RKUHP Disahkan, Uniol: Gejala Otoritarianisme dan Legitimasi Rezim Antikritik
Mediaumat.id – Dosen daring Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. menilai RKUHP yang akan disahkan Juli 2022 sebagai gejala otoritarianisme dan legitimasi rezim antikritik.
“RKUHP ini sebagai gejala otoritarianisme penguasa yang mengancam rakyat. Sekaligus legitimasi rezim antikritik,” ungkap mereka dalam kuliah daring Uniol 4.0 Diponorogo Pengesahan RKUHP Juli 2022: Gejala Otoritarianisme Penguasa di Tengah Resesi Demokrasi di grup WhatsApp, Sabtu (18/6/2022).
Keduanya membeberkan gejala otoritarianisme tersebut tampak dari lima hal. Pertama, empat pasal penghinaan lembaga negara dengan ancaman pidana penjara dan denda. Kedua, kerancuan makna kritik dan penghinaan berpotensi menjadikannya sebagai pasal karet. Ketiga, sikap pemerintah ‘menyembunyikan’ draf terbaru RKUHP dan intensi untuk meredam kritik publik terkait pasal-pasal kontroversial.
Keempat, proses legislasi yang cenderung ‘ugal-ugalan’ mengulang pola pengesahan sejumlah UU kontroversial seperti UU KPK, Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU IKN. Kelima, hilangnya fungsi kontrol DPR sehingga kritik terhadap proses legislasi hanya datang dari masyarakat yang kerap diabaikan.
Prof. Suteki menambahkan, rezim otoriter memang berkarakter tidak mau tahu dengan aspirasi rakyat dan proses komunikasi hukum yang baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Andai pun ada partisipasi, akan diminimalkan dan terkesan hanya bersifat formalitas,” imbuhnya.
Puspita menyebut, kebijakan zalim yang terus diproduksi penguasa telah memicu kritik dan protes rakyat. Namun, menurutnya, UU KPK, UU Cilaka, UU IKN adalah bukti bahwa meskipun sebagian rakyat menggugatnya tapi pemerintah, DPR, dan MK tetap stubborn untuk menjalankannya karena secara hukum UU tersebut dipandang sah dan konstitusional.
“Mau tak mau akhirnya rakyat tunduk, patuh, dan menyerah terhadap UU itu. Jika melawan mesti siap berhadapan dengan aparat penegak hukum dan masuk jeruji besi. Mengapa penguasa seolah bergeming atas kritik rakyat, bahkan tak khawatir dengan cap represif yang dilekatkan padanya?” sesalnya.
Ia pun menduga, inilah harga yang harus dibayar penguasa saat menerapkan sistem demokrasi kapitalistik yang prokepentingan kapitalis. “Pada praktiknya, sistem ini pasti menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan rakyat banyak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Suteki memandang, harga kebutuhan pokok melambung meski keran impor dibuka lebar, melangitnya tarif layanan publik, kriminalitas dan dekadensi moral yang kian mengancam tapi tak serius diselesaikan, diperparah dengan perselingkuhan peng-peng (penguasa-pengusaha), jelas menyakiti hati rakyat dan merasa hidup tanpa pengurusan pemimpinnya. “Lantas, rakyat mesti mengadu ke mana?” tanyanya.
Puspita menjelaskan, wajar jika negeri ini tak steril dari protes dan keriuhan. Ia menunjuk, jika tak terjun di aksi massa, rakyat mengungkap keluh kesahnya di ruang-ruang publik sebebas media sosial, sehingga jagat maya begitu ramai membincang realitas hidup yang kian sulit, menyurhat tentang penguasa yang tak peduli.
“Hingga di satu titik, ketika kondisi ini dianggap membahayakan, rezim berupaya membungkam. Media mainstream, militer, bahkan ormas, digerakkan untuk membangun dukungan, pun memberangus kebebasan berpendapat yang berpotensi melawan rezim,” pungkasnya.[] Ummu Zarkasya