Rangkul Islam dan Gebuk Komunisme, Setuju?

Oleh: Lutfi Sarif Hidayat

Sebelumnya perlu diutarakan kenapa saya mengambil judul tulisan atau pandangan demikian. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, yakni dalam konstitusi dan kemudian juga dalam perundang-undangan termasuk di dalam Perppu Ormas 2/2017 jelas dinyatakan jika Islam tidaklah berseberangan dengan pilar penting di negeri ini. Artinya menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia Islam adalah bagian dari negeri ini.

Islam bagian dari negeri ini tentunya sudah menjadi pemahaman bersama seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hal ini karena Islam menjadi salah saru agama resmi, serta pengalaman panjang sejarah dari Indonesia yang tidak terlepas dari Islam dan umat Islam. Hingga kemudian agama ini memiliki pemeluk yang mayoritas di negeri ini.

Sebaliknya, secara formal berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia. Baik berupa paham komunisme, ataupun dalam bentuk partai komunis. Maka semua itu sebenarnya tidak memiliki tempat di Indonesia. Landasan hukumnya jelas, misalkan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Selain itu juga di dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Termasuk jika membaca Perppu Ormas 2/2017 di dalam jelas dikatakan jika paham yang bertentangan dengan Pancasila salah satunya komunisme, selain marxisme dan leninisme.

Dari sini, maka kemudian saya punya pandangan bahwa siapapun dia, baik warga negara ataupun orang yang diamanahi menduduki jabatan baik eksekutif maupun lainnya semestinya memiliki cara pandang untuk merangkul Islam. Dan sebaliknya harus “menggebuk” segala hal yang jelas dilarang, termasuk komunisme di dalamnya.

Merangkul Islam harus dimaknai luas, yaitu harus mampu memberikan ruang yang proporsional terhadap setiap unsur yang ada di dalam Islam ataupun di dalam tubuh umat Islam. Sebagai gambaran sederhana, harus memberikan kesempatan bagi elemen umat Islam seperti ormas atau kelompok Islam untuk melakukan dua hal minimal, dengan saling berdialog dan sinergi dalam rangka membangun dan memperbaiki keadaan negeri.

Hal lain yang menjadi contoh bagaimana sebenarnya harus merangkul Islam adalah dengan memberikan ruang bagi ajaran-ajaran di dalam Islam guna didiskusikan secara objektif untuk kebaikan bersama. Jika kemudian Islam dinyatakan sudah jelas sejalan dengan identitas negeri ini, maka logikanya semua ajaran-ajaran Islam pasti akan sangat relevan untuk negeri ini. Inilah sebenarnya yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu merangkul Islam dengan segenap unsur di dalamnya.

Hanya saja saya melihat yang terjadi justru sebaliknya. Ada indikasi kuat bahwa yang pemerintah lakukan adalah “memukul” Islam, meski tidak sepenuhnya. Artinya alih-alih pemerintah hendak menyinergikan langkah dengan merangkul Islam, justru terlihat jika kuatnya dugaan pemerintah “memukul” Islam, walaupun tidak seluruhnya.

Saat pemerintah memutuskan untuk membubarkan salah satu ormas Islam dengan payung hukum Perppu Ormas 2/2017 di situlah saya melihat tindakan pemerintah “memukul” sebagian unsur dari Islam, yaitu kelompok Islam dan ajaran Islam yang dibawanya.

Dan di saat yang hampir bersamaan, pemerintah malah memberikan kesan bertolak belakang. Pemerintah seakan “merangkul” komunisme. Namun perlu digaris bawahi, jika saya tidak mengatakan pemerintah sepakat dengan paham komunisme dan menganutnya. Saya hanya ber-hipotesis atau menduga adanya kesan yang begitu kentara jika pemerintah “merangkul” komunisme.

Hal demikian terlihat dengan beragam kedekatan Indonesia dengan Cina, atau lebih khusus Partai Komunis Cina. Dan terbaru adalah adanya sambutan luar biasa hangat kepada Partai Komunis Vietnam, yang dijadwalkan melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 22-24 Agustus 2017 melalui Sekjennya beserta rombongannya.

Kunjungan ini memang bagian dari dinamika dan keputusan politik dari pemerintah. Namun tidak salah jika saya turut berhati-hati dengan membangun pendapat tersebut. Sebab, hubungan politik dengan negara lain tidak menutup kemungkinan akan menentukan arah politik yang tidak hanya diwujudkan dalam kebijakan politiknya, namun sangat mungkin jika masuk dalam ranah ideologi atau substansinya. Tentu, semoga saja tidak demikian.

Terakhir, maknailah pandangan saya ini sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan terhadap negeri dimana saya lahir, belajar dan bahkan mungkin hingga meninggal nanti. Sebuah pesan penting dari salah satu anak negeri asli dari tanah air ini. Sekian. []

 

Jogja, 23 Agustus 2017

*) Penulis adalah Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)

 

Share artikel ini: