Mediaumat.news – Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) memberikan tiga rapor merah di bidang akidah dan simbol Islam selama 2020.
“Rapor merah rezim di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi di bidang akidah dan simbol Islam selama tahun 2020 kalau kita rinci sangatlah banyak, namun yang paling menonjol ada tiga,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Senin (21/12/2020).
Pertama, monsterisasi terhadap khilafah dan penerapan syariat Islam. Ada upaya untuk mendiskreditkan formalisasi penerapan syariat Islam dan khilafah sebagai konsep bernegara dalam Islam agar ditakuti oleh umat Islam sendiri.
“Monsterisasi biasanya dikaitkan dengan kekejaman ISIS di Suriah, dan juga dikaitkan dengan berbagai macam bentuk pelanggaran atau penyimpangan sejarah khilafah di masa lalu,” ungkapnya.
Bahkan, menurutnya, tidak hanya monsterisasi terhadap khilafah dan penerapan syariat Islam saja tapi juga kriminalisasi kepada para pengemban dakwahnya, ketika mereka menyerukan penerapan syariat dan khilafah Islam seolah-olah dipandang sebagai suatu pelanggaran yang serius, dipandang sebagai orang yang bermasalah. Bahkan ada tokoh yang mengusulkan untuk diproses secara hukum bagi siapa saja yang menyerukan konsep khilafah.
“Nah ini luar biasa terjadi di negeri Muslim dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia tetapi permusuhan kepada konsep bernegara berdasarkan Islam itu demikian parah ya. Dan kriminalisasi kepada para pejuangnya juga begitu luar biasa,” bebernya.
Selain itu, ungkap Ajengan YRT, dipertentangkannya ayat suci dengan ayat konstitusi, seperti yang disampaikan ketua BPIP bahwa ayat konstitusi di atas ayat suci. Yang artinya umat Islam harus menggeser rujukan dari ayat suci ke ayat konstitusi.
Kedua, sikap diam terhadap penghinaan Nabi Muhammad SAW. Ketika dunia mengecam Prancis yang menghina Nabi Muhammad SAW, sikap penguasa negeri ini cenderung basa-basi, tidak melakukan langkah nyata misalnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Prancis atau lebih daripada itu.
“Artinya, penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW masih dipandang sebagai sesuatu yang tidak krusial, yang tidak penting padahal bagi umat Islam ini adalah perkara yang sangat besar. Para ulama sepakat bahwa ini adalah perbuatan haram dan pelakunya harus dijatuhi hukuman mati,” tegasnya.
Ia melihat penghinaan kepada syiar-syiar Islam juga begitu rupa di negeri ini, contohnya bendera tauhid dianggap sebagai sesuatu yang radikal, berbeda jika penghinaannya pada presiden atau tokoh-tokoh tertentu, maka responnya sangat cepat.
“Ini yang terjadi sepanjang tahun 2020 yaitu lemahnya pembelaan penguasa negeri ini atas penghinaan kepada syiar-syiar Islam, Nabi Muhammad SAW, bendera tauhid,” ucapnya.
Ketiga, sinkretisme dan pluralisme. Ia menyoroti tiap akhir tahun terkait dengan Natal dan Tahun Baru, umat Islam senantiasa diarahkan untuk memiliki toleransi. Namun bukan toleransi menghargai keragaman dengan membiarkan mereka melakukan ibadah tapi menarik umat Islam untuk ikut serta dalam ritual ibadah mereka, mengucapkan selamat kepada mereka dan seterusnya. Kalau tidak mau akan dianggap sebagai kelompok yang intoleran.
Ia menilai tiga rapor merah tersebut selalu terulang dan bisa separah itu karena tiga hal. Pertama, karena rezim ini memang banyak yang menduga sebagai rezim anti Islam. Buktinya juga banyak dan kalau dilihat perlakuannya juga berbeda antara kelompoknya dan kelompok Islam.
Kedua, rezim ini tidak menginginkan kebangkitan Islam politik dan ini juga sebagai rangkaian balas dendam kekalahan mereka pada Pilkada 2017, yakni gagalnya Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Sehingga rezim balas dendam dengan membubarkan ormas Islam HTI dan memburu para pimpinan FPI.
Ketiga, akibat kelemahan umat Islam sendiri di dalam memahami Islam secara utuh baik secara akidah maupun syariahnya. Termasuk kelemahan politik umat Islam bahwa kita harus hidup dalam sistem Islam.
“Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk menerapkan Islam dalam semua sisi kehidupan dan itu diwujudkan dengan kekuasaan. Nah kelemahan itulah yang memperparah keadaan umat, jadi umat tidak punya bargaining tidak punya power di hadapan orang-orang yang zalim,” pungkasnya.[] Agung Sumartono