Rohingya, Mr. Trump
Penyair Romawi, Quintus Horatius Flaccus (65-8 SM), dikenal sebagai Horace, pernah menulis puisi begini: carpe diem, quam minimum credula postero. Jika diterjemahkan secara bebas, frasa tersebut berarti ‘petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok’.
Entah Presiden Amerika Serikat Donald J Trump pernah membaca puisi Horatius itu atau tidak, tetapi nampaknya keputusan untuk mengintervensi konflik Suriah dan sebaliknya mengabaikan genosida terhadap etnis Rohingya adalah momen carpe diem. Ia tidak mau membuang waktu, bertindak inpulsif jika ada kesempatan dan bersikap acuh jika tak ada imbalan.
Namun begitu, momen carpe diem Trump, tidak sepenuhnya tanpa pertimbangan. Keputusan menyerang pangkalan militer Suriah, juga sikap “I don’t care” terhadap Rohingya, diambil sekitar satu jam setelah makan malam dengan rivalnya, Presiden China Xi Jinping, di kelab Mar-a-Largo, Florida.
Makan malam politik yang hangat dengan bahasan tentang “kebandelan” Korea Utara yang terus melakukan uji coba nuklir serta bagi-bagi “kue” minyak/mineral di Suriah dan Laut Cina Selatan (LCS). Dan sepertinya, menyertakan kesepakatan tentang siapa yang akan mengambil cadangan minyak 6 milyar barrel di teluk Myanmar, juga siapa yang ditugasi “membasmi serangga” yang berpotensi menghalangi eksplorasi tersebut (dalam hal ini serangga yang dimaksud adalah etnis Rohingya).
AS di bawah kendali Trump memang anomalis. Bahkan editor The New Yorker, David Remnick menyebut terpilihnya Trump sebagai tragedi terburuk Amerika.
Atas dasar bahwa Presiden Suriah Bassar al-Assad menggunakan senjata kimia (Gas Nafarin) di Aleppo, Trump memerintahkan penyerangan terhadap pangkalan udara Suriah, Shayrat, di Provinsi Homs. Jumat pagi 5 April 2017. 59 peluru kendali serang daratan Tomahawk (TLAMs) meluncur dari kapal perusak USS Porter dan USS Ross yang berada di Laut Mediterania. Namun hal serupa tidak ditempuh Trump terhadap junta militer Myanmar, dengan sokongan penuh Cina, yang melakukan perburuan, pemerkosaan, pembantaian, pembakaran dan upaya pembersihan etnis terhadap 1,3 juta muslim Rohingya.
Sikap kontradiktif Trump ini sepertinya sejalan dengan hasil investigasi psikologis yang dilakukan oleh psikolog Harvard, dan P McAdams dalam buku The Mind of Donald Trump. McAdams menulis, Trump memiliki karakter, sifat narsisisme, tidak menyenangkan, ofensif, suka bertengkar, tidak peduli orang lain, bertemperamen buruk, dan grandiosity.
Buktinya, sesaat setelah merudal Suriah, Trump membuat cuitan di Twitter, menyerukan “semua bangsa beradab untuk bergabung dengan AS guna mengakhiri tragedi kemanusiaan, pembantaian dan pertumpahan darah.” Namun, di saat hampir bersamaan, ia justru diam atas genosida Rohingya.
Meski begitu, Trump adalah presiden yang kebijakannya selama ini selalu membuat orang, rakyatnya, dan negara lain bingung. Ia sulit ditebak. Bisa jadi, dan semoga saja, ia akan bereaksi keras sebagaimana di Suriah. Mengintervensi konflik Rohingya, merebut hak konsesi minyak Myanmar dari Cina, bahkan mungkin saja memulai konfrontasi terbuka.
Itu skenario tersingkat menyelamatkan etnis Rohingya, tatkala pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, sang peraih nobel Perdamaian, tak lagi fokus membantai muslim Rohingya karena tersibukkan oleh pertikaian dua bos besarnya, AS dan Cina. Mau tidak mau Suu Kyi harus mendamaikan keduanya. Karena perekonomian Myanmar bangkit dan melejit mencetak rekor pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia (8,7%) semua atas jasa kedua negara tersebut.
Intervensi Trump bisa menjadi cara tersingkat meredam kebrutalan Junta Myanmar. Sebelum nantinya Muslim Rohingya, juga muslim Xinjiang, Kashmir, Aleppo, Bangassou, Pattani dan muslim lain yang teraniaya di seluruh penjuru dunia, diselamatkan oleh tentara Khilafah.
Sembari mendoakan saudara kita muslim Rohingya, mari mengamati tingkah polah pemimpin negeri-negeri Islam yang sebatas mengirim bantuan pangan dan mengamini apa kata dan laku DJ Trump. [fr]
@rozyArkom, Analis Politik APR