Referendum Papua Bukan Solusi, Papua Butuh Sistem yang Adil
Oleh: Lukman Noerochim (Stafsus FORKEI)
Indonesia sedang berduka. Demonstrasi massif terjadi di beberapa wilayah Papua seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Nabire, Merauke, Paniai, Deiyai, hingga Dogiayai. Beberapa aksi tersebut berujung rusuh, seperti di Manokwari, Sorong, Fakfak, Deiyai, serta Jayapura.
Eskalasi meningkat hingga rusuh menyasar sejumlah bangunan, seperti fasilitas umum, bangunan pertokoan, hingga gedung DPRD menjadi sasaran. Selain masalah rasis, mereka juga menuntut referendum Papua. Bendera dan atribut Bintang Kejora mewarnai aksi mereka.
Menelaah tuntutan Papua memisahkan diri dari Indonesia bukan barang baru. Suara itu sudah muncul sejak RI menganeksasi Papua pada medio 1969, namun kini semakin nyaring dan lantang usai kasus rasial terhadap mahasiswa Papua.
Sebelumnya Indonesia sempat dikejutkan dengan manuver oleh yang menamakan dirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kelompok ini berkeinginan untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang pada waktu akan dibahas di London pada tanggal 3 Mei 2016. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa organisasi sipil di Papua kemudian menggalang dan memobilisasi massa untuk melakukan desakan politik agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG.
Kalau menelisik langkah ini, jelaslah sudah bahwa gerakan meng-internasionalisasikan isu Papua, memang masih cukup gencar dilakukan oleh beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka di dalam maupun di luar negeri. Hal itu semakin diperkuat dengan perkembangan terkini, ketika Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, desakan agar ULMWP menjadi anggota penuh MSG merupakan keinginan murni rakyat West Papua yang menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia, dan seluruh masyarakat Papua yang tergabung dalam KNPB tidak takut jika ditangkap oleh aparat. Coba cermati baik-baik frase yang digunakan KNPB, “Menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia.” Mengerikan bukan?
Beberapa organisasi antara lain Parlemen Nasional West Papua (PNWP) melalui ketuanya Buchtar Tabuni sudah gencar melakukan propaganda terutama melalui media sosial. Isi propaganda Buchtar Tabuni antara lain KTT Pemimpin negara MSG tanggal 14 Juli 2016 mendatang di Honiara nanti memiliki nilai strategis dan bermanfaat menegakkan wibawa dan harga diri bangsa Papua.
Isu kemerdekaan yang terus disebarluaskan oleh kelompok KNPB maupun AMP tidak hanya memicu penolakan atas pergerakan mereka tetapi juga telah memberikan pandangan negatif oleh masyarakat atas kelompok tersebut, sehingga dimungkinkan akan berdampak terhadap tindakan spontanitas yang cukup memojokkan kedua kelompok ini.
Berbagai upaya pemisahan Papua tidak bisa dilepaskan dari kegagalan Pemerintah rezim liberal untuk mensejahterakan rakyat Papua. Meskipun Papua memiliki kekayaan alam yang luar biasa, rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pangkalnya adalah penerapan demokrasi-kapitalisme. Sistem demokrasi telah memuluskan berbagai UU liberal yang mengesahkan perusahaan asing seperti Freeport untuk merampok kekayaan alam Papua.
Penting untuk disadari oleh semua pihak, khususnya rakyat Papua, pemisahan Papua dari Indonesia bukanlah solusi bagi persoalan rakyat Papua. Meminta bantuan negara-negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bunuh diri politik. Memisahkan diri akan memperlemah Papua.
Negara-negara imperialis yang rakus justru akan lebih leluasa memangsa kekayaan alam dan sumberdaya negeri Papua. Pemisahan Papua hanyalah untuk kepentingan segelintir elit politik yang bekerjasama dengan negara-negara asing imperialis.[]