Refleksi 2021, Dunia Islam Masih Tertindas

Mediaumat.id – Kondisi dunia Islam selama tahun 2021 dinilai tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, tertindas. “Dunia Islam (masih) penuh dengan pergolakan, konflik dan terjadi penindasan dan kezaliman,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi dalam Insight #112 Spesial Parade Refleksi Akhir Tahun PKAD: Wajah Dunia Islam Kini dan Nanti, Jumat (10/12/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Lebih lanjut, Farid mengungkap penindasan di Palestina oleh penjajah Yahudi. “Masalah Palestina bisa disebut menjadi masalah yang begitu penting dibicarakan di dunia Islam. Sebab bagaimanapun juga, Palestina adalah tanah yang dimuliakan Allah SWT,” ucapnya.

Bahkan sejak berdirinya entitas penjajah Yahudi yang ditandai dengan Mandat Britania atas Palestina 1920 serta proklamasi kemerdekaan pada 14 Mei 1948, kata Farid, sudah banyak umat Islam di sana yang menjadi korban.

Jutaan umat Islam pun diusir dari tanahnya sendiri. “Banyak di antara mereka yang dibunuh dan dibantai oleh penjajah Yahudi. Dan pembantaian itu berlangsung hingga saat sekarang ini,” ungkapnya.

Namun yang sangat menyedihkannya di tahun 2021 adalah makin menguatnya arus normalisasi di berbagai negeri Muslim. Sebutlah Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko, Yordania atau pun Sudan yang mengikuti langkah Turki yang ternyata telah lama berhubungan dengan penjajah Yahudi.

“Yang pertama kali melakukan normalisasi atau pengakuan terhadap penjajah Yahudi adalah Turki di masa Mustafa Kamal Attaturk,” bebernya dengan menjelaskan pula bahwa sampai sekarang Turki masih memiliki hubungan diplomatik dengan penjajah Yahudi.

Demikian juga yang dilakukan oleh Mesir dengan Anwar Sadat berikut Perjanjian Camp David atau perjanjian damai dengan penjajah Yahudi yang ditandatanganinya pada 17 September 1978 di Washington D.C., Amerika Serikat (AS).

Dari semua negara-negara Arab yang ia sebut, sponsor utama dari normalisasi itu sebenarnya adalah Arab Saudi yang menurutnya sudah lama di bawah kendali Inggris dan AS.

Meskipun belum secara resmi melakukan normalisasi, karena alasan yang Farid sebut terkait dengan lawan-lawan politiknya, namun pertemuan-pertemuan yang bisa disebut tidak rahasia lagi antara Bin Salman dengan pejabat-pejabat Yahudi sudah lama mereka lakukan. “Demikian juga pesawat-pesawat Yahudi melintasi wilayah Saudi. Bahkan ada yang disebut-sebut mendarat di Saudi,” imbuhnya.

Sehingga, lanjut Farid, kejahatan terbesar dari normalisasi yang telah dilakukan para penguasa Arab berupa pengakuan terhadap entitas penjajah Yahudi, juga ia sebut sebagai pengkhianatan terhadap umat Islam.

Begitu pun dengan sikap melegitimasi kebijakan-kebijakan bengis dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan penjajah Yahudi. “Kalau mereka sudah diklaim sebagai sebuah negara, maka mereka berhak atas nama mempertahankan negara, kepentingan negara. Mereka seolah-olah memilki legitimasi melakukan apa pun terhadap umat Islam di Palestina,” jelasnya.

Kepentingan Barat

Penderitaan sama juga dialami umat Islam di berbagai negeri Muslim lainnya yang menurut Farid, setidaknya ada tiga kepentingan negara-negara Barat di dalamnya. Pertama, terkait pengendalian sumber daya alam yang melimpah untuk mengamankan perekonomian mereka.

Kedua, mempertahankan entitas penjajah Yahudi yang menurut Farid, keberadaan entitas penjajah Yahudi merupakan harga mati bagi negara-negara Barat untuk dipertahankan.

Ketiga, mencegah kemunculan kekuatan politik dunia Islam di Timur Tengah yang jelas akan mengancam posisi mereka sebagai penjajah. “Apalagi kemudian kalau di Timur Tengah ini berdiri satu negara yang secara historis pernah mengimbangi Barat, bahkan mengancam kepentingan-kepentingan Barat, yaitu Negara Khilafah,” bebernya.

Sehingga, krisis yang terjadi di Timur Tengah, menurutnya memang tidak bisa dilepaskan dari peran Barat, dalam hal ini AS serta pengaruh Arab spring yang berawal dari Tunisia, 18 Desember 2010 dan menjalar ke Mesir, Libya hingga Suriah.

Kekhasan Suriah

Berikutnya, pergolakan di Suriah yang sudah berlangsung lama tetapi, menurut Farid memiliki kekhasan tersendiri. “Rakyatnya tidak hanya sebatas menginginkan ditumbangkannya rezim Bashar al-Assad, tetapi rakyat juga menginginkan berdirinya pemerintahan Islam,” ucapnya.

“Ini kemudian yang membuat AS dan negara-negara regional di sekitar Suriah, seperti negara-negara Teluk, Saudi, Turki, dsb. itu kemudian ketakutan. Mereka sangat khawatir di Suriah berdiri sebuah pemerintahan Islam yang didasarkan kepada Islam,” sambungnya.

Maka itu, ia tak heran AS melakukan intervensi langsung dengan berbagai cara. Termasuk membiarkan pembantaian, pembunuhan yang dilakukan oleh Rusia terhadap kelompok-kelompok umat Islam di sana.

Sehingga apabila dikaitkan-kaitkan dengan isu yang berkembang Indonesia dengan mengatakan Indonesia akan ‘disuriahkan’, Farid dengan tegas menyampaikan bahwa itu termasuk opini negatif, buruk yang penuh kerusakan.

Turkistan Timur

Pencaplokan wilayah Turkistan Timur berikut Muslim Uighur di dalamnya yang sekarang di sebut oleh Rezim Komunis Cina sebagai Xinjiang, yang berarti wilayah baru, juga menjadi perhatian Farid. “Penggunaan istilah wilayah baru ini sesungguhnya menunjukkan bahwa wilayah ini adalah wilayah yang dicaplok oleh Rezim Komunis Cina,” jelas Farid.

Muslim Uighur, kondisinya kini juga tak jauh beda dengan penindasan kaum Muslimin di beberapa negeri Muslim di Timur Tengah. “Terdapat kamp-kamp politik yang berupaya untuk mengubah akidah umat Islam di sana. Menindas umat Islam di sana dengan berbagai cara,” terangnya.

Terkait itu, Farid lebih mengkhawatirkan kedekatan para penguasa negeri Muslim dengan rezim komunis Cina yang saat ini justru digunakan untuk semakin menindas umat Islam di sana. “Alih-alih penguasa-penguasa negeri Muslim menekan Cina, justru di beberapa tempat di wilayah Timur Tengah memulangkan kembali Muslim Uighur ke Cina,” ucapnya.

Rezim Anti Islam

Demikian juga yang terjadi di India. “India saat sekarang ini berada di bawah rezim Hindu militan yang menggunakan isu-isu anti Islam untuk menarik dukungan dari rakyat mereka,” terangnya.

Belum lagi di Myanmar. “Umat Islam di sana, di wilayah Tarakan itu mengalami penderitaan yang luar biasa. Muslim Rohingya diusir dari tanahnya sendiri,” bebernya.

Bahkan Bangladesh yang merupakan saudara seakidah dari Muslim Rohingya justru memperlakukan para pengungsi dalam keadaan yang lebih mengkhawatirkan. “Mereka sekarang dibangunkan, ditempatkan di satu pulau yang tidak layak, tempat hidup di sana,” ucapnya sedih.

Sementara, lanjut Farid, yang mungkin agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah kondisi umat Islam di Afghanistan dengan pemerintahannya yang didominasi oleh Taliban setelah penarikan pasukan AS dari sana.

Namun, AS dengan exit strategy yang menarik keluar pasukannya dari Afghanistan, diduga banyak pihak dikarenakan beban selama pendudukan langsung terlalu besar. “Di samping banyak korban dari tentara mereka, biaya untuk pendudukan mereka di Afghanistan juga sangat tinggi,” jelasnya.

Strategi itu, ungkap Farid, sebenarnya sudah lama dipertimbangkan AS. Malah sejak era Obama, sudah ada beberapa pemimpin Taliban yang melakukan kontak-kontak dengan AS di Qatar. “Sampai kemudian di masa Donald Trump dibuka secara resmi kantor Taliban di sana,” terangnya.

Sebelumnya, Farid melihat strategi itu akan melumpuhkan pemerintahan Taliban. Terbukti AS kini masih membekukan aset keuangan mereka. “Kemungkinan kondisi seperti ini akan dibiarkan sampai kemudian muncul perlawanan dari rakyat Afghanistan sendiri terhadap pemerintahan Taliban,” prediksinya.

Setelah itu, AS merancang sesuatu semacam pemilu yang seolah-olah datang dari aspirasi rakyat Afghanistan yang tidak setuju atas pemerintahan Taliban. “Terbentuklah nanti pemerintahan yang seolah-olah itu pemerintahan yang demokratis, tetapi pemerintahan yang sebenarnya dikendalikan oleh Amerika Serikat,” tukasnya.

Perlu diketahui juga, bagi AS, cara sebagaimana juga dilakukan di negeri-negeri Muslim lainnya, dari segi ongkos akan jauh lebih murah dan efektif ketimbang pendudukan langsung.

Maka, Farid menegaskan, sejak awal pemerintahan, Afghanistan semestinya memutus total hubungan dengan pemerintahan penjajah AS dan menjadi mandiri serta independen. Pun membuang harapannya kepada PBB demi sekadar pengakuan.

Khilafah Islam

Namun pemerintahan yang mandiri dimaksud, tentu akan sulit kalau pemerintahan Afghanistan tetap membatasi sebagai pemerintahan yang sifatnya regional. “Dalam wujud apa? Dalam wujud Khilafah Islam. Itu nanti yang kemudian memperkuat umat Islam di Afghanistan,” sambungnya.

Di sisi lain, konflik yang menimpa umat Islam di Yaman, ia cermati sebagai perang proksi antara AS dan Inggris.

AS, yang menurut Farid juga ingin memasukkan peran di Yaman, secara tidak langsung mem-backup kelompok Houthi yang juga didukung Iran. Serta mendorong Saudi Arabia dengan negara-negara Teluk lainnya untuk terlibat. “Demikian juga rezim di Yaman yang di-backup oleh Saudi Arabia,” tambahnya.

Hal yang sama juga terjadi di Libya. “Setelah Arab spring di Libya, kondisi di Libya, alih-alih menjadi lebih baik, tetapi tampaknya semakin bisa disebut semakin kacau,” tuturnya.

Bahkan seperti banyak pihak mengetahui, AS ingin berperan di Libya di saat bersamaan, koalisi persatuan di dalamnya yang didukung PBB, didukung penuh pula oleh Eropa dan Inggris. “Tentu (kekacauan) ini akan dibawa ke meja perundingan. Ketika konflik ini dibawa ke meja perundingan, di situlah Amerika berperan lebih besar di dalamnya,” ujar Farid.

Dari sekian banyak konflik perang fisik yang dimunculkan di negeri-negeri Muslim, Farid mengatakan, Barat juga menggunakan perangkat-perangkat ekonomi atau pun politik sebagai bentuk kontrol tanpa sedikit pun persinggungan fisik.

“Tanpa perang juga mereka sudah dikendalikan, seperti Indonesia misalkan. Yaitu berada dalam kontrol Amerika. Demikian juga Cina mulai berpengaruh di dalamnya tanpa kemudian perang,” ungkapnya.

Terakhir, Farid menyimpulkan bahwa selama 2021, wilayah-wilayah kaum Muslimin di dunia telah menjadi tempat pertarungan serta kerakusan dari negara-negara Barat.

Ini juga mencerminkan bahwa nasionalisme, nation state atau negara bangsa di dunia Muslim telah memecah belah umat Islam. “Alih-alih kemudian menyatukan umat Islam, tetapi justru memecah belah negeri-negeri umat Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: