Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 Hendaknya Jangan Lahirkan Rezim Otoriter

Oleh: Aminudin Syuhadak |Direktur Lembaga Analisis dan Kajian Kebijakan Ekonomi dan Politik (LANSKAP)

Terorisme adalah kejahatan dan isu global. Pelakunya harus diberantas oleh aparat. Pasca kejadian-kejadian teror secara beruntun hari-hari ini, pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam rangka meningkatkan pencegahan terjadinya aksi terorisme kembali mencuat. Presiden Joko Widodo meminta DPR segera merampungkan revisi UU Tindak Pidana Terorisme pada Juni 2018. Jika belum kelar, Jokowi mengancam akan mengeluarkan perppu.

Ruh dari Revisi UU terorisme adalah fungsi pencegahan akan ditingkatkan dengan diperluasnya kewenangan penindakan. Kepolisian akan diberikan kewenangan untuk melakukan penahanan sementara dalam jangka waktu yang lebih lama untuk memeriksa terduga teroris. Penahanan sementara itu diusulkan dapat berlangsung sekitar dua pekan. Terduga teroris akan dibebaskan jika tidak terbukti terlibat atau akan melakukan aksi terorisme. Pada tahun sebelumnya muncul usulan-usulan dari politisi mengenai penetapan barang bukti untuk menindak terduga teroris tidak lagi harus seizin ketua pengadilan negeri tetapi cukup dengan seizin hakim pengadilan.

Rencana revisi UU itu harus diperhatikan dengan seksama oleh masyarakat. Jangan sampai rencana revisi UU justru nantinya melahirkan kembali rezim otoriter. Jika intelijen diberi wewenang melakukan penangkapan, berdasarkan penilaian intelijen sendiri, sangat mungkin akan terjadi kembali seperti masa Orde Baru, atau bahkan lebih buruk. Jika revisi membenarkan penangkapan dan penindakan atas niat atau bahkan mengarah pada kriminalisasi ide dan pemikiran, dan keputusannya diserahkan kepada aparat, maka bisa akan lahir kembali rezim otoriter ala Orde Baru atau bahkan lebih buruk.

Dalam kasus terorisme, hendaknya semua pihak, khususnya Kepolisian dan  media massa, tidak serta begitu mudah dan cepat mengaitkan bom itu dengan kelompok, gerakan atau pun organisasi Islam. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Bisa saja peledakan itu melibatkan negara tertentu untuk mengacaukan masyarakat dan negeri ini. Mereka melakukan itu demi kepentingan ekonomi dan politik mereka sambil menyudutkan Islam, syariah Islam, organisasi Islam dan kegiatan dakwahnya serta melakukan rekayasa sistematis dan provokasi keji untuk terus menyudutkan negeri ini sebagai sarang terorisme.

Apabila tragedi-tragedi ini dijadikan sebagai suntikan energi baru untuk makin memperluas program perang melawan terorisme dengan penangkapan-penangkapan dan program perang melawan terorisme ke depan, maka hal itu harus diperhatikan dan diwaspadai, jangan sampai justru makin menambah runyam masalah. Berbagai penangkapan seperti yang terungkap selama ini tak jarang dilakukan secara semena-mena dan zalim, kerap disertai tindakan kekerasan dan perlakuan menghinakan. Hal itu berpotensi justru menimbulkan antipati bahkan dendam. Ujung-ujungnya berpotensi menjadi bara api yang suatu saat bisa saja meletuskan kembali tindakan balas dendam kepada aparat Kepolisian. Sebagian pihak mengungkap, unsur balas dendam itu ada dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya. []

Share artikel ini: