Oleh: Muhammad Amin, dr, M. Ked. Klin, SpMK
Hari ini hubungan ulama dengan umat Islam terbangun tampak kuat dalam tataran spiritual. Dan saat umat Islam dihadapkan pada sejumlah persoalan hidup, umat Islam masih menjadikan ulama sebagai ‘penasihat spiritual’ mereka. Begitupun dalam ibadah ritual atau tradisi keagamaan; mereka tetap merujuk pada ulama. Namun hal ini tidak otomatis terjadi dalam kaitannya dengan pilihan politik sementara kepemimpinan politik kadang dibiarkan diambil oleh para politikus yang sekuler.
Untuk umat butuh kehadiran ulama untuk menjaga umat dari tindak kejahatan, pembodohan dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum liberalis melalui gagasan, keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, ulama juga harus mampu menjelaskan kepada umat Islam kerusakan semua pemikiran dan sistem yang cacat seperti kapitalisme, komunisme, pluralisme, sekularisme dan paham-paham rusak lainnya. Ulama juga harus bisa mengungkap semua niat jahat di balik semua sepak terjang kaum penjajah dan antek-anteknya. Ini ditujukan agar umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.
Ulama juga menjadi pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ulama juga harus mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada ideologis-politis. Dengan demikian, fatwa-fatwa ulama mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan oleh syaikhul Islam mengenai bolehnya kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan Barat pada akhir Kekhilafahan Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru, tetapi juga menjadi penyebab kehancuran Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya visi politis-ideologis ulama pada saat itu. Ulama juga harus membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam yang kuat; mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.
Ulama saat ini perlu meneladani generasi para Sahabat Nabi saw. Kita, misalnya, bisa belajar dari dua ulama Ahlus-Sunnah, seperti Abu Hanifah dan Ibn Taimiyyah. Sejarah tidak pernah melupakan kedua sosok ulama mulia ini. Sebagaimana diketahui, kaum Muslim mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun, dan akhirnya di bawah pimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem setelah dikuasai pasukan Salib selama 88 tahun. Menurut Dr. Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Zhahara Jîlu Shalahuddin wa Hakadza Adat al-Quds, Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang ‘turun dari langit’ dalam mengangkat keterpurukan umat Islam. Ia adalah produk dan bagian sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat.
Dalam lingkup nasional, sejarah juga tidak bisa melupakan peran ulama. Peristiwa 10 November 1945, misalnya, jelas tidak bisa dilepaskan dari peran KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo saat itu segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy’ari guna meminta restu bagi dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.
Akhirnya, ulama maupun umat ini harus kembali menyadari bahwa ‘kekalahan politik’ Islam yang terus-menerus terjadi dan keterpurukan umat ini tidak terlepas dari kelalaian kita untuk terus berjuang menegakkan syariah Islam dalam institusi negara. Hanya dengan syariah kita benar-benar akan meraih ridho Allah SWT.[]