RAN PE Justru Merusak Kehidupan Berbangsa?
Mediaumat.id – Program Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAN PE) yang digawangi oleh BNPT, justru malah merusak kehidupan berbangsa.
“RAN PE yang di-leadingsectoril (digawangi) oleh BNPT ini malah merusak kehidupan bangsa dan menjadi persoalan,” ujar Direktur Indonesian Justice Monitor Agung Wisnuwardana kepada Mediaumat.id, Senin (5/12/2022).
Seperti diinformasikan, program yang sudah berlaku sejak 2020 lalu namun dengan payung hukumnya yang baru diluncurkan pada 2021 melalui Perpres tentang RAN PE Tahun 2020-2024, tersebut, pada awalnya memiliki tujuan untuk menangani pemacu terjadinya ekstremisme.
Apa yang disebut pemacu itu (ada) dua. Pertama, kondisi kondusif dan konteks struktural. Kedua, proses radikalisasi. Semisal kesenjangan ekonomi, marginalisasi, diskriminasi maupun tata kelola pemerintahan yang buruk.
Namun berkenaan dengan poin pertama, Agung menyatakan, semua orang telah memahami bahwa kondisi-kondisi kehidupan masyarakat tersebut adalah buah dari penerapan kapitalisme.
Lantas untuk poin kedua, ia malah melontarkan pernyataan tentang pemahaman tertentu yang berakar dari kepercayaan, ideologi, politik, etnis dan perbedaan budaya, jejaring sosial serta kepemimpinan itu lebih sebagai opini daripada fakta. “Istilah radikalisasi dan radikalisme selama ini cenderung menjadi opini daripada fakta,” bebernya.
Sebutlah bagaimana ungkapan BNPT yang menganggap radikalisme di negeri ini adalah suatu gagasan atau ide dan paham yang ingin melakukan perubahan pada suatu sistem sosial politik dengan menggunakan kekerasan dan cara yang ekstrem.
Tak hanya itu, BNPT juga telah mengatasnamakan agama Islam terkait makin menguatnya kelompok ini. “Kebetulan karena di Indonesia mayoritas beragama Islam, maka radikalisme yang menguat itu adalah radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam,” terang Agung.
Terlebih pemetaan yang dilakukan BNPT pun menyasar kepada gerakan politik yang dianggap berkeinginan mengganti ideologi negara dengan menegakkan negara Islam dan atau khilafah, maupun dasar lainnya misalnya NKRI bersyariah, yang justru membingungkannya.
“Menurut saya ini sudah confuse (membingungkan) lagi. Karena khilafah itu ajaran Islam, bersyariah itu juga tuntunan dari Allah SWT dan rasul-Nya,” tandasnya.
Makanya, Agung hanya sependapat dengan poin yang menyebutkan bahwa kelompok radikal adalah kelompok yang mereka (BNPT) lekatkan dengan tindakan kekerasan dalam melaksanakan pandangan dan pemikirannya yang radikal.
“Untuk poin yang terkait dengan kelompok teroris yang melakukan kekerasan, tentu sah-sah saja untuk dilakukan penegakan hukum. Walaupun secara alur penindakan hukum harus diperjelas,” jelasnya.
Dengan kata lain, jangan sampai terulang hal serupa seperti kasus terbaru yang dilakukan oleh Densus 88. “Baru diketemukan buku Iqra’ selanjutnya dijadikan tanda bukti untuk menuduh seseorang diduga teroris misalnya,” ucap Agung, sembari menyebut kasus penangkapan terduga teroris di Dukuh Ngruki, Desa Cemani, Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis (1/11/2022) itu sebagai hal yang lucu.
Oleh karena itu, ia memandang, program RAN PE sejatinya adalah perang melawan Islam berikut ajaran di dalamnya termasuk bentuk sistem pemerintahan Islam, khilafah, serta pengemban dakwahnya.
“Memang faktual di lapangan bahwa cap radikal itu diarahkan pada ajaran atau kelompok Islam yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah,” tandasnya.
Apalagi di dalam RAN PE ini terdapat pelibatan dan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Tak ayal, Agung pun mengatakan, bahwa program tersebut merupakan program ‘perang semesta’ melawan kebangkitan Islam yang menerapkan seluruh syariah-Nya.
Sehingga Agung pun merasakan dampak dari pemecah belahan umat dalam dua tahun terakhir ini. “Yang A disebut radikal, yang B disebut moderat. Kemudian yang moderat seperti ‘didorong’ untuk mempersekusi yang radikal atau melaporkan yang radikal,” lontarnya.
Lantas dari persoalan itu, ia khawatir ujung-ujungnya bakalan makin memperkeruh suasana. Makanya, umat harusnya fokus pada persoalan bangsa ini dalam hal penerapan ideologi kapitalisme liberal yang berbasiskan sekularisme. “Itulah yang harus diselesaikan,” pungkasnya.[] Zainul Krian