RKUHP Kontroversial, Prof. Suteki: Akibat Buruknya Komunikasi Hukum

Mediaumat.id – Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai, rencana pengesahan RKUHP menuai kontroversi akibat buruknya komunikasi hukum.

“RKUHP ini banyak menemui kontroversi sebagai akibat buruknya komunikasi hukum antara pembentuk UU dengan masyarakat luas,” tuturnya dalam Live Diskusi Online Media Umat: Membungkam Rakyat ala RUU KUHP? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (3/6/2022).

Ia menyebut, banyak tagar, slogan-slogan bernada sinis terhadap RKUHP, misalnya: ‘RKUHP, Produk Kontroversial Membisukan Aspirasi Rakyat,’ ‘#HatiHatiDibui,’ hingga ‘Bandung Lautan Amarah.”

Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini menerangkan, jika mau berpikir jernih, dugaan adanya pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat itu wajar dan biasa saja.

“Ini persoalan komunikasi hukum yang tidak jalan. Ada perbedaan persepsi antara bahasa hukum dengan bahasa rakyat biasa,” jelasnya.

Ia menyampaikan, RKUHP ini sudah lama dirindukan ada sebagai pengganti KUHP warisan penjajah Belanda, karena meski telah merdeka lebih dari tiga perempat abad, tetapi negeri ini belum berhasil memiliki KUHP sendiri.

Lebih lanjut Prof. Suteki mengulas, terkait pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, perlu ditekankan bahwa persoalan utamanya itu penghinaan kepada pejabat negara, bukan hanya presiden dan wakil presiden.

“Nah, soal penghinaan ini yang harus dibuat clear dulu bahwa ia beda dengan kritikan. Selain itu rakyat pun juga harus dididik untuk tahu etika ketika memberikan kritik kepada pejabat negara,” ujarnya.

Ia mengira di negara yang beradab, negara Islam pun tidak boleh dibiarkan tindakan penghinaan kepada pejabat negara, tapi kritik boleh.

“Hanya persoalannya beda tipis, itu yang seringkali terjadi sehingga pejabat dengan perangkatnya bertindak represif terhadap rakyat yang mengkritiknya,” imbuhnya.

Maka menurutnya, sudah tepat jika soal penghinaan kepada pejabat ini ditempatkan sebagai delik aduan dan pidananya bisa berupa penjara atau denda kategori tertentu.

“Namun, lebih baik lagi kalau soal penghinaan ini digeser menjadi hukum perdata, bukan hukum pidana. Ganti kerugian bisa menjadi pilihan yang tepat, bukan penjara,” bebernya.

Terkait hal yang perlu diakomodir dan ditolak dari RKUHP ini, termasuk yang sekarang hangat dibicarakan adanya potensi semua bisa kena hukuman akibat menyuarakan kebenaran dan keadilan, ia mengimbau, harus ada jaminan dari pembentuk UU bahwa KUHP ini tidak dipakai sebagai alat represi dan pembungkaman suara kebenaran dan keadilan rakyat.

“Banyak substansi yang menurut saya sebuah kemajuan. Soal masalah kontroversial ini yang seharusnya dikomunikasikan. Misal, soal penghinaan pejabat, perkosaan dalam keluarga, ternak tetangga, aborsi, pergelandangan, dan lain-lain,” pungkasnya.[] Puspita Satyawati

Share artikel ini: