Oleh Lukman, Ph.D (Staf FORKEI)
Di akhir tahun 2017 ini, kinerja pemerintahan Jokowi-JK menyisakan masih banyak permasalahan yang secara fundamental belum teratasi. Salah satu janji Jokowi-JK yang terangkum dalam Nawacita menyatakan akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yang termasuk di dalamnya kemandirian energi belum terlihat secara signifikan, Bahkan cenderung mengalami penurunan.
Secara makna kata kemandirian menurut kamus bahasa Indonesia berarti hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Namun kenyataan apa yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi-JK sekarang, di bidang energi kebijakan pemerintahan Jokowi berdampak besar bagi kehidupan rakyat kecil dan cenderung meningkatkan ketergantungan kepada negara lain, seperti pengalihan subsidi BBM ke sektor lain, dengan cara mencabut subsidi premium dan mengurangi subsidi solar dan menyalurkannya subsidi tersebut katanya untuk penggenjotan sektor infrastruktur.
Pengurangan beban subsidi melalui kenaikan harga BBM ini sesungguhnya memang sesuai dengan visi dan misi Jokowi-JK yang dijanjikan saat kampanye pilpres tahun 2014 lalu. Tim sukses Jokowi-JK melontarkan pernyataan bahwa pemerintahan Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan (https://finance.detik.com/energi/2596038/jokowi-mau-hapus-subsidi-bbm-prabowo-kurangi-subsidi-orang-kaya). Pengurangan subsidi itu sudah dilakukan sejak awal pemerintahan Jokowi di tahun 2014. Pemerintah awalnya masih memberikan subsidi BBM sebesar 46,79 juta kiloliter (kl) namun turun drastis menjadi 7,15 juta kl pada semester I/2017. Sedangkan subsidi elpiji dari 4,99 juta metrik ton (mt) diturunkan menjadi 3,10 juta mt.
Demikian juga dengan kebijakan BBM Satu harga, di satu sisi bisa memberikan multiplier effect di daerah-daerah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku tetapi di sisi lain kebijakan ini memakan korban pihak Pertamina sendiri yang mengaku terbebani dengan kebijakan ini (http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/11/17/mengaku-terbebani-kebijakan-satu-harga-pertamina-minta-harga-bbm-naik). Bahkan untuk program satu harga ini khusus di Papua saja Pertamina harus menggelontorkan dana sebesar hampir 800 M dari total target biaya 3 triliun (https://finance.detik.com/energi/3704014/gelar-bbm-satu-harga-di-papua-pertamina-rogoh-rp-800-m). Wow! Sebuah angka nominal yang tidak sedikit bahkan fantastis. Dan tentu saja sebagai konsekuensinya harga BBM bakal dinaikkan di tahun mendatang karena Pertamina sebagai BUMN juga dituntut harus selalu mendatangkan keuntungan. Hingga akhir September 2017, penerapan kebijakan BBM Satu Harga ini sudah mencapai 59 lokasi dari 157 lokasi yang ditargetkan dicapai pada 2019. Tentu saja kita apresiasi kebijakan ini namun seberapa efektifkah pelaksanaannya di lapangan untuk mengendalikan harga BMM ke angka normal? Dan kenyataannya, bak operasi pasar sembilan kebutuhan pokok (sembako), mulanya cara ini efektif untuk menurunkan harga bahan bakar minyak di daerah tersebut. Namun, dalam hitungan jam pasokan BBM di agen resmi ludes diborong para pengecer dan petugas tidak bisa berbuat banyak atas fenomena tersebut (http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/10/28/oyhvhc440-efektifkah-kebijakan-satu-harga-bbm).
Selain capaian itu, penerimaan negara dari sektor migas juga mengalami penurunan secara drastis, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi. Pada 2014, penerimaan migas masih sekitar Rp 320,25 triliun, lalu turun menjadi Rp 92,43 triliun pada semester I/2017. Penurunan pendapatan dari sektor migas lebih banyak disebabkan karena penurunan harga minyak dunia dan lifting migas Indonesia. Tiga tahun lalu, harga minyak dunia masih bertengger sekitar USD 61,23 per barel turun menjadi USD 57,75 per barrel. Sementara lifting migas pada 2014 masih mencapai 794 ribu barel per hari (bph) turun menjadi 729 ribu bph pada semester I/2017, masih lebih rendah ketimbang target lifting yang ditetapkan pada APBN sebesar 815 ribu bph.
Ambil alih Blok Mahakam
Mengatasi penurunan lifting dan dalam upaya meningkatkan kemandirian energi, pemerintahan Jokowi mengambilalih beberapa lahan migas dari kontraktor asing, yang kontraknya sudah berakhir, lalu menyerahkan pengelolaan kepada PT Pertamina (Persero). Misalnya, setelah lebih 50 tahun Blok Mahakam dikuasai Total E&P Indonesie kemudian diserahkan kepada Pertamina pada 2018, saat kontrak berakhir. Meskipun, Total E&P Indonesie masih diberikan kesempatan untuk memiliki saham hingga 39 persen, namun Pertamina akan bertindak sebagai operator Blok Mahakam. Pengalihan pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina ini menunjukkan kelambanan dan keterlambatan pemerintah dalam upaya kemandirian energi dimana di saat cadangan minyak dan gas hanya tinggal sisa sisanya saja kebijakan pengambil alihan ini dilakukan. Pasca mulai diproduksikan dari lapangan Bekapai (blok Mahakam) pada tahun 1974, produksi dan pengurasan secara besar-besaran cadangan oleh Total E&P membuat Indonesia menjadi eksportir LNG terbesar di dunia pada tahun 1980-2000. Kini, setelah selama 40 tahun, sisa cadangan 2P minyak saat ini sebesar 185 juta barel dan cadangan 2P gas sebesar 5,7 TCF. Pada akhir masa kontrak tahun 2017 diperkirakan masih tersisa cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TC (http://ekonomi.kompas.com/read/2015/03/09/102000926/Siapkah.Pertamina.Ambil.Alih.Blok.Mahakam).
Kontrak Freeport
Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa kontrak Freeport harus diperpanjang lagi. Sedangkan jika kontrak tersebut dibiarkan saja selesai di 2021 saja Tambang Grasberg secara otomatis akan diserahkan kepada pemerintah. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan,”Dalam KK itu Freeport masih dapat mengajukan perpanjangan dan hal tersebut diatur di Undang-Undang. Selain itu apakah setelah 2021 itu kita mampu mengelolanya? Secara teknis, engineering, pengelolaan tambang yang begitu kompleks di Mimika perlu transisi. Dalam konteks memiliki 51%, saya kira ini transisi yang sangat baik ” (https://finance.detik.com/energi/3623316/kontrak-freeport-berakhir-2021-kenapa-tidak-disetop-saja). Sedangkan kesepakatan dalam perundingan dengan PTFI antara lain, mengubah kontrak karya (KK) menjadi izin usaha khusus pertambangan (IUPK) dan tiga syarat yang ditetapkan pemerintah kepada PTFI, yaitu smelterisasi, divestasi 51 persen saham, dan tax rezime, sampai saat ini belum jelas. Ketidakjelasan dengan PTFI ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia saat ini dalam hal kemandirian energi masih lemah.
Jeblok di Listrik
Nilai merah capaian kinerja kemandirian energi pemerintahan Jokowi cukup mencolok adalah di program mega proyek 35 ribu MW. Mega proyek, yang ditargetkan selesai pada 2019 mencakup 109 proyek. Rinciannya, sebanyak 35 proyek pembangkit dibangun oleh PT PLN (Persero) dengan total kapasitas 10.681 MW, dan sebanyak 74 proyek dengan total kapasitas 25.904 MW diserahkan kepada perusahaan swasta dalam skema independent power producer (IPP). Hingga memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi, capaiannya masih sangat rendah. Data PLN menunjukkan, dari 35 ribu MW baru 639 MW atau 0,02 persen yang sudah beroperasi secara komersial (commercial operation date/COD). Sisanya, sebesar 10.442 MW atau sekitar 29,83 persen baru memasuki tahap konstruksi. Sedangkan sebesar 7.533 MW atau sekitar 21,52 persen dalam tahap perencanaan. Lalu, sebesar 8.217 MW atau sekitar 23,47 persen baru tahap pengadaan, dan 8.806 MW atau sekitar 25,16 persen sudah diserahkan ke IPP tetapi belum memasuki tahap konstruksi.
Rendahnya capaian tersebut menjadi alasan bagi berbagai pihak untuk mendesak pemerintah merevisi proyek 35 ribu MW, baik revisi terhadap besaran 35 ribu MW yang dianggap terlalu besar maupun revisi terhadap target waktu penyelesaian. Revisi terhadap waktu penyelesaian masih bisa ditolerir. Namun kalau revisi dengan memangkas 35 ribu MW menjadi 20 ribu MW barangkali akan menimbulkan permasalahan serius bagi pembangunan industri. Alasannya, penetapan 35 ribu MW sudah didasarkan pada sisi kebutuhan (demand based) untuk mememuhi 100 persen electricity rate, yang saat ini masih mencapai 92 persen. Selain itu, kapasitas listrik 35 ribu MW juga dibutuhkan untuk memasok perkiraan peningkatan permintaan industri yang menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen.
Selain itu kebijakan pemerintah melalui program pengalihan daya sebesar 4.400 VA bagi semua pelanggan listrik non subsidi yang jumlahnya hampir 66 juta dengan tarif dasar listrik untuk daya 4.400 VA adalah sebesar Rp 1467,28 tentu akan semakin menambah beban kehidupan rakyat. Meskipun pemerintah tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017 dan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 VA, serta 30 persen pelanggan 900 VA, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin. Tetapi hal ini bisa saja berubah jika melihat beban hutang yang dipikul oleh perusahaan plat merah PLN yang akan jatuh tempo di tahun mendatang.
Kesemua ini menunjukkan target kemandirian energi belum sepenuhnya dicapai pada tiga tahun pemerintahan Jokowi. Alih-alih meningkatkan kemandirian energi, yang terjadi sekarang pemerintah malah semakin tergantung dengan bantuan pinjaman dana dan teknologi dari luar negeri terutama dari China. Maka sungguh tidak layak Negara sebesar ini yang di anugerahi Allah Subhanahu wa ta’ala dengan melimpahnya sumber daya alam dan jumlah penduduk muslim terbesar sedunia menjadikan Indonesia negara yang lemah dan tak berdaya. Cengkeraman neoliberalis dan global kapitalis semakin menggurita apalagi mendekati tahun tahun kegaduhan politik di 2018 dan 2019. Hanya kembali kepada aturan Yang Maha Kuasa sajalah solusi total bagi seluruh permasalahan umat manusia khususnya rakyat Indonesia. []