Oleh: Aji Salam (ASSALIM Jatim)
Reshuffle kabinet telah diumumkan sejak selasa yang lalu, namun masih menuai kritik dari sebagian pihak. Jokowi dianggap masih mengabaikan pentingnya assessment integritas calon menterinya. Jokowi belum menggunakan cara-cara ideal menyusun kabinet tetapi lebih dominan pertimbangan chemistry loyalitas dan pertimbangan kekuatan politik.
Boleh jadi, di antara alasan rencana reshuflle dikarenakan ada sejumlah menteri yang memiliki ‘rapor merah’. Namun, sebenarnya bukan hanya sejumlah menteri itu yang rapornya merah. Secara keseluruhan kinerja Pemerintahan Jokowi – Mahfud menunjukkan ‘rapor merah’. Adanya reshuffle itu sendiri menunjukkan bahwa Pemerintah tidak berhasil. Sebab, kalau memang Pemerintah berhasil, tentu tidak perlu ada reshuffle.
Perubahan susunan kabinet (reshuffle) bukanlah hal mendasar dalam konteks perbaikan negeri ini. Pasalnya, dalam konteks pemerintahan, problem mendasar negara ini ada dua: problem personal dan problem sistemik. Terkait problem personal, adanya pergantian anggota kabinet oleh orang-orang yang dianggap lebih profesional mungkin sedikit akan bisa menghasilkan perbaikan. Namun, jangan lupa, problem sistemik berupa penerapan sistem Kapitalisme sekular yang mengarah pada Neoliberalisme saat ini, itulah yang menjadi pangkal mendasar persoalan bangsa ini. Apa artinya Menteri ESDM dan Menteri BUMN diganti, misalnya, sementara UU Omnibuslaw, UU SDA, UU Migas, UU Minerba, atau UU Penanaman Modal-yang nyata-nyata memberikan keluasaan pihak asing untuk menguasai sumber-sumberdaya alam milik rakyat-tidak segera dicabut. Padahal keberadaan UU tersebutlah yang menjadikan negeri ini kehilangan banyak sumberdaya alam. Walhasil, selama UU berbau neoliberal ini tidak segera dicabut dan digantikan dengan UU yang bisa mengembalikan semua sumberdaya alam milik rakyat ke pemiliknya, maka tak mungkin terjadi perbaikan di negeri ini meski beberapa kali terjadi reshuffle.
Selain itu, harus diakui, reshuffle kabinet sering hanya untuk kepentingan elit, yakni sarana bagi-bagi kekuasaan, sarana untuk melakukan tawar-menawar, bahkan sarana untuk saling menyandera para elit politik yang memang menjadi ciri khas di negara yang menganut sistem demokrasi, sebagaimana di negeri ini. Apalagi muncul dugaan dari publik – reshuffle saat ini dianggap penting bagi sebagian elit untuk ancang-ancang menjelang Pemilu 2020. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, jabatan menteri berpotensi menjadi ‘lumbung dana’ bagi partai yang sukses mendudukkan kadernya di kabinet. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Tentu, saya juga sedang bertanya – tanya.[]