Reklamasi 149 Lubang Tambang di IKN Baru Gunakan APBN? IJM Sebut Begini

Mediaumat.id – Terkait dugaan biaya reklamasi 149 lubang tambang batu bara akan ditanggung oleh negara dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan, sistem yang sudah berlangsung lama di negeri ini ibarat sebuah benang kusut.

“Sistem ini sudah berlangsung sekian lama di negeri ini, sehingga sudah menjadi sebuah benang kusut,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (10/3/2022).

Artinya, munculnya skema-skema demikian termasuk pemutihan tanggung jawab tersebut disebabkan karena memang negeri ini dijalankan dengan prinsip korporatokrasi (pemerintahan perusahaan).

“Korporasi dengan birokrasi itu saling bekerja sama melahirkan sebuah sistem, sistem itu memberikan privilege (hak istimewa) kepada segelintir kalangan elite yang mereka bisa mengendalikan ekonomi dan politik di negeri ini,” paparnya.

Sementara bila dibaca lebih lanjut, kata Agung, istilah yang mengacu pada bentuk pemerintahan yang kewenangannya telah didominasi atau beralih dari negara kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga petinggi pemerintah dipimpin secara sistem afiliasi korporasi ini lahir dari sistem kapitalisme.

Sependapat

Sebelumnya, ia sependapat dengan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur (Kaltim) Pradarma Rupang yang juga menduga kuat, biaya reklamasi 149 lubang tambang di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara bakal diambil alih negara, karena negara punya kepentingan mengambil lahan tersebut.

“Saya sependapat dengan JATAM. Jadi saya menduga kuat bahwa 149 lubang tambang ini akan diambil alih tanggung jawabnya dengan pembiayaan dari APBN,” tegasnya.

Dengan kata lain, para pengusaha pemilik izin usaha pertambangan di wilayah tersebut akan terbebas dari kewajiban mereklamasi 149 lubang bekas tambang.

Padahal di sisi lain, konstitusi telah mengamanatkan bagi para pengusaha untuk melakukan reklamasi pasca tambang. “Menurut undang-undang seharusnya mereka memiliki kewajiban untuk mereklamasi lubang tambang tersebut,” tutur Agung.

Diketahui, luas lubang yang dihasilkan dari total 25 konsesi perusahaan tambang di wilayah IKN baru, seluas 256 ribu hektare, yang sebelumnya di perhitungan awal tahun 2019 sudah tercatat 94 lubang tambang di lahan seluas 180 ribu hektare.

Sementara pembangunan kawasan pengembangan IKN Nusantara sendiri seluas 199.962 hektar dari keseluruhan rencana wilayah daratan seluas kurang lebih 256.142 hektar dan wilayah perairan laut seluas kurang lebih 68.189 hektar

Maknanya, dari konteks skema kebijakan dan patut diduga kuat tersebut, yang bakal diuntungkan di sini jelas para pemilik izin usaha pertambangan. Yang celakanya, kalau dibaca lebih dalam, kata Agung, mereka-mereka adalah memang pemilik posisi politik dan ekonomi yang kuat di negeri ini. “Dalam arti lain merekalah para oligarki,” tukasnya.

Menurut Agung, dari skema pemutihan tersebut para oligarki akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, mendapatkan barang-barang tambang yang selama ini mereka keruk dengan keuntungan yang besar. Kedua, keuntungan dengan tidak harus melakukan reklamasi atau pun penutupan lubang tambang.

Padahal, sebagaimana JATAM memperkirakan, biaya mereklamasi 149 lubang tambang itu minimal Rp500 miliar sampai Rp1 triliun yang sekali lagi patut diduga kuat akan menggunakan dana publik/APBN.

“APBN negeri ini kan bukan miliknya Jokowi, miliknya DPR, tetapi milik rakyat. APBN itu bebannya dari dua jalur, utang dan pajak,” ucapnya sembari menjelaskan bahwa beban berat utang dan pajak dimaksud nantinya pun harus ditanggung oleh rakyat.

Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk segera menghentikan sistem ini. “Kalau sistem ini terus berlangsung yang ada adalah kerusakan makin jauh dan akan menyebabkan kerugian pada rakyat Indonesia secara keseluruhan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: