Revolusi Micin…
Oleh Ahmad Rizal (direktur Indonesia Justice Monitor)
“Kalau saya nilai sejauh ini, dari kebijakannya itu jelas bukan seorang komunis, jelas bukan marxis, tetapi seorang kapitalis negara, istilahnya state-capitalism,” ucap Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola sebagaimana dikutip dari tribunnews, dalam paparan hasil survei di Kantor SMRC, Jakarta, Jumat (29/9/2017) (http://aceh.tribunnews.com/2017/09/29/jokowi-bukan-komunis-melainkan-state-capitalist-kata-sosiolog-ui)
Ungkapan Tamrin mengkonfirmasi kondisi rezim saat ini. Liberalisasi atas negeri ini semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU Sisdiknas. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah. Demikian seterusnya.
Di negeri, rezim masih mengadopsi prinsip kapitalistik, dimana barang tambang, termasuk minyak, bisa dimiliki oleh individu/swasta. Kalaupun dikatakan bahwa kekayaan alam, termasuk minyak, dikuasai oleh negara, saat ini negara bertindak seperti pemilik, yang lalu memberikan kuasa pengelolaan minyak kepada swasta. Rakyat pada faktanya selalu diposisikan sebagai konsumen. Hubungan pemerintah dengan rakyat pada akhirnya mirip hubungan dagang. Karena itu, wajar jika Pemerintah (sebagai ’pedagang minyak’) seolah begitu sulit menurunkan harga BBM untuk rakyat (sebagai konsumen minyak), namun begitu mudah saat menaikkannya.
Padahal dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan alam, termasuk minyak dan gas, telah ditetapkan oleh Allah sebagai milik umum (rakyat secara bersama-sama). Rasulullah saw. bersabda:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai pemilik kekayaan alam, termasuk minyak, rakyat tentu saja berhak menikmati minyak dengan harga semurah-murahnya. Tidak seharusnya harga BBM dinaikturunkan mengikuti harga pasar internasional. Sebab, rakyatlah pemilik sejati barang tambang, termasuk minyak. Negara hanya bertindak mewakili rakyat dalam mengelola minyak dan gas, sementara hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat, baik secara langsung (dalam bentuk minyak dan gas gratis atau dengan harga murah untuk rakyat) maupun tidak langsung (dalam bentuk pelayanan yang bermutu dan bisa dinikmati oleh semua).
Berbagai kezaliman yang menimpa rakyat dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan sebagainya saat ini pada dasarnya bukan sekadar karena tindakan individual penguasa, namun lebih karena sistem Kapitalisme-sekular yang memang berkarakter zalim, yang saat ini diterapkan. Artinya, kezaliman yang dirasakan rakyat lebih karena kezaliman sistem, bukan sekadar kezaliman individual penguasa. Karena itu, siapapun yang menjadi penguasa dalam sistem yang zalim seperti ini pasti akan bertindak zalim.
Allah SWT telah mengaitkan kezaliman dengan hukum (sistem) yang dipakai oleh penguasa dalam memerintah rakyatnya. Allah SWT, misalnya, berfirman:
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa (wahyu) yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang zalim. (QS al-Maidah [5]: 45).[]