Refleksi Perjalanan Negeri, UIY Sebut Umat Harus Punya Agenda Ini

Mediaumat.info – Melihat perjalanan negeri ini untuk bisa bangkit dari kondisi keterpurukan, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menuturkan, umat Islam semestinya mempunyai agenda yaitu mengislamisasikan politik.

“Umat Islam musti punya agenda, agendanya adalah islamisasi politik,” paparnya dalam Fokus Spesial Refleksi Akhir Tahun, Ahad (31/12/2023) di kanal YouTube UIY Official.

Terlebih, ketika memasuki tahun politik 2024, para kandidat pemimpin daerah hingga pusat, seharusnya tak sekadar berpenampilan islami hanya karena konstituen terbesar Indonesia adalah umat Islam.

Bahkan terhadap partai-partai yang selama ini notabene sekuler dan dalam agendanya telah banyak mencederai kepentingan umat Islam, harusnya juga berubah senantiasa menjadi islami.

Pasalnya, dengan kondisi tiadanya agenda, umat Islam di Indonesia bakal selalu menjadi objek yang bisa ditarik ke sana kemari sebagai alat legitimasi bagi diraihnya kekuasaan, kemenangan dengan pendekatan politisasi Islam.

Padahal, dengan kekuatan jumlah terbesar di dunia, kaum Muslimin di negeri ini berpotensi mampu menjadi subjek.

Seperti diketahui, sejak Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) yaitu sebuah pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan dari organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh Islam se-Indonesia yang pertama pada tahun 1937 hingga ketujuh di tahun 2020 lalu, urai UIY memisalkan, sebenarnya umat Islam memiliki agenda dimaksud.

Adalah agenda untuk menjadikan syariat Islam sebagai solusi atas berbagai persoalan yang dialami bangsa dan negara ini, sebagaimana bunyi salah satu keputusan dari KUII IV yang digelar di Yogyakarta pada 2005 lalu.

Untuk ditambahkan, keputusan itu disampaikan oleh Dr. KH Mohammad Achmad Sahal Mahfudh, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2014. Juga sebelumnya selama dua periode, beliau menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014.

“Itu dibacakan oleh Kiai Sahal Mahfudh waktu itu,” ulasnya, sembari menyampaikan bahwa seketika itu juga dibentuklah semacam tim ad hoc untuk menindaklanjuti keputusan pengurus umat Islam tersebut.

Tetapi sayang, kata UIY, ternyata tidak ada kelanjutan hingga perhelatan-perhelatan KUII berikutnya.

“Kongres itu menjadi sekadar seremonial lima tahunan yang tidak punya makna apalagi punya impak terhadap perbaikan kondisi keadaan umat Islam yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini,” ucap UIY.

Celakanya pula, saat ini umat dipertontonkan betapa lembaga-lembaga keumatan justru dipakai oleh kekuasaan untuk ‘memukul’ saudara seakidah mereka.

Sebutlah salah satunya sikap kesemena-menaan penguasa terkait pembubaran ormas yang lantas tidak ada pembelaan, bahkan terkesan ada persetujuan dari ormas Islam yang lain.

Sementara di saat yang sama, sangat banyak ormas sekuler yang menurut UIY sudah pasti tidak islami. “Kenapa bukan itu yang menjadi perhatian?” herannya.

Hal ini menunjukkan bahwa alih-alih umat Islam bisa memimpin, sekadar melindungi dirinya saja tidak mampu. “Jika begitu keadaannya, maka jangan salahkan siapa-siapa kalau umat Islam terus menjadi objek,” tandasnya.

Kepemimpinan

Lantas agar umat Islam bisa kembali memiliki agenda dimaksud, haruslah mempunyai kepemimpinan. “Untuk bisa punya agenda itu harus ada kepemimpinan, pasti,” tegasnya.

Maksudnya, dikarenakan seorang pemimpin itu harus satu orang, kepemimpinan umat Islam seharusnya pun satu, seperti halnya MUI yang merupakan representasi dari umat Islam di Indonesia di berbagai KUII kala itu.

Karenanya, kendati dihadiri beberapa peserta, UIY tetap mengapresiasi pertemuan yang membahas seputar refleksi akhir tahun perjalanan negeri ini.

Sebab, dari jumlah sedikit apabila senantiasa digelindingkan, kemudian berlanjut dengan komunikasi intensif di antara tokoh-tokoh yang menurutnya masih menjaga ‘kewarasan’, umat akhirnya bisa kembali memiliki agenda tersebut ke depan.

Sekali lagi, adalah agenda perubahan dalam hal ini mengembalikan kehidupan Islam, sebagaimana ia paparkan sebelumnya, yang meskipun belum menjangkau masyarakat secara keseluruhan, setidaknya melekat pada kelompok-kelompok dakwah.

“Agenda itu, itu setidaknya ada pada kelompok, pada jamaah, pada kutlah, entah itu mungkin agendanya Muhammadiyah, NU, agendanya Persis, agendanya Hizbut Tahrir, agenda ini, itu menjadi agenda kelompok yang pasti juga berusaha untuk di introduksi menjadi agenda umat,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: