden tentu tidak mungkin membiayai dengan uangnya sendiri karena biaya kampanye yang begitu mahal, biaya partai yang begitu mahal, otomatis dia butuh sumber dana lain.
“Itulah yang akhirnya muncul dengan istilah investor politik atau dana dari kaum oligarki,” tegasnya.
Menurut Wahyudi, tentu itu tidak gratis ketika dia (investor politik/oligarki) sedang memberikan dukungan dana maupun dukungan yang prasarana yang lain tentu ketika dia berhasil mendudukkan calon pejabat tersebut dalam kursi kekuasaan, baik itu kepala daerah maupun presiden.
“Maka tentu dia akan berusaha untuk meminta hak-hak istimewanya untuk bisa pembuat kebijakan yang menguntungkan sehingga bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan tadi,” ulasnya.
Menurutnya, hal ini sudah terbukti. Indikasinya adalah dengan banyaknya undang-undang yang lahir, banyak kebijakan yang lahir, tidak pro rakyat tapi pro oligarki.
“Ada Undang-Undang Cipta Kerja, ada Undang-Undang Minerba dan seterusnya itu tampak sekali bukti bahwa memang produksinya dibuat undang-undang maupun kebijakan untuk kepentingan segelintir orang atau disebut kepentingan oligarki,” jelasnya.
Selain itu, jelas Wahyudi, secara sistem juga dalam perekrutan suatu jabatan memberikan atmosfer untuk korupsi.
“Kita bisa melihat memang ada beberapa upaya untuk perekrutan menjadi anggota polisi, anggota tentara, anggota ASN, misalnya, mereka mencoba untuk melakukan bersih-bersih supaya tidak ada tindakan sogok-menyogok atau suap menyuap. Tapi ikhtiar itu mungkin agak sulit karena faktanya juga masih ada yang berlaku seperti itu,” ungkapnya.
Bukan Oknum
Menurutnya, jika ini persoalan oknum seharusnya cuma satu atau dua orang saja. “Tentu tidak mungkin banyak. Tapi coba kalau kita amati sekarang. Oknumnya kan banyak sekali, berarti itu bukan oknum,” jelasnya.
Ia pun membeberkan ada ratusan kepala daerah yang sudah terjerat kasus korupsi terkena dengan APBD dan juga yang lainnya. Di pusat ada dua menteri pembantu dekat Presiden Jokowi yang terkena tangkap korupsi. “Ada Juliari Peter Batubara, ada Menteri Kelautan dari Gerindra,” ungkapnya.
Wahyudi menilai ini bukan kenakalan oknum. Tapi ini sudah menjadi habit yang diciptakan secara bersama antara sistem yang memberikan celah atau memberikan peluang atau kelonggaran. Dari sistem yang lemah, yang memberikan celah atau kelonggaran sehingga orang yang baik pun bisa terlibat membuat kekeliruan atau berlaku seperti itu.
Lemah
Selain sistem yang memproduksi para koruptor, menurut Wahyudi, ada faktor lain yaitu faktor kepemimpinan (leadership) yang lemah.
“Seandainya leadership-nya kuat, dia akan bisa mengatasi oknum-oknum itu, artinya mengontrol oknum-oknum itu. Faktanya oknum-oknum itu makin banyak, berarti leadership-nya lemah. Dalam hal ini bisa jadi lemah, bisa jadi ada keterkaitan dengan oknum-oknum itu atau bahkan terlibat dalam sistem yang seperti itu,” terangnya.
Bahaya
Jika sistem tersebut terus berlanjut, jelas Wahyudi, bahaya yang mengancam adalah negara akan ditunggangi oleh kaum oligarki. “Dan itu nampaknya sudah mulai terjadi sekarang,” tegasnya.
Jadi, lanjutnya, kaum oligarki, para investor politik, kaum kapitalis baik asing maupun asing, mendukung calon-calon tertentu, para calon presiden maupun calon kepala daerah tertentu untuk bisa jadi pemimpin di suatu daerah atau pemimpin di suatu negara.
Setelah itu, beber Wahyudi, dia akan mendorong dengan berbagai proyeknya, selain itu juga dia mendorong berbagai aturan yang bisa menguntungkan bisnisnya dan bahkan dia menggunakan negara untuk kepentingan membesarkan bisnisnya, mencari di negeri tersebut.
“Bisa juga dengan izin tambang, bisa juga dengan mengeluarkan undang-undang yang pro kepada aktivitas bisnis mereka, bisa juga dengan melahirkan proyek-proyek yang membuat keuntungan bagi mereka,” ujarnya.
Menurutnya, tampak sekali dari izin-izin tambang, izin kekayaan alam semua bisa keluar dan undang-undangnya juga bisa keluar walaupun publik bisa melihat itu menguntungkan segelintir orang atau oligarki dan merugikan rakyat dan warga negara, tetapi tetap bisa keluar.
“Kita bisa lihat Undang-Undang Cipta kerja, undang-undang Minerba, undang-undang SDA dan seterusnya itu menunjukkan bahwa bukan saja menimbulkan bahaya bagi rakyat, tapi sudah menimbulkan bahaya bagi negara ini,” jelasnya.
Karena, jelasnya, negara sudah bisa ditunggangi oleh kepentingan kaum oligarki. Mereka menunggangi negara untuk menggunakan negara, melahirkan kebijakan dari negara, untuk membesarkan bisnis mereka. Bahkan untuk melahirkan undang-undang atau kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka.
“Kalau terus terusan berlanjut maka negara ini menjadi negara kapitalis yang tidak melindungi rakyat tetapi menghisap rakyatnya demi kepentingan segelintir orang,” tambahnya.
Diatasi Secara Sistemik
Menurutnya, ini harus diatasi secara sistemik. Sistem demokrasi yang begitu mahal tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan persoalan sistem korupsi ini. “Tentu kita berharap pada sistem yang baik yaitu sistem Islam. Sistem Islam memberikan ruang yang begitu sempit bagi kaum koruptor,” jelasnya.
Selain itu, menurut Wahyudi, hampir semua partai yang ada di negeri ini juga menyumbang kadarnya untuk terlibat dalam praktik korupsi. “Jadi, kita mau mulai darimana? Kecuali kita harus mulai dengan sistem baru dengan sistem yang bisa mengantisipasi itu semua. Itulah sistem Islam,” pungkasnya.
Karena, jelas Wahyudi, dalam Islam, harus jelas kalau dia menjadi seorang aparat, dia hanya menerima gaji, tidak boleh menerima yang lainnya. Publik bisa melihat ini terjadi di beberapa sejarah.
“Ketika Khalifah Umar memimpin, kekhalifahan sebagai khalifah yang kedua setelah Abu Bakar, anaknya sendiri yang bernama Ibnu Umar itu ketika bisnis untuk menggemukkan ternaknya, diduga ikut menggemukkan dengan fasilitas ladang gembalaan milik publik sehingga ternaknya lebih gemuk-gemuk daripada ternak lain, maka dia disita selisihnya. Ternaknya dijual dengan biaya standar kemudian selisihnya diambil oleh negara,” ungkapnya.
Wahyudi menilai ini menunjukkan bahwa perilaku yang diduga korupsi saja diambil alih oleh negara, tetapi kalau sekarang itu tidak bisa terjadi karena undang-undang pro kepada kaum kepentingan kapitalis.
“Kita melihat juga sistem Islam menutup celah orang yang ingin melakukan tindakan korupsi atau manipulasi atau bahkan mengambil hak publik itu dengan hukuman yang sangat keras. Kalau sekadar mencuri saja bisa dipotong tangan, kalau korupsi yang bisa menimbulkan dharar atau bahaya yang lebih besar kepada masyarakat maka itu diserahkan kepada hakim, bisa sampai hukuman mati,” ujarnya.
Sebaliknya, saat ini di undang-undang negara sekuler yang membuat undang-undang kebanyakan anggota DPR, para politisi dan pemerintah eksekutif bersama-sama membuat undang-undang.
“Tentu mereka tidak ingin membuat undang-undang yang bisa membunuh mereka sendiri sehingga kita bisa melihat undang-undang korupsi juga lemah kan? Tidak sampai dengan hukuman mati,” ungkapnya seraya menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun perannya dilemahkan melalui revisi UU KPK.[] Achmad Mu’it