2018 berlalu. Catatan penting untuk rezim sekarang semakin menguat sikap anti Islam, kecendrungan dzolim dan bisa dikatakan rezim gagal. Secara umum rezim sekarang gagal menjalankan tugas-tugas pokok sebagai penguasa. Salah satunya adalah tugas mensejahterakan rakyat, rezim sekarang masih gagal mentuntaskan kemiskinan. Menurut data BPS, pada bulan Maret 2018, masih terdapat 25,95 juta orang penduduk miskin (9,82 persen).
Meskipun diklaim terjadi penurunan, namun jumlah 25,95 juta adalah jumlah yang saat besar. Apalagi mengingat, negeri Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya alamnya.
Sementara itu pelayanan kesehatan masyarakat yang mengandalkan BPJS Kesehatan pun dililit berbagai masalah. Masyarakat semakin banyak mengeluh buruknya pelayanan kesehatan melalui BPJS. Sementara pihak rumah sakit mengeluh BPJS nunggak hutang. BPJS sendiri mengalami kesulitan keuangan, pada tahun 2017 tercatat defisit 9 trilyun rupiah, sementara tahun ini 12 trilyun rupiah. Negara yang seharusnya bertanggung jawab penuh untuk menjamin kesejahteraan rakyat termasuk kesehatan, seolah lepas tangan.
Alih-alih mensejahterakan rakyat, rezim sekarang, dalam kebijakan ekonominya justru semakin liberal. Kekayaan alam yang sesungguhnya merupakan milik rakyat yang harus dikelola negara dengan baik untuk kesejahteraan rakyat, justru banyak dirampok atas nama investasi. Kebijakan mengkaitkan harga BBM dengan harga pasar, yang ditandai dengan kenaikan beberapa jenis BBM, semakin menyengsarakan rakyat.
Hutang yang tentu saja membebani ekonomi terus meningkat. Tercatat pada oktober 2018 utang luar negeri Indonesia menjadi 360,5 milyar US dollar, meningkat 0,7 milyar US dollar dari bulan sebelumnya. Kecendrungan dolar yang terus menguat, berpengaruh besar terhadap harga-harga barang. Ujung-ujungnya, beban ekonomi rakyat semakin sulit.
Kegagalan rezim sekarang juga bisa dilihat dari hampir sebagian besar janji-janji saat Jokowi-JK kampanye gagal dicapai. Publik tentu masih ingat janji Jokowi, untuk tidak bagi-bagi kursi menteri kepada partai pendukungnya. Kenyataanya, hampir sebagian besar menteri berasal dari partai pendukung Jokowi. Janji lain yang dilanggar atau belum tercapai antara lain: pastikan tolak utang luar negeri (sekarang malah bertambah), menghentikan impor daging, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perkikanan, dan manufaktur. Yang terjadi malah sebaliknya, pekerjaan semakin sulit,sementara gelombang pekerja asing terutama dari China meningkat. Janji turunkan harga sembako dan beli kembali Indosatpun belum terwujud. Tidak heran, kalau sebagian publik, menilai, rezim sekarang ingkar janji.
Kecendrungan rezim sekarang semakin dzolim dan represif pun banyak diungkap. Hal yang paling menonjol adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa proses pengadilan. Seperti yang disampaikan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Ismail Yusanto saat menolak keras terbitnya Perppu Ormas, karena sesungguhnya tidak ada alasan yang bisa diterima bagi terbitnya Perppu itu. Menurutnya, UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas adalah peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Perppu tersebut mengandung sejumlah poin-poin yang bakal membawa negeri ini kepada era rezim diktator yang represif dan otoriter. Semestinya Pemerintah menjadi pihak pertama dalam ketaatan kepada hukum. Bukan justru menghindari dan ketika merasa kesulitan dalam menghadapi sebuah Ormas lalu membuat peraturan baru. Secara substansial, lanjut Ismail, dihilangkannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran Ormas (Pasal 61) membuka pintu kesewenang-wenangan karena pemerintah akan bertindak secara sepihak dalam menilai, menuduh, dan menindak Ormas, tanpa ada ruang bagi Ormas itu untuk membela diri.
Rezim sekarang cenderung refresif dengan menggunakan alat-alat kekuasaan yang bekerja cenderung untuk kepentingan rezim. Hal ini diungkap Tom Power (The New Mandala), menurutnya pada tahun 2018 melihat semakin banyak bukti bahwa pemerintah Jokowi mengambil tindakan yang cenderung otoriter dalam menanggapi lawan-lawan politik, Dalam catatannya, upaya pemerintah untuk menggunakan instrumen hukum dengan cara ini telah menjadi jauh lebih terbuka dan sistematis di bawah Jokowi.
Tanda-tanda peringatan dari pergeseran ini tampak jelas ketika Jokowi menunjuk politikus Nasdem Muhammad Prasetyo sebagai jaksa agung—sebuah jabatan yang secara tradisional diperuntukkan bagi orang yang bukan partisan—pada tahun 2014. Dan sesaat setelahnya, Kantor Kejaksaan Agung bergerak untuk melumpuhkan mayoritas koalisi oposisi yang ada pada saat itu, dengan menangkap sejumlah anggota partai oposisi atas tuduhan korupsi.
Menurutnya, pelemahan lebih lanjut terhadap koalisi oposisi dicapai pada tahun 2015–2016, seiring Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggunakan kontrolnya atas verifikasi legal dewan-dewan partai untuk memanipulasi perpecahan dalam Golkar dan PPP, dan akhirnya memaksa mereka masuk ke dalam koalisi yang berkuasa.Investigasi kriminal telah diarahkan pada para penyelenggara dan penyokong kampanye oposisi. Peristiwa penangkapan para kritikus pemerintah yang membingungkan terjadi pada malam aksi 212 di Jakarta pada akhir tahun 2016; kemudian diam-diam dibebaskan begitu krisis berlalu.
Adapun anti Islam, tampak dari tindakan pemerintahan Jokowi seperti mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam, serta mencekal dai, membubarkan, dan menghalangi kegiatan dakwah di sejumlah tempat.Beberapa dai yang dikenal kritis dan berseberangan dengan Jokowi pun dicekal. Aksi Bela Islam, yang berjalan damai, tanpa kekerasan, kemudian dituding didalangi kelompok radikal Islam. Padahal yang dilakukan umat Islam hal yang wajar, menuntut agar penista agama Islam diproses hukum. Demikian pula saat muncul seruan dari para ulama dan ormas –ormas Islam untuk tidak memilih pemimpin kafir seharusnya dilihat sebagai hal yang biasa saja. Karena dalam Islam memang haram memilih pemimpin kafir, namun dicap oleh rezim sekarang sebagai sikap anti kebhinekaan.
Ada kesan kuat yang muncul bahwa ulama dan tokoh-tokoh Islam yang dianggap mengancam kepentingan rezim dikriminalisasi. Ormas Islam dibubarkan secara dzolim tanpa proses pengadilan. Suara umat Islam yang kritis dan berdasarkan syariah Islam pun dibungkam dan dituding sebagai penghasutan, kebencian, makar, anti kebhinekaan, radikal hingga teroris.
Tuntutan penerapan syariah Islam dituding ancaman negara. Kewajiban mengangkat khilafah Islam yang merupakan ajaran Islam dikriminalisasi dan dimonsterisasi.
Saat umat Islam bersama-sama menyuarakan solidaritas mereka untuk saudara muslim Rohingya mereka yang ditindas, muncul tudingan solidaritas muslim Rohingya, digoreng untuk menjatuhkan Jokowi. Tidak hanya itu, dibangun opini pembantaian muslim Rohingya digunakan kelompok-kelompok radikal untuk melakukan tindakan terorisme.
Ketidakadilan sikap aparat penegakan hukum juga dirasakan umat Islam. Dengan alasan menyebarluaskan kebencian, SARA, dan radikalisme, situs-situs yang banyak dimiliki aktifitis Islam, termasuk akun-akun sosial media yang isi bersikap kritis dengan rezim diberangus. Aparat dengan sigap menahan mereka yang berpihak terhadap aksi bela Islam, karena dianggap menyebarkan meme atau tulisan yang dianggap menghina.
Sementara akun-akun pro-Jokowi, yang kerap menghina Islam dan ulama, tampak seperti dibiarkan.
Ulama yang berperan penting dalam aksi bela Islam dikriminalisasi. Ustadz Alfian Tanjung, yang sudah dibebaskan dari pengadilan Surabaya ditangkap lagi. Padahal yang disuarakan adalah ancaman terhadap komunisme/PKI, yang memang masih ada dan berbahaya. Hal yang sama terjadi pada Habib Riziq, Gus Nur, Habib Bahar, dan aktifis Islam yang lain, yang dengan cepat diproses hukum. Sementara itu, Viktor Laiskodat yang dalam ceramahnya menghina ajaran Islam yang mulia Khilafah Islamiyah tidak diproses hukum secara serius, masih bebas.
Tidak hanya itu, Victor juga menuding partai-partai tertentu sebagai pendukung radikalisme. Pidatonya pun seperti memprovokasi masyarakat luas secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan pembunuhan.
Kasus Ade Armando, Permadi Arya, Sukmawati, Grace Natalie yang diadukan karena melakukan penghinaan terhadap agama tidak jelas nasibnya. Melihat ini semua, sudah seharusnya umat memiliki sikap yang jelas terhadap rezim sekarang ini.
Berdasarkan Islam, tentu haram mengangkat pemimpin yang ingkar janji, dzolim, apalagi anti Islam. Rosulullah SAW juga mengingatkan apa yang akan menimpa orang-orang yang mengikuti pemimpin yang bodoh ini. “ Siapa pun yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong kezaliman mereka bukanlah bagian dari aku dan aku pun bukan bagian dari mereka. Mereka tidak akan masuk ke telagaku. Sebaliknya, siapa pun yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong kezaliman mereka adalah bagian dari aku dan aku pun bagian dari mereka. Mereka akan masuk ke telagaku.” (HR al-Hakim).
Dunia Islam Butuh Khilafah
Sepanjang tahun ini, penderitaan umat Islam, masih terjadi di mana-mana, seperti tahun-tahun sebelumnya. Berbagai kawasan dunia Islam dirundung penderitaan. Palestina, negeri yang diberkahi, terus menerus dibombardir penjajah Zionis Yahudi. Hampir setiap hari, ada saja nyawa umat Islam yang melayang, darah umat Islam yang tertumpah. Rumah-rumah umat Islam dihancurkan untuk perluasan pemukiman Yahudi, penghuninya diusir.
Zionis Yahudi pun semakin brutal karena dukungan tanpa batas negara-negara Barat. Simbol dukungan itu diperkuat dengan perpindahan kedubes Amerika secara resmi dari Tel Aviv ke Yerussalem, pada 14 Mei 2018.
Perpindahan ini terjadi di tengah aksi unjuk rasa di Jalur Gaza yang memakan puluhan korban jiwa. Amerika dengan arogannya tanpa memedulikan penguasa negeri Islam yang lemah, menunjukkan dukungannnya terhadap kezaliman Zionis Israel. Sementara penguasa negeri Islam, terutama negara-negara Arab, hanya beretorika, tidak berbuat banyak dan nyata.
Penderitaan kaum Muslimin di Suriah pun menjadi catatan pilu dunia Islam. Sejak pecah konflik tujuh tahun yang lalu. Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia terdapat 364.792 orang telah tewas, sepertiga dari mereka adalah warga sipil. Di tahun 2018 ini, jumlah korban jiwa naik 13 ribu orang dalam enam bulan terakhir. Berdasarkan keterangan lembaga pengawasan di Inggris, jumlah korban tewas ini termasuk para pejuang, pejabat, dan staf medis. Posisi umat Islam pun semakin sulit dan berbahaya setelah menguatnya rezim Bashar Assad belakangan ini. Kota-kota yang menjadi basis perlawanan dibombardir.
Apa yang terjadi di Suriah, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Aksi damai rakyat Suriah pada tahun 2011, sebagai imbas dari Arab Spring, disikapi dengan brutal rezim Bashar. Berbagai penangkapan, penyiksaan hingga pembunuhan terjadi. Rakyat Suriah pun melakukan perlawanan bersenjata. Keinginan mereka untuk menurunkan diktator Bashar dan menerapkan syariah Islam, sangat mengkhawatirkan Amerika Serikat. Apalagi, perang Suriah menjadi magnet kuat bagi mujahidin di seluruh dunia untuk jihad fi sabilillah, untuk membela saudaranya yang ditindas.
Awalnya, Amerika berupaya mencari pengganti Bashar Assad, namun gagal. Kelompok oposisi yang dibentuk Amerika pun gagal. Akhirnya Amerika mengubah kebijakan untuk tetap mempertahankan Bashar sekaligus menghancurkan umat Islam yang menghendaki tegaknya Islam. Caranya dengan membiarkan Iran dan Hizbullah masuk, serta Rusia.
Di Yaman, perang yang sesungguhnya merupakan perpanjangan kepentingan politik Amerika Serikat dan Inggris juga telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa. Menurut Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia, (WFP), David Beasley, Yaman terancam bencana kemanusiaan terburuk di dunia selama tempo 100 tahun terakhir. Berdasarkan data yang dimilikinya jumlah warga yang berada di ambang kelaparan diperkirakan mencapai 12-14 juta jiwa atau hampir 50 persen dari total penduduk Yaman, negara yang terletak di Jazirah Arab.
Serangan koalisi Saudi dukungan Amerika serikat telah membunuh banyak rakyat sipil termasuk anak-anak dan wanita. Jumlah korban tewas di Yaman diperkirakan mencapai puluhan ribu. Organisasi non-pemerintah Menurut Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED), korban tewas di Yaman enam kali lebih tinggi daripada data yang dirilis oleh PBB. Dilaporkan dari Sputniknews, 15 Desember 2018, ACLED mengklaim 60.000 orang tewas secara langsung oleh konflik. Angka ini tidak termasuk, 85.000 anak-anak yang kemungkinan meniggal kelaparan dalam tiga tahun terakhir.
Penderitaan di tempat lain juga masih terjadi di Turkistan Timur. Umat Islam harus menghadapi kekejaman rezim Cina Komunis nyaris sendiri tanpa bantuan dari negeri-negeri Islam. Berbagai cara dilakukan oleh Cina komunis untuk mencabut akar Islam dari bumi Turkistan Timur yang merupakan negeri Islam yang dicaplok Cina. Umat Islam dicuci otaknya untuk melupakan Islam dalam kamp-kamp yang seperti penjara besar. Dilarang untuk beribadah, dipaksa makan daging babi dan minum alkohol. Umat Islam juga disiksa dengan cara yang sangat sadis, wanita-wanita Muslimah diperkosa. Rezim keji ini pun memaksakan ide-ide komunis pro-Cina, mengambil bayi-bayi dan anak-anak dari orang tua Muslim yang masih hidup.
Penderitaan yang sama juga menimpa umat Islam Rohingya di Myanmar, Pattani di Thailand, dan berbagai belahan dunia lain seperti Afrika.
Semua ini terjadi karena di tengah-tengah umat Islam tidak ada kekuatan politik yang sifatnya global untuk menghentikan kekejaman pihak-pihak yang memusuhi umat Islam terutama yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutu penjajahnya. Hal ini tidak akan berlangsung nyaris tanpa perlawanan, kalau di tengah umat Islam ada negara khilafah yang menyatukan umat Islam.
Negara khilafah ala minhajinnubuwah akan melindungi setiap nyawa umat Islam di berbagai kawasan dunia. Sekaligus, mengenyahkan penguasa-penguasa boneka di negeri Islam yang telah berkhianat dengan bersekutu kepada penjajah.
Intinya, umat Islam membutuhkan khilafah ala minhajin nubuwah untuk menyelesaikan berbagai kemelut di negeri Islam. Sementara itu, tegaknya kembali khilafah ala minhajin nubuwah adalah merupakan janji Allah dan Rasul-Nya. Yang dituntut dari kita adalah ikut berjuang untuk menegakkannya. Allahu Akbar! [] Farid Wadjdi