Oleh: Asri Supatmiati
Stt…saya mau ngrasani (membicarakan diam-diam) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Habis, pasca pencabutan status badan hukumnya 19 Juli lalu, HTI terus saja jadi perhatian. Apalagi setelah Perppu Ormas diketok palu jadi UU oleh DPR, dua hari lalu. Lagi-lagi HTI dibuat meradang. Sebab, jika HTI dianggap terlarang versi UU Ormas, aktivitas dakwahnya pasti terhambat.
Dan, bukan hanya HTI, ormas-ormas Islam lain yang dicap radikal bisa kena getahnya. Dihambat dakwahnya. Sekarang saja, pengajian sudah sering dibubarkan. Ulama-ulama dihadang, dipersekusi tak boleh ceramah. Ini negara apa? Sedang konser dangdutan, pesta gay atau miras party ala J&T aja dibiarkan #eh.
Sangat disayangkan, salah satu alasan HTI dilarang, karena mencontoh pelarangan yang sama di beberapa negara. Padahal negara-negara yang melarang HT adalah negara diktator yang dipimpin penguasa otoriter. Dengan melarang HTI di negeri ini, berarti membuka kedok kediktatoran pemerintah sendiri.
Bukti bahwa negara-negara yang melarang HT adalah otoriter, karena mereka hobi membubarkan pengajian dan main ciduk para aktivisnya, tanpa proses pengadilan. Kenapa hal itu ditiru pemerintah Indonesia? Apakah ingin disebut diktator juga?
Padahal, betapa mudahnya “mengadili” HTI dengan cara elegan. Panggil saja pimpinannya. Tinggal WA, apa susahnya. Atau undang by email ke kantornya, wong alamatnya jelas. Diundang televisi aja datang kok, masak diundang pemerintah mangkir. Tanyai, apa sebenarnya visi dan misi HTI. “Adili.” Benarkah HTI membahayakan?
“Kuliti” sampai tuntas, apa maunya HTI. Kalau pimpinannya saja belum cukup, panggillah pengurus-pengurusnya. Mintai pandangan, apakah selama jadi pengurus ada penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam. Sebab, di negeri Muslim terbesar ini, ajaran Islam tidak dilarang. Itu sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. MUI juga udah bilang, HTI bukan aliran sesat.
Memang, konon HTI dilarang karena tergolong Islam radikal. Siapa yang melabeli radikal? Di mana letak radikalnya? Kalau radikal itu dimaksudkan sebagai kelompok yang mengharamkan pemimpin kafir, loh itu ayat Alquran yang bilang. Berani bilang Alquran itu radikal?
Kalau radikal dimaksud sebagai kelompok anti-Pancasila dan NKRI, ah, kudet banget dengan gagasan HTI. Buanyak pemikirannya yang “sangat Pancasilais” daripada yang menuding anti-Pancasila. Seperti menolak referendum Timor Timur, menolak penjualan BUMN, dll.
Kalau radikal itu dimaksudkan kelompok yang suka ngebom sana, ngebom sini, HTI jelas nggak terbukti. Jangankan ngebom, bentrok fisik saja nggak pernah. Kalau ada bom saja, HTI paling lantang mengecam. Geledah aja kantor-kantornya, mana ada bom di sana. Kalau ada, itu pasti fitnah. Sepanjang sejarah dakwah di Indonesia, HTI nggak pernah terlibat kekerasan.
Kalau radikal itu karena HTI dianggap makar, mau kudeta untuk menegakkan Khilafah, wah, hebat bener! HTI itu nggak punya pasukan militer. Nggak punya camp-camp pelatihan fisik. Nggak ada kewajiban bela diri. Nggak ada yang jago dunia persilatan. Kalo ada, wah, sick-pack sick-pack dong aktivisnya. Padahal kenyataannya…hehe… HTI itu katanya cuma jago silat lidah alias omdo. Lah, orang omdo doang kok dianggap bahaya.
Lagian, bodoh namanya kalo mau menggulingkan penguasa dengan cara-cara terbuka. Kalau niat kudeta, menggulingkan pemerintah, ngapain daftar jadi ormas resmi di pencatatan negara. Cukup gerakan bawah tanah dong. Jangan terbuka menyampaikan maksud dan tujuannya. Yah, bakal digebug dengan mudah.
Kalau HTI niat memberontak ala-ala kelompok pengacau keamanan demi menegakkan Khilafah, ya cukup diam-diam. Ngapain punya jubir segala, yang belakangan ini malah dicari-cari. Untuk “diadili” di layar-layar televisi. Lah, salah tempat. Pengadilan udah gak ada, ya? Pak Hakim dan Pak Jaksa ke mana?
Tentang mendirikan Khilafah, yang disangkakan sebagai kesalahan HTI, begini. Istilah Khilafah yang dipelajari itu, semacam kajian Islam saja bahwa dahulu ada Khilafah dan masa nanti di akhir zaman juga akan tegak Khilafah. Keyakinan itu dikaji dan ditelusuri, dicari cara bagaimana metode menghadirkannya kembali.
Dahulu ada masa Khulafaur Rasyidin, dan nanti akan ada Khilafah ala Manhaj Kenabian, sebagaimana dikabarkan Rasulullah SAW. Itu yang diimani HTI. Bahwa dulu ada periode Khilafah Bani Abasiyah, Bani Umayah, dll. Itu semua sejarah Islam yang tak bisa dipungkiri. Sejarah peradaban Islam yang gemilang yang akhirnya runtuh terakhir 1924 akibat keculasan penjajah Inggris. Sejak itu Khilafah tidak eksis di dunia.
Nah, HTI ingin menegakkan peradaban Islam itu kembali. Mengapa? Karena itu kewajiban yang disyariatkan Allah SWT. Saat Islam ditegakkan sebagai sebuah peradaban, akan mewujudkan solusi atas berbagai problematika kehidupan manusia. Sebagaimana peradaban Islam zaman dahulu yang begitu gemilang. Menjadi mercusuar peradaban dunia. Apa yang salah dengan mimpi itu?
Sejatinya, ketika HTI getol mengkaji tentang sistem pemerintahan Islam, sama saja dengan orang sekuler kapitalis getol belajar sistem demokrasi, sistem federal, sistem monarki, sistem kerajaan, dll. Soal nanti apakah sistem Khilafah diterapkan oleh dunia atau tidak, silakan dipelajari. Silakan diuji. Mumpuni mana di antara tiga ideologi: sekuler kapitalis, komunis atau Islam? Sebab, secara garis besar cuma tiga ideologi itu yang ada di dunia.
Jadi, kalo dibilang HTI salah karena memperjuangkan Khilafah, bagaimana dengan para khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib? Apakah sistem yang mereka tegakkan zaman dulu itu salah? HTI memperjuangkan, karena kalo gak diperjuangkan, emang khilafah bakal tegak begitu saja?
Gimana, masih susah mencerna? Gini deh. Sebelum era Orde Baru tumbang, dulu kan juga ada rasan-rasanan (perbincangan dari mulut ke mulut, red) soal udah gak benernya Orba. Lalu tokoh-tokoh tertentu membincangkan sekian hari, sekian bulan, hingga perbincangan itu bak bola salju. Membesar. Menggelinding.
Mereka menggulirkan perlunya reformasi, disebabkan terlalu lama Orba berkuasa dalam kejumudan. Maka perlu ada perubahan. Awalnya satu dua yang berani bicara, lama-lama jadi rasan-rasanan masal. Kemudian, sampai ke telinga orang-orang yang tepat. Tokoh masyarakat. Pentolan umat. Bahkan menteri-menteri di kabinetpun kupingnya ikut panas. Membenarkan rasan-rasan itu, lalu ikut-ikut mundur dari kementerian.
Tokoh nasional, mahasiswa dan rakyat akhirnya setuju dengan rasan-rasan itu. Kompak, menginginkan reformasi. Jadilah kekuatannya membesar. Lama-lama rakyat menuntut adanya perubahan. Mereka turun ke jalan hingga mampu melengserkan Orba. Reformasi damai. Aman. Nyaman. Yah, mirip-mirip begitu.
HTI itu cuma rasan-rasan aja pengin Khilafah. Kalo rasan-rasanan ini nanti sampai ke telinga yang tepat, mereka itu barangkali yang akan menegakkan Khilafah. Misalnya, kalau Pak Presiden mau open mind dan duduk terbuka mendengar mimpi HTI, siapa tahu jadi paham dan mendukung. Siapa tahu. Allah SWT kan maha membolak-balikkan hati. Ya, nggak? Aamiin. ?
Memang, selama rasan-rasan soal Khilafah,ya mau nggak mau HTI kerap membandingkan dengan penerapan sistem sekarang. Otomatis sering mengkritik kebijakan penguasa yang tidak sejalan dengan Islam. Tapi, itu kritik membangun. Ngasih solusi. Bukan cuma memaki-maki. ?
Jadi, mendirikan Khilafah itu bukan tugas HTI semata. Terlalu berat. HTI hanya memberi pemahaman kepada umat, ini loh, ada sistem yang lebih baik dari demokrasi. Kalau demokrasi itu buatan manusia, Khilafah ini wahyu Ilahi. Kalau demokrasi dalam penerapannya sudah compang-camping, kenapa nggak kita tengok alternatifnya. Perkara yang menjadi Khalifah nanti siapa, bukan ambisi HTI.
So, rasan-rasanan ala HTI itu nggak usah dianggap bahaya. Biarkan saja dia mengalir tertiup waktu. Nanti akan terbukti sendiri, apakah rasan-rasanan itu hanya utopi atau bisa terealisasi. Kalau rasan-rasanan itu utopi, toh akan hilang ditelan waktu. Kalau rasan-rasanan itu memang gagasan yang brilian, niscaya akan terwujud tanpa bisa dihadang.?
Dulu, waktu Uni Sovyet mau ganti sistem, asalnya juga dari rasan-rasan gagasan. Ketika gagasan itu sampai ke telinga Presiden Uni Sovyet Michael Gorbachov, tetiba diterapkanlah kebijakan glasnot perestroika. Ketika Jerman Barat dan Timur belum bergabung, juga dimulai dari rasan-rasanan. Warga memendam rasa, pengin menyatukan dua Jerman. Akhirnya tembok Berlin runtuh berkat membesarnya rasan-rasanan.
Nah, bagaimana kalau rasan-rasanan Khilafah yang dibawa HTI kelak akan mewujud? Apakah tidak membahayakan Indonesia? Apakah tidak membahayakan kebhinekaan? Apakah tidak membahayakan non-Muslim? Apakah tidak membahayakan NKRI dan Pancasila? Yaelah, parno amat. Kudet banget! Baca dong, sejarah-sejarah tentang Khilafah. Kaji dong ke ulama-ulama berkompeten. Atau langsung ngaji sono ke HTI. Jangan bisanya cuma menghakimi. Salah tempat ah! Stop ngrasani HTI. Nanti kupingnya panas.[]