Oleh: Adam Syailindra (Koordinator FAR)
“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” kata Fachrul dalam keterangan resminya, sebagaimana dikutip dari laman berita cnnindonesia.com Kamis (2/7/2020)
Sebelumnya, Kemenag merevisi 155 buku pelajaran agama sejak September 2019 lalu. Upaya itu dilakukan setelah menemukan pelajaran yang tak sesuai konteks zaman, seperti khilafah dan jihad.
Melihat fenomena sekulerisasi kurikulum yang massif terjadi di dunia Islam, setiap orang yang mencermati perubahan yang terjadi secara bersamaan di negara-negara Arab, akan dapat melihat bahwa tujuan dari proses “reformasi pendidikan” tidak seperti yang mereka klaim demi mengembangkan kurikulum dan meningkatkan tingkat intelektual dan pengetahuan mereka pada diri siswa. Sebaliknya, hal tersebut hanya menunjukkan proses perubahan secara fundamental terhadap konsep kurikulum yang didasarkan dan dibangun di atas yang memerintahkan untuk menargetkan agama, nilai-nilai, sejarah dan hukum syara’. Hal inilah yang dimaksudkan dengan melenyapkan identitas Islam. Masalahnya bukan terletak pada penggantian beberapa istilah yang menghasut sensitivitas atau memprovokasi dari hukum-hukum syariah. Sebaliknya, itu adalah sekularisasi secara menyeluruh terhadap program pendidikan sehingga generasi kita dihancurkan, secara intelektual dan dalam hal peradaban dan pengetahuan, di mana mereka tidak lagi memiliki manfaat apapun sehubungan dengan agamanya atau dalam hal pengetahuan.
Krisis yang terjadi di dalam perang melawan kurikulum pendidikan meningkat ketika Amerika memasuki negeri-negeri muslim. Kampanye, konferensi dan seminar berlangsung satu demi satu yang berkaitan dengan masalah sekulerisasi kurikulum dalam dunia Islam, khususnya di wilayah timur tengah dan Teluk Arab. Mereka menjadi bagian dari perang melawan “terorisme” demi menghapus citra negatif terhadap America, entitas Yahudi dan dunia barat pada umumnya. Pernyataan tersebut telah tertulis dengan sangat jelas di dokumen Perjanjian Kamp David serta pada Perjanjian Oslo dan Madrid. Pada tahun 1979, hal-hal ini disebutkan dalam konstitusi organisasi “Islam dan Barat” yang diawasi oleh UNESCO dan dipimpin oleh Lord Caradon: Para penyusun buku sekolah seharusnya tidak menghakimi nilai-nilai baik secara eksplisit maupun implisit, karena hal itu tidak tepat dilakukan oleh mereka, yaitu menjadikan agama sebagai kriteria atau tujuan.
Laporan berturut-turut telah disiapkan oleh sekelompok pengamat politik Amerika seperti No.19 group atau Rand Corporation dan lembaga AIPAC. Mereka telah menyajikan sejumlah studi dan rekomendasi yang diangkat ke badan keamanan nasional AS dan beberapa kepada Presiden secara langsung. Pada beberapa laporan itu menyatakan: “Tujuan dari kampanye Amerika melawan terorisme” dapat menyebabkan kontrol atas generasi yang akan datang untuk jangka waktu sepuluh tahun dan hal ini dapat menjadi obat penenang sementara Namun, mengubah kurikulum pendidikan mulai dari jenjang dasar adalah apa yang menjamin keberadaan generasi non-teroris”
Akibatnya, tujuan dari agenda “sekulerisasi kurikulum” bukanlah menjadi hal yang baru dan fokus utama agenda tersebut terhadap ilmu pengetahuan tidaklah sebanyak fokus mereka terhadap agenda sekularisasi. Hal inilah yang telah menyebabkan banyak dari negeri-negeri Arab menempati tingkat pendidikan global yang rendah menurut laporan luar negeri AS tentang pendidikan di dunia Arab. Oleh karena itu tujuan dari semua fokus ini pada kurikulum tidak akan pernah membawa sebuah revolusi pengetahuan di negeri-negeri muslim, melainkan adalah untuk menyebarkan kebodohan, keterbelakangan dan memotong ikatan mereka dengan Islam.[]