Mediaumat.id – Tak hanya membenarkan persoalan mendasar yang menjadikan pengaturan pasokan batu bara dan CPO dalam negeri menjadi lebih ruwet, Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak pun menyampaikan begini.
“Semestinya, tugas pemerintah saat ini menjamin agar harga domestik ini tetap stabil dengan menjamin kebutuhan domestik agar tetap terpenuhi tanpa perlu melakukan pembatasan harga dan menerapkan pajak ekspor yang merugikan petani perkebunan rakyat,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Ahad (12/2/2023).
Menurutnya, hal ini juga bertentangan dengan konsep Islam. “(Hal ini) juga bertentangan dengan konsep Islam yang melarang adanya pembatasan harga oleh pemerintah,” tambahnya.
Ialah Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri yang sebelumnya menyinggung soal kebijakan pemerintah yang tak karu-karuan dalam menetapkan pemenuhan kebutuhan domestik atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) sawit sejak tahun lalu setelah Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng di seluruh wilayah.
Faisal mengungkit pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar yang menyebut kebijakan itu meniru aturan dalam industri batu bara.
“Nah dikatakan oleh Luhut meniru batu bara. Luar biasa dahsyatnya kerusakan yang terjadi. Tumpang tindih (aturan) enggak karu-karuan. Asal niru,” tuturnya dalam webinar yang diselenggarakan Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023.
Karenanya, lanjut Ishak, pengelolaan sumber energi yang melimpah, dalam hal ini batu bara, semestinya dikuasakan kepada BUMN sebagai perpanjangan tangan daripada pemerintah. “Namun yang terjadi saat ini produksi batu bara didominasi oleh perusahaan swasta,” ucapnya, menyayangkan.
Bukan seperti saat ini, BUMN Bukit Asam misalnya, hanya mampu memproduksi sekitar 5 persen dari total produksi nasional yang mencapai sekitar 600 juta ton per tahun.
Akibatnya, di tengah peningkatan harga batu bara yang mencapai sekitar USD400 per ton pada 2022, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan swasta. Sementara, pemerintah hanya mendapatkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang sedikit.
Bahkan di dalam PP No. 15 Tahun 2022, disebutkan bahwa ketika harga batu bara sama dengan USD100, maka PNBP-nya 28%. Dan kata Ishak, di situ tidak ada pembagian lagi ketika harga batu bara di atas 200 hingga 400 dolar Amerika.
Karenanya, dengan harga DMO batu bara tetap dipatok USD70 per ton dengan biaya produksi berkisar 39-45 dolar AS per ton, pengusaha saat ini telah menikmati untung sekitar 3,44-4,26 miliar dolar AS dengan asumsi kebutuhan DMO batubara 137,5 juta ton per tahun, hanya pada 2021.
Sebagai catatan, ini belum ditambah dengan kenaikan seperti keterangan sebelumnya yang sering meroket. “Ketika harga batu bara terbang dari seratus ke empat ratus (dolar AS), pemerintah tidak mendapatkan penerimaan yang lebih besar,” ujarnya.
Adapun perkebunan sawit, kata Ishak, harusnya ada perbedaan dengan regulasi sektor pertambangan batu bara yang mengacu pada komunitas batu bara sebagai sumber energi yang melimpah.
Menurutnya juga, komoditas ini termasuk yang memang bisa dikuasai oleh swasta dalam pandangan Islam. Dan dalam konteks saat ini produksi CPO didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar swasta sekitar 61 persen, dan perkebunan rakyat sekitar 34 persen, dan sisanya perusahaan besar negara 5 persen.
Namun untuk perkebunan rakyat, pada kenyataannya menjual hasil ke perusahaan besar terutama swasta berikut pajak ekspor mencapai 60-80 persen dari produksi CPO yang memang ditanggung perusahaan besar tetapi ditransfer kemudian ke harga sawit dari perkebunan rakyat.
“Dengan demikian, penerimaan yang diperoleh perusahaan besar lebih dibandingkan perkebunan rakyat,” tandasnya.
Apalagi sebagian dijual ke dalam negeri dalam bentuk bahan makanan atau oleofood, seperti minyak goreng dan margarin; dan bahan produk oleochemical, seperti sabun dan deterjen. Di samping itu, ada program biodiesel 35 persen dari komponen solar.
“Karena biaya produksinya mahal, maka perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari pemerintah lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” tambahnya.
Padahal sumber dana tersebut, ungkap Ishak, diambil dari pajak ekspor yang nantinya kembali ke perkebunan swasta besar. “Solusinya, pengelolaannya harus diserahkan kepada negara seperti yang diatur di dalam Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian