Rentetan Perkara di Balik Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Persis Machiavellisme?

Mediaumat.info – Upaya mengubah hukum yang menghambat keuntungan dalam hal keberlanjutan kekuasaan seperti kasus Mahkamah Konstitusi (MK) dengan perkara batas usia capres-cawapres berikut rentetan perkara hukum berikutnya, dinilai persis dengan prinsip machiavellisme.

“Ini persis seperti yang dikatakan oleh Machiavelli,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Fokus Spesial: Islam dan Politik, Ahad (24/3/2024) di kanal YouTube UIY Official.

Untuk diketahui sebelumnya, machiavellianisme merupakan suatu bentuk kepribadian yang manipulatif. Saat seseorang dengan kepribadian ini memiliki tujuan, mereka akan memikirkan dan melakukan berbagai cara untuk mencapainya. Sayangnya, mereka tidak memikirkan perasaan orang lain yang terlibat.

Adalah pencetusnya, Niccolo Machiavelli, filsuf asal Italia yang sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Ia orang pertama yang mengemukakan teori negara bangsa, sekaligus pemikir pertama yang memisahkan agama dari politik dan membenarkan negara sekuler.

“Machiavelli pada intinya itu mengatakan bahwa taatlah kamu kepada hukum sepanjang hukum itu memperkokokoh kekuasaanmu; kalau hukum tidak ada maka buatlah hukum untuk memperkokoh kekuasaanmu; kalau hukum itu menghambat kekuasaanmu ubahlah hukum,” papar UIY tentang 3 prinsip machiavellisme.

Celakanya, kata UIY, ketiga prinsip tersebut diberlakukan di negeri ini. “Dan ketiga-tiganya itu dilakukan sekarang,” cetusnya.

Tak ayal, umat bisa membaca bahwa kedaulatan di tangan rakyat itu, itu hanya ilusi pada akhirnya. Tengoklah UU Ormas yang sebelumnya dihasilkan oleh wakil rakyat, lalu diubah dengan perppu yang pada dasarnya produk politik dari seorang presiden, bukan wakil rakyat.

“Akhirnya sebenarnya yang berdaulat itu siapa? Yang berdaulat ya kekuasaan,” tukasnya, yang berarti kedaulatan di tangan umat dalam hal ini perwakilan rakyat, adakah ilusi.

Lantas seperti disebutkan sebelumnya, apabila yang berdaulat adalah kekuasaan, menurut UIY, maka muncul kecenderungan untuk mempertahankan diri dengan melakukan 3 prinsip machiavellisme.

Pentingnya Pondasi Islam

“Ini kan watak dari kekuasaan yang saya kira menggambarkan betapa bahwa ketika kekuasaan itu tidak ada pondasi, pondasinya pondasi sesuatu yang dia itu mempunyai instrumen transendental,” ulasnya, menyinggung ungkapan Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad.

“Kata beliau, apa yang tidak ada pondasinya, dia akan hancur, akan roboh. Seperti bangunan tanpa pondasi pasti akan roboh. Dan apa yang tidak ada penjaga dia akan hilang,” terang UIY, memaknai hubungan erat Islam sebagai pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya.

Sementara, manusia sendiri sarat dengan kepentingan pribadi, kelompok yang cenderung berubah-ubah. Sehingga dalam berdemokrasi misalnya, tak butuh lama untuk suatu hukum kemudian berubah dari semula ditentang menjadi dibolehkan.

Tengok saja sistem ekonomi berbasis riba di negeri ini yang dijamin undang-undang terkait kebolehannya. Di saat yang sama, justru pihak yang menolak dituding bertentangan dengan undang-undang.

Lebih jauh lihatlah perkara seputar LGBT seperti di Amerika Serikat. Setelah 67 tahun dilarang atau dibatasi, kini di semua negara bagiannya harus menerima pernikahan sejenis.

“Melalui voting di Mahkamah Agung Amerika, lima lawan empat, legal di seluruh negara bagian, same sex married, pernikahan sejenis,” ungkap UIY.

Karenanya, sebagai Muslim apalagi di bulan Ramadhan ini, harusnya memikirkan jalan keluar lebih mendasar daripada sekadar perbaikan demokrasi yang menurut beberapa pihak kini telah menyimpang.

Artinya, adalah Al-Qur’an yang apabila dibaca lantas ditadaburi, maka seseorang bakal bersikap tegas mendengar serta taat terhadap seluruh perintah dan larangan Allah SWT yang termaktub di Kalamullah tersebut.

“Ini (manusia) sebenarnya sebagai makhluk ciptaan Allah, itu posisinya adalah posisi untuk, bahasa lugas di dalam Al-Qur’an itu, sami’na wa ata’na,” tegasnya.

Terlebih sebagai umat Islam yang sebelumnya telah berikrar dan bersikap menyerahkan diri kepada sesuatu yang diketahui sebagai Zat Mahatahu, Maha Menguasai, maupun Maha Mengatur, Allah SWT, akan pula bersikap rasional menyakini segala ketentuan dari-Nya pasti baik untuk semua makhluk bahkan semesta alam.

Kata UIY, hal ini betapa tergambar seperti halnya ketika seseorang sakit, lantas kemudian percaya kepada dokter dengan mendatanginya. Semisal lebih dari itu, umat semestinya juga percaya kepada Allah SWT berikut kedaulatan-Nya membuat hukum yang memang diperuntukkan untuk kebaikan manusia.

“Sebenarnya substansi dari apa yang disebut as-siyadatu li asy-syar’iy, kedaulatan di tangan syariat itu, di situ sebenarnya, yaitu sikap percaya dan pasrah itu kepada kehendak Allah,” pungkasnya. [] Zainul Krian

 

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: