Refleksi 2024, Pakar Singgung Fiskal Kapitalis dan Dampak Buruknya
Mediaumat.info – Merefleksi perekonomian negeri ini selama 2024, Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim menyinggung kebijakan fiskal ala kapitalis yang berdampak buruk bagi rakyat Indonesia. “Kebijakan fiskal ala kapitalis, yang paling berdampak buruk bagi rakyat Indonesia,” ujarnya kepada media-umat.info, Selasa (31/12/2024).
Dengan kata lain, kebijakan yang berarti menjadikan sektor perpajakan dan penarikan utang sebagai sumber paling dominan berkontribusi dalam APBN ini berdampak buruk terhadap jalannya perekonomian, baik negara terlebih rakyatnya.
Arim memisalkan, pungutan yang bersifat wajib dan memaksa sebagaimana bunyi UU KUP 28/2007 Pasal 1 Ayat 1 tersebut, telah berdampak buruk bagi kelangsungan usaha yang menimpa pengepul susu perah, UD Pramono di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, awal November lalu.
Pemilik UD Pramono yang menaungi 1.300 peternak sapi, Pramono (67), dikabarkan bakal menutup usahanya, dikarenakan pusing dapat tagihan pajak Rp671 juta yang berujung pemblokiran rekening banknya.
“Ya yang paling banyak kebingungan peternak, yang kedua karyawan, yang ketiga ya saya tho. Saya walaupun biasa-biasa tapi ya tetap bingung tho, wong namanya usaha 19 tahun hancur satu kali pukul tho,” ungkap Pramono, Rabu (6/11/2024).
Sementara di saat yang sama, ungkap Arim lebih lanjut, para kapitalis justru diberi hak istimewa seperti tax holiday (penghapusan pajak), tax amnesty (pengampunan pajak) dan insentif lainnya. Artinya, betapa negara dengan mudah mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara.
Sebutlah Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100 persen untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN, pengurangan PPh hak atas tanah/bangunan, dan masih banyak lagi insentif pajak penghasilan di IKN.
Pun demikian dengan pengampunan pajak yang menggunakan dalih mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi pajak dan untuk menutupi besaran defisit APBN 2025, digulirkan RUU Tax Amnesty Jilid III. Padahal di saat yang sama, negara telah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada Januari 2025.
Pemerintahan Kapitalis
“Kebijakan fiskal ini menunjukkan sikap pemerintah yang sangat kapitalis,” tegas Arim, tentang kebijakan fiskal yang disandarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional itu.
Sebab, kembali ia tandaskan, regulasi tersebut telah menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama APBN. Celakanya alokasi terbesar dari penarikan pajak justru digunakan untuk membayar cicilan berikut bunganya.
Sebagaimana catatan Kemenkeu RI, pemerintah telah membayarkan bunga utang sebesar Rp315,6 triliun per Agustus 2024. Sedangkan total pembayaran bunga utang pada APBN 2024 yang harus dilunasi sekitar Rp499 triliun.
Sementara, dikutip dari Laporan Badan Anggaran yang dibacakan Ketua Banggar Said Abdullah pada Rapat Paripurna DPR RI Kamis, (19/9/2024), anggaran untuk pembayaran bunga utang pada 2025 naik menjadi Rp552,854 triliun.
Untuk itu, di tahun 2025 kondisi perekonomian rakyat khususnya umat Islam, bisa dipastikan akan semakin terhimpit. “Kenaikan PPN 12 persen akan menaikkan harga barang termasuk sembako, inflasi semakin tinggi, pertalite rencana dihapuskan atau dibatasi dengan ketat, iuran BPJS kemungkinan naik atau pengurangan item-item yang ditanggung BPJS,” beber Arim.
Pun pemutusan hubungan kerja (PHK) diperkirakan makin masif terjadi pada tahun 2025. Adapun pemantik terjadinya PHK, di antaranya pemberlakuan PPN 12 persen yang berakibat permintaan turun dan produk tidak terjual lantaran pelemahan daya beli.
Harapan Ada pada Islam
Melihat semua itu, kata Arim menuturkan, sebenarnya harapan perbaikan itu ada jika umat bersedia kembali ke Islam dengan menegakkan sistem ekonomi Islam, dan di saat yang sama mencampakkan sistem dan rezim kapitalis.
“Harapan perbaikan ada jika umat Islam mau kembali menegakkan syariat Islam dalam mengatur perekonomiannya dengan mencampakkan sistem dan rezim kapitalis,” tandasnya.
Sekadar ditambahkan, tata kelola sumber keuangan dalam sistem Islam, tidak menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Di dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah, namun secara praktiknya sangat berbeda dengan pajak ala sistem kapitalisme hari ini.
Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga negara, melainkan dipungut dari kaum Muslim yang kaya saja.
Pungutan dharibah dilakukan apabila kas negara kosong, sementara negara harus membiayai kebutuhan yang bersifat genting dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulkan bahaya (dharar). Pungutan ini pun bersifat sementara dan akan berakhir setelah kas negara (baitulmal) sudah terisi kembali.
Di samping itu, Islam memiliki berbagai macam sumber pendapatan negara. Inilah yang membuat negara Islam memiliki sistem keuangan yang kokoh. Perkara ini telah dijelaskan secara rinci oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam (Sistem Ekonomi Islam) yang menjelaskan sistem keuangan negara Islam berbasis baitulmal.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat