Refleksi 2023, Pengamat: Kualitas Pendidikan Masih Rendah

Mediaumat.info – Pengamat Pendidikan Maya Puspitasari, S.Pd., M.Sc., Ph.D. menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia selama tahun 2023 masih rendah.

“Sungguh ironis, di tengah gencarnya pemerintah mengimplementasikan kurikulum merdeka, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (30/12/2023).

Menurutnya, hal ini bisa dilihat dari skor Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember lalu yang menempatkan Indonesia di antara negara tetangga sebagai peraih nilai matematika di bawah rata-rata.

PISA adalah survei internasional kemampuan siswa usia 15 tahun pada literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains. Kegiatan yang diinisiasi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia dan dilakukan setiap tiga tahun.

Dengan kata lain, lanjut Maya, kurikulum merdeka yang mulai dikenalkan pada tahun 2021 sebagai upaya mengurangi learning loss yang disebabkan oleh pandemi misalnya, ternyata belum bisa memecahkan masalah pendidikan di Indonesia.

Belum lagi kasus perundungan dan pergaulan bebas yang masih mewarnai pemberitaan publik.

Mengutip data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sepanjang tahun 2023, terdapat 16.720 kasus perundungan yang dialami oleh anak-anak sekolah. Sementara 10 ribu anak lebih sudah menjadi korban pornografi bahkan sembilan ribu di antaranya memiliki konten pornografi.

Kata Maya, terjadinya kasus-kasus ini bisa menjadi indikasi kegagalan pemerintah menanggulangi persoalan pendidikan.

Padahal salah satu tujuan penggantian kurikulum adalah untuk memeratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Terlebih, seperti tercantum di dalam Pasal 31 UUD 1945, ayat 1 dan 2 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan dan mengikuti pendidikan dasar yang dibiayai pemerintah.

Namun kenyataannya, belum semua rakyat bisa mendapatkan akses ke pendidikan. “Kalaupun ada sekolah yang memiliki fasilitas mumpuni dengan didukung teknologi canggih, biayanya tidak murah,” cetusnya.

Akar Penyebab

“Muara pendidikan di Indonesia bukanlah untuk menghasilkan pribadi-pribadi berkepribadian Islam,” cetusnya lagi, menyinggung penyebab dari kualitas pendidikan di negeri ini yang masih saja rendah.

Celakanya, salah satu indikator lulusan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 20 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan adalah ‘Siswa memiliki perilaku yang mencerminkan sikap beriman dan bertakwa pada Tuhan YME’, tidak bisa diukur dengan alat penilaian yang disediakan dan tidak bisa terintegrasi dengan materi-materi yang diajarkan.

Semisal, guru sains yang menurutnya tidak bisa mengajarkan tentang konsep akidah karena memang tidak diberikan panggung untuk itu.

Lebih dari itu, muara pendidikan di Indonesia adalah untuk karier atau pekerjaan. Ini ditandai dengan guru, siswa, sekolah, orang tua hingga pemerintah yang menjunjung tinggi angka atau nilai.

“Nilai yang didapat akan berkontribusi pada sekolah atau perguruan tinggi mana yang bisa menjadi pilihan,” ulasnya.

Ditambah, pemberlakuan sistem zonasi yang dicanangkan pemerintah, ternyata tidak bisa menghilangkan predikat sekolah favorit di tengah-tengah masyarakat.

“Adanya sekolah favorit ini dengan adanya persepsi bahwa sekolah favorit akan menghantarkan peserta didik pada perguruan tinggi unggulan. Dan perguruan tinggi unggulan akan memudahkan dalam mendapat pekerjaan yang diharapkan,” terangnya menekankan.

Tak ayal, Maya pun menyebut bahwa sekolah saat ini berbanding lurus dengan pekerjaan yang diindikasikan dengan gaji tinggi, yang berarti menggambarkan kerangka kapitalisme-sekularisme.

“Ilustrasi ini menggambarkan bahwa pendidikan di Indonesia dibuat dalam kerangka kapitalisme yang di dalamnya terdapat sekulerisme,” terangnya.

Sementara, fokus pendidikan kapitalisme dan sekulerisme sendiri adalah untuk menyiapkan peserta didik yang siap diserap dalam dunia kerja.

Di sisi lain, penyebab persoalan pendidikan ini karena semangat menuntut ilmu yang notabene kewajiban kaum Muslim plus pembentukan akhlak, tidak dijadikan pedoman.

Maknanya, pendidikan dianggap sebagai investasi sehingga selepas lulus sekolah atau perguruan tinggi, pekerjaan yang didapat haruslah menguntungkan.

Artinya pula, biaya yang dikeluarkan sebelumnya untuk keperluan sekolah, harus tergantikan dengan penghasilan yang tinggi.

Solusi Tiga Pilar

Lantaran itu, setidaknya harus melibatkan tiga pilar dalam menjalankan sistem pendidikan yang berkualitas. “Tiga pilar yang perlu terlibat dalam menjalankan sistem pendidikan yang berkualitas,” tuturnya.

Pertama, adanya individu yang memiliki ketaatan kepada Allah SWT. “Ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan semestinya dituntut, diamalkan dan dicerminkan dalam kepribadian,” kata Maya.

Kedua, masyarakat yang memiliki peran untuk melakukan pengawasan terhadap terselenggaranya pendidikan.

Ketiga, adalah negara yang memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan yang didukung sarana dan prasarana yang mumpuni.

“Seluruh elemen ini menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam rangka ibadah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah SWT,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: