Mediaumat.id – Resesi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan harga migas akan mengancam ekonomi dunia dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak terjadi akibat sistem ekonomi kapitalisme menggunakan mata uang kertas.
“Kondisi itu terjadi lantaran sistem ekonomi kapitalisme menggunakan mata uang kertas, jumlah uang yang beredar dikendalikan oleh bank sentral, melalui kebijakan utamanya berupa penetapan suku bunga acuan. Suku bunga acuan tersebut diharapkan akan mempengaruhi perbankan dalam menetapkan suku bunga kredit dan deposito,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Ahad (26/6/2022).
Ishak membeberkan, mata uang kertas juga menjadi sebab nilai tukar antar satu negara dengan negara lain berfluktuasi sehingga negara-negara yang mengandalkan impor dan utang luar negeri akan mengalami dampak buruk ketika nilai mata uang mereka merosot.
Menurut Ishak, kenaikan harga migas merupakan fenomena umum. Namun respons AS dan negara-negara kapitalisme lainnya dalam menyikapi kenaikan inflasi tersebut dengan melakukan pengetatan moneter justru mengakibatkan masalah lain.
Ishak mengungkapkan, inflasi di AS dalam 5 bulan terakhir terus melonjak di atas 7 persen dan pada bulan Mei telah mencapai 8,6 persen. Tingkat inflasi tersebut tertinggi sejak akhir Desember 1981. Penyebab utamanya adalah kenaikan harga energi, seperti BBM dan gas yang masing-masing naik 49 persen dan 107 persen. Inflasi energi tersebut juga berimbas pada berbagai komoditas lainnya.
Untuk mengatasi inflasi tersebut, bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan 0,75 persen, kenaikan tertinggi sejak tahun 1994. Kenaikan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut hingga target inflasi yang diharapkan bank sentral tercapai. Akibatnya biaya konsumsi dan investasi akan semakin mahal, sebab konsumen di AS sangat bergantung pada kredit, khususnya perumahan, kendaraan, dan pendidikan.
Ia melanjutkan, inflasi yang tinggi ditambah dengan suku bunga yang naik signifikan tersebut diperkirakan akan menyebabkan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini, yang hanya tumbuh 1,7 persen, dibandingkan tahun lalu yang mencapai 5,7 persen. Stagnasi pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi sering diistilahkan dengan stagflasi.
Ishak mengatakan, perlambatan ekonomi AS dipastikan akan berdampak pada penurunan ekspor ke negara tersebut. Disamping itu, kenaikan suku bunga acuan di AS akan menyebabkan pelarian modal dari negara-negara berkembang menuju AS, termasuk Indonesia yang meningkat cukup tajam. Sehingga memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah pada akhir Juni hampir mendekati 15 ribu rupiah. Akibat lanjutannya, biaya impor menjadi lebih mahal dan biaya pembayaran utang juga naik.
Ia menegaskan, satu-satunya solusi untuk mengembalikan kestabilan ekonomi global adalah kembali menggunakan mata uang emas dan perak dan menghilangkan praktik ekonomi yang berbasis riba. Hal inilah yang diajarkan oleh Islam dan kelak akan diadopsi oleh sistem khilafah Islam ketika negara itu berdiri. Negara itu akan memimpin penerapan mata uang emas dan perak serta menghapus praktik ribawi di level masyarakat dan bernegara kemudian mendorong implementasinya di level global. Sehingga akan menghapus peran negara-negara kapitalisme raksasa yang selama ini menjajah negara-negara lainnya.
“Dengan demikian, khilafah itu akan menciptakan kemaslahatan bukan hanya pada level negara tetapi juga pada level global,” pungkasnya.[] Agung Sumartono