Jatuhnya rezim Suriah sebelumnya menandai titik balik dalam sejarah umat Islam. Hal ini menegaskan bahwa Allah SWT selalu bersama kaum tertindas, bahwa revolusi kaum Muslim tidak pernah mati, dan proyek perubahan yang diperjuangkan oleh putra-putri umat untuk menghidupkan kembali Islam dan melanjutkan penyampaian risalahnya ke seluruh penjuru dunia, belum berhenti. Semua ini terjadi meskipun berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan perjuangannya dan memadamkan apinya, dalam konteks perang peradaban melawan ideologi kapitalis materialistis yang telah menghancurkan baik tanaman maupun manusia. Hal ini terutama bahwa Suriah merupakan salah satu wilayah di negeri syam (Bilād al-Syām), jantung dunia. Konflik yang telah terjadi di sana selama bertahun-tahun merupakan pertikaian peradaban antara umat Islam, yang berusaha mengembalikan peran dan negaranya, dengan kekuatan kolonialisme kapitalis global beserta negara-negaranya, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa jatuhnya rezim ini merupakan langkah penting di jalan menuju perubahan, yang disebabkan oleh campur tangan ilahi, yang dengannya Allah SWT memuliakan kaum Muslim yang tertindas di Syam, yang telah diserang baik dari dekat maupun jauh, oleh apa yang disebut kawan maupun lawan. Keteguhan legendaris selama empat belas tahun merupakan titik balik dalam konflik tersebut, yang fase krusialnya berakhir dengan penarikan diri Iran beserta pengaruhnya yang cepat dan memalukan, yang tak terbayangkan sebelumnya, serta kekalahan partai Iran di Lebanon, juga penarikannya dari arena konflik militer. Keduanya, baik Iran maupun partainya di Lebanon merupakan ujung tombak dan alat penting dalam memerangi proyek umat Islam, yang dengannya umat Islam berupaya untuk mengembalikan kekuasaannya dan menegakkan kembali negaranya.
Penggulingan alat-alat militer yang paling menonjol dalam menghadapi revolusi Suriah yang diberkati akan memiliki dampak besar bagi kawasan, terutama karena revolusi di Suriah memiliki prinsip yang jelas dan spesifik dalam seruannya untuk menggulingkan rezim dan mendirikan Khilafah di atas reruntuhannya. Hal ini membuat seluruh dunia khawatir, sehingga memobilisasi semua kekuatannya untuk berkomplot melawan revolusi dan menentangnya, serta menggunakan alat yang paling kotor untuk memeranginya secara militer melalui mobilisasi sektarian, yang berdampak besar pada revolusi tersebut. Rezim Turki, yang secara politik berjalan pada orbit Amerika, juga memainkan peran utama, terutama setelah ia menguasai proses pengambilan keputusan revolusi.
Rezim Turki melakukan intervensi di Suriah atas arahan dan tekanan Amerika untuk mengendalikan keputusan revolusi, mencegahnya agar tidak lepas kendali, serta menumbangkan keinginan dan keputusan internasional, juga melindungi sekularisme dari keruntuhan di Syam, melalui tipu daya dan tipu muslihat, menyusul kegagalan Iran dalam menjalankan peran militernya.
Zona de-eskalasi dan hasil konferensi internasional berdampak signifikan terhadap kemunduran revolusi Suriah. Iran dan Rusia berhasil menguasai Aleppo pada tahun 2016, disusul oleh keruntuhan dan penyerahan wilayah di Ghouta, Homs, dan Daraa, yang lainnya adalah pedesaan Hama utara dan pedesaan Idlib timur pada akhir tahun 2019. Kejahatan dan pembantaian yang menyertainya hanyalah sebagian kecil dari apa yang disaksikan di Penjara Sednaya. Putin kemudian mengakui bahwa mereka tidak akan mampu merebut kembali Aleppo jika bukan karena temannya Erdogan, yang tidak mengatakan sepatah kata pun. Kenyataan berbicara lebih jujur daripada buku dan pernyataan. Hingga saat-saat terakhir, tepat sebelum peluncuran Operasi Penangkalan Agresi, Erdogan terus menyerukan kepada rakyat Suriah untuk datang ke Turki guna melaksanakan Resolusi 2254, yang menjamin pelestarian rezim sekuler di Suriah. Operasi Penangkalan Agresi menyoroti akar revolusi yang dalam jiwa para putra-putranya, yang berangkat sebagai Mujahidin untuk menghancurkan sisa-sisa rezim yang runtuh, agar akhir dari pertempuran tersebut adalah jatuhnya rezim dan berakhirnya dekade ketidakadilan, tirani, dan kriminalitas, yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern.
Banyak orang yang sepakat bahwa hasil pertempuran itu lebih besar dari yang direncanakan, dan ini adalah berkat karunia Allah SWT yang telah meridhoi kepahlawanan para Mujahid yang tulus dan beriman. Tampaknya rezim Turki ingin mempertahankan sekularisme negara di Suriah setelah jatuhnya rezim kriminal, melalui arahan dan saran yang diberikannya kepada pemerintahan baru di Damaskus. Semua ini terjadi karena ketakutan terhadap orientasi Islam Mujahidin Revolusi Syam dan proyek Khilafah di Suriah, yang telah dan terus menjadi sumber kekhawatiran bagi kalangan pembuat keputusan di Amerika, serta yang mereka upayakan untuk dihilangkan dengan segala cara yang bisa dilakukan, terutama setelah memperoleh basis popularitas yang luas di Suriah dan di kalangan revolusioner serta mujahidin, maka rezim Turki, melalui berbagai alatnya, berupaya mencegah keberhasilan proyek tersebut dan membatasi para pendukungnya.
Saat ini, kita melihat Amerika, sang pengambil keputusan, berusaha keras untuk meniru apa yang disebut model Turki di Suriah. Amerika melakukannya dengan sorotan media dan penipuan besar-besaran, bekerja sama dengan negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk dan Mesir. Amerika melakukan semua ini dengan sangat teliti, dan dengan membuat banyak pembenaran, seperti halnya dengan Turki, yang dilakukan untuk menuntun rakyat Syam ke jalan yang jauh dari sumber kebanggaan dan harga diri mereka yang selama ini mereka cari, dan mereka telah menumpahkan darah dengan cara yang sangat kejam, dalam rangka mengembalikan pemerintahan yang menerapkan syariah Allah SWT di muka bumi, meraih keridhaan-Nya, serta mengubah arah dan jalannya sejarah.
Model pembangunan Turki, yang telah diekspor ke umat Muslim selama dua dekade sebagai pelayan bagi kepentingan internasional dan tatanan global, yang saat ini sedang diupayakan untuk dicopy paste di Suriah. Model ini dicopy paste melalui rezim sipil yang demokratis, dan bentuk sekularisme lunak, dengan menggunakan mereka yang ingin Amerika pasangkan ke tampuk kekuasaan yang dapat diterima olehnya, di antara mereka yang memainkan peran mencurigakan, memiliki kemampuan untuk mengubah posisi, mengubah loyalitas, melanggar syariah Islam, serta melakukan berbagai kejahatan terhadap kaum revolusioner dan mujahidin. Ini adalah peran yang dapat dimainkan setelah rezim Assad runtuh dan pemimpinnya melarikan diri. Oleh karena itu, tekanan diberikan kepada pemerintahan tahap ini untuk mencapai tujuan Amerika dalam mencegah pemerintahan Islam dan pembentukan Khilafah di Suriah. Dengan adanya media dan pertikaian diplomatik antara rezim Turki dan negara-negara Arab yang tampaknya bersikap agresif pada tahap ini untuk mendapatkan konsesi sebesar-besarnya sebagai imbalan atas pengakuan terhadap pemerintahan saat ini, dengan adanya pertikaian media dan diplomatik antara rezim Turki dan negara-negara Arab yang tampaknya bersikap agresif pada tahap ini untuk mendapatkan konsesi sebesar-besarnya sebagai imbalan atas pengakuan terhadap pemerintahan saat ini, serta memberikan dukungan dan penerimaan pada tahap selanjutnya dengan mengembalikan Suriah ke Liga Arab dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konspirasi kekuatan regional dan tatanan internasional untuk menunda kembalinya Islam ke tampuk kekuasaan, in syā Allah, akan menjadi bumerang bagi mereka, karena kita tahu pasti bahwa sistem kapitalis menyimpan benih kehancurannya sendiri, di dalam fondasinya. Hasil yang tak terelakkan akan berupa keruntuhan yang menggelegar. Kaum Muslim saat ini tidak sama dengan seratus tahun yang lalu. Kesadaran adalah ciri khas era ini, dan itulah yang membuat Barat kehilangan kemampuan untuk membakar kartu-kartu yang telah disiapkannya selama beberapa dekade, hanya dalam beberapa tahun. Sebagaimana keteguhan hati rakyat Syam telah mengungkap poros penipuan dan perlawanan, demikian pula apa pun yang di bawahnya akan tumbang. Kehancuran yang dilakukan oleh revolusi-revolusi, setelah penghancuran gerakan-gerakan telah mencapai tahap lanjut, setelah kesadaran politik umat telah tumbuh secara signifikan. Tidak ada konspirator di sini, atau penipu di sana, yang dapat menahannya. Pembangunan yang tidak dibangun di atas prinsip-prinsip yang benar, dasar yang kuat, dan fondasi yang kokoh akan mudah tercabut oleh angin perubahan. Manifestasi pembangunan yang dianut oleh mereka yang ingin meniru model Turki, yang citra dan gemerlapnya memenuhi setiap tempat, dipungkiri oleh fakta-fakta di lapangan, dan akan segera runtuh menimpa kepala mereka yang membangunnya.
Di tengah analisis politik dan keterlibatan para aktor yang terlibat dalam urusan Suriah, kita tidak boleh melupakan peran entitas Yahudi. Di saat umat telah bergerak untuk mengubah keadaannya dan bangkit kembali dari reruntuhan rezim sekuler yang koersif yang memerintah dengan tangan besi selama satu abad yang gelap, negara-negara Teluk, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan UEA, memimpin proyek normalisasi dengan entitas tersebut, berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikannya dan mengintegrasikannya ke dalam kawasan. Padahal, semua itu sudah pasti gagal karena mentalitas Yahudi dan penolakan kaum Muslim yang memandang masalah tanah yang diberkati Palestina sebagai masalah akidah yang sudah tertanam kuat dalam kesadaran umat melalui Al-Quran yang Mulia, masalah yang tidak bisa diabaikan. Akan tetapi, negara-negara ini—bersama Mesir dan Yordania—sedang menempuh jalur normalisasi, dan setelah tumbangnya Assad, bercita-cita memasukkan Suriah ke dalam blok yang tunduk ini. Umat secara keseluruhan menolak keberadaan entitas Yahudi dan menganggapnya sebagai kanker kolonialis yang harus disingkirkan. Namun, para penguasa Arab, antek-antek kaum kafir Barat, justru menanggapinya dengan normalisasi, sehingga banyak umat Islam jatuh ke dalam cengkeraman peran Iran yang mencurigakan dan meragukan, yang disingkap dan dihapus dari kesadaran umat oleh Revolusi yang diberkati di Syam. Banjir Al-Aqsa juga melucuti Iran dari slogan-slogan palsu yang selama ini disembunyikannya.
Peran yang dimainkan oleh rezim Arab dan rezim Turki dalam mempertahankan sekularisme negara di Suriah, adalah tema tahap berikutnya di Suriah, di bawah pengawasan ketat Amerika, dan pengawasan entitas Yahudi, dalam upaya untuk menghilangkan ketetapan dan kekuatan revolusi Syam, menahannya dan mengarahkannya menuju rekonsiliasi dengan lingkungan Arabnya demi stabilitas. Semua ini dilakukan dengan dalih membangun kembali negara yang mereka semua ingin tunduk dan selaras dengan sikap negara-negara regional, untuk menjaga dan melindungi entitas Yahudi, serta stabilitasnya dan stabilitas tatanan internasional yang tidak adil. Pada saat yang sama kuali umat Islam sedang mendidih untuk mencapai proses perubahan yang nyata, perubahan yang menggulingkan batas-batas nasionalistik Sykes-Picot dan menyatukan kembali umat di atas apa yang Allah SWT, Rasul-Nya SAW dan orang-orang beriman cintai. Ini adalah salah satu tujuan tidak langsung dari apa yang dipasarkan di Suriah, karena dampak psikologis positifnya yang besar pada umat, yang bergembira dari ujung ke ujung, atas kemenangan revolusi dan penggulingan tiran Al-Assad. Umat berharap agar penduduk Syam termasuk di antara mereka yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh para penguasa antek, dan agar Syam menjadi titik awal pembebasan umat Islam, dari mimpi buruk rezim sekuler dan nasionalis jahiliyah. Umat berharap agar penduduk Syam mengembalikan peran peradabannya, dengan apa yang dimilikinya berupa warisan yang besar dan sejarah yang luas dalam memukul mundur kampanye yang berusaha membasmi Islam. Syam adalah perisai pelindung umat, yang bangkit dari reruntuhan, mempersembahkan kurban, mengatur ulang waktu, dan mengoreksi jalannya sejarah. Salah satu hal paling jujur yang dikatakan tentang masalah ini adalah bahwa Syam selalu menjadi persimpangan peradaban, dan sekarang berdiri di persimpangan sejarah. Syam harus bangkit dan mengembalikan syariah sebagai mercusuarnya, sehingga umat akan bangkit bersamanya dan terlibat dalam pertempuran kesadaran untuk menyingkirkan dari pundaknya puluhan tahun tirani dan pemerintahan yang menindas, atau itu akan menjadi upaya yang gagal, ditambahkan ke daftar upaya gagal sebelumnya.
Akan tetapi, yang pasti, Syam adalah jantung dār al-Islam (Negara Islam), dan penduduk Syam, khususnya para mujahid, harus tetap teguh dengan perintah Allah SWT, dan tidak tunduk pada keinginan hawa nafsu. Mereka harus terus berkorban, dengan kesadaran dan pemahaman akan konsekuensinya, hingga Syam kembali menjadi jantung dār (negara) kaum Mukmin, dan padang rumput Ghouta yang hijau kembali menjadi kandang-kandang kuda para mujahid yang tak sabar menanti pembebasan Palestina, serta pelataran Masjidil Aqsha, yang tidak akan dibebaskan dan dikembalikan kecuali oleh Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. Dan untuk tujuan seperti inilah, hendaklah diperjuangkan dengan serius dan sungguh-sungguh oleh orang-orang yang tengah berjuang. [] Ahmad Muaz – Suriah
Sumber: Al-Waie (Arab), Edisi 462, 463, dan 464, Tahun ke-39, Rajab – Sya’ban – Ramadan 1446 H./Januari – Februari – Maret 2025 M.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat