Mediaumat.news – Terkait ribut masalah jilbab di SMKN 2 Padang, Aktivis ’98 Agung Wisnuwardana menyebut ini aneh, aturan sudah lima belas tahun tiba-tiba ada yang protes dan viral di mana-mana.
“Jadi ini agak aneh saja sudah lima belas tahun berjalan enggak ada apa-apa kok tiba-tiba ada yang protes satu dan sebenarnya juga tidak diwajibkan buat yang non Muslim, kemudian jadi viral di mana-mana. Saya pikir ngurusi banjir Kalsel jauh lebih penting ya, ngurusi korupsi juga lebih penting dari pada ngurusi jilbab begini,” ujarnya dalam acara Kabar Malam, Jumat (29/01/2021) di kanal YouTube News Khilafah Channel.
Agung mengatakan, di tengah ribut korupsi bantuan sosial covid, di tengah kasus korupsi BPJS Ketenagakerjaan, di tengah banjir Kalsel dan covid yang sudah tembus angka satu juta, tiba-tiba saja muncul masalah terkait dengan jilbab ini.
Menurut Agung, masalah ini mulai menarik perhatian karena ada protes dari orang tua salah satu siswi non Muslim di SMKN 2 Padang yang merasa anaknya dipaksa untuk memakai jilbab. Padahal terkait dengan masalah ini Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang sudah mengklarifikasi bahwa sekolah di Padang memang ada aturan berpakaian Muslim.
Agung menyebutkan, bahkan Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang juga menyampaikan bahwa aturan ini sudah berlangsung sejak lima belas tahun lalu, sebagai proses otonomi daerah yang membolehkan daerah membuat peraturan-peraturan sendiri. Namun aturan itu dikhususkan untuk murid yang beragama Islam, jadi yang diwajibkan untuk memakai baju Muslim atau jilbab adalah siswi Muslim. Sementara siswi non Muslim tidak dipaksa, tetapi kalau mau pakai juga boleh.
Kata Agung, hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang siswi non Muslim di SMKN 2 Padang sendiri yaitu Eka Maria Putri Waruhu. Eka Maria menyatakan bahwa ia sudah memakai jilbab tidak hanya saat sekolah di SMKN 2 Padang, tapi malah sejak SMP. Dan memakai jilbab itu ia lakukan tanpa ada paksaan karena merasa nyaman saja. Ini senada dengan klarifikasi dari Kepala Sekolah SMKN 2 Padang yang menyebut bahwa siswi non Muslim memang tidak diwajibkan untuk memakai jilbab.
“Ini aneh kenapa orang jadi ribut-ribut sekarang, bahkan sampai pada tataran anggota DPR mengusulkan agar mencabut aturan kewajibab memakai jilbab buat siswi Muslimah di sekolah negeri. Ini kan sudah sangat kebablasan kalau sudah seperti itu,” ungkapnya.
Aktivis ’98 ini melihat kondisi sekarang, jelas sebenarnya persoalannya tidak hanya sekadar jilbab, tapi sudah masuk ke tataran politis atau politisasi. Sebab pada tahun 2014 di SMA 2 Denpasar Bali juga ada pelarangan jilbab buat siswi Muslim, dan setelah ditelusuri peraturan itu ternyata berlaku di seluruh Bali. Tapi peristiwa itu tidak jadi tuduhan intoleran, tidak jadi viral dan tidak dipolitisi sedemikian rupa, padahal pada kasus di Padang yang diwajibkan memakai jilbab hanya siswi Muslim saja.
“Saya melihat bahwa konteks ini, persoalan ini sudah sampai ke tataran politis. Yang diserang bukan lagi konteks jilbab dan sebagainya, tapi sudah menganggap aturan-aturan Islam itu intoleran dan akhirnya aturan Islam itu dipertentangkan dengan Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika,” bebernya.
Ia memandang, hari ini umat Islam memang mengalami serangan kampanye isu radikalisasi. Kata-kata radikal itu selalu diarahkan kepada umat Islam. Ditambah adanya Perpres tentang rencana aksi nasional terkait dengan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme, itu menunjukan ada yang disebut dengan war on radicalism.
Menurutnya, war on radicalism itu menyasar umat Islam dan ajaran Islam, salah satunya tentang jilbab. Yang arah ke depannya jilbab itu bukan lagi penting dalam pandangan umat Islam “Harapannya masyarakat kita bisa dibangun menjadi masyarakat yang moderat dan sekuler dalam pandangan Barat gitu,” pungkasnya.[] Agung Sumartono