Rakyat Amerika Berunjuk Rasa Menentang Genosida Gaza, Namun Kelompok Lobi di Kementerian Pertahanannya Mengobarkan Perang
Di seluruh Amerika Serikat, aksi protes meningkat, dengan para pengunjuk rasa yang begitu peduli terhadap kejahatan genosida yang sedang berlangsung di Gaza. Dari kampus-kampus universitas besar hingga jantung Wall Street, rakyat Amerika menuntut diakhirinya dukungan AS terhadap entitas Yahudi. Sementara rakyat Amerika berunjuk rasa menentang kekerasan, justru pemerintah terus bertindak secara langsung menentang tuntutan rakyat, karena mayoritas rakyat Amerika menentang genosida (Gallup). Hal ini menegaskan tentang dominasi pengaruh kelompok lobi (kepentingan) khusus atas apa yang disebut representasi demokratis.
Dalam dua minggu terakhir, banyak aksi protes di seluruh Amerika Serikat, hal ini menunjukkan penentangan yang meluas terhadap tindakan entitas Yahudi. Universitas Harvard melakukan aksi protes yang dipimpin oleh para profesor “sekolah berasrama” terhadap keputusan pemerintah untuk menangguhkan study para mahasiswa yang terlibat dalam unjuk rasa pro-Palestina. Profesor Kedokteran Klinis Fakultas Kedokteran Harvard, Lara Z. Jirmanus mengatakan, “Pemerintah Harvard telah menciptakan iklim ketakutan di kampus dengan melarang setiap seruan atau protes yang membela kesehatan rakyat Palestina, hak asasi manusia dan kehidupannya” (NBC Boston).
Di Universitas Columbia, ratusan mahasiswa berpartisipasi dalam aksi mogok massal pada tanggal 7 Oktober sebagai bagian dari gerakan pro-Palestina yang lebih luas yang melanda kampus-kampus Amerika. Selain aksi-aksi ini, ribuan pengunjuk rasa, yang dipimpin oleh Gerakan Pemuda Palestina, turun ke jalan di Los Angeles. Protes tersebut, yang menandai peringatan satu tahun Genosida yang sedang berlangsung di Gaza, merupakan salah satu dari lebih dari 55 acara serupa di seluruh negeri (USC Annenberg).
Berbagai aksi protes meluas hingga ke luar kampus, bahkan mencapai pusat keuangan negara. Ratusan pengunjuk rasa, yang dipimpin oleh Suara Yahudi untuk Perdamaian, Jewish Voice for Peace (JVP), berkumpul di Bursa Efek New York di Wall Street. Pesan mereka jelas: Hentikan mempersenjatai entitas Yahudi. Beth Miller, direktur politik Jewish Voice for Peace, mengutarakan sentimen para pengunjuk rasa, “Israel menggunakan bom AS untuk membantai masyarakat di Gaza, sementara pada saat yang sama produsen senjata di Wall Street melihat harga saham mereka meroket” (NBC New York). Dalam aksi protes tersebut lebih dari 200 orang ditahan, hal ini semakin mencerminkan meningkatnya rasa frustrasi publik terhadap kebijakan Amerika Serikat.
Aksi unjuk rasa ini menunjukkan perpecahan yang dalam antara masyarakat Amerika, yang menentang genosida, dan pemerintah Amerika Serikat, yang terus mendukung genosida melalui bantuan keuangan dan militer kepada entitas Yahudi.
Dukungan pemerintah AS yang tak kenal lelah terhadap entitas Yahudi menegaskan dominasi pengaruh berbahaya dari kelompok-kelompok lobi khusus seperti lobi Zionis dan kompleks industri-militer (Military–industrial complex). Kelompok-kelompok ini memiliki kendali kuat atas kebijakan luar negeri AS, yang menjamin bahwa para politisi memprioritaskan kepentingan finansial dan politik mereka di atas suara rakyat. Sungguh kesenjangan antara publik dan pemerintah ini mengungkap kelemahan kritis dalam sistem demokrasi.
Amerika, negara yang mengaku sebagai mercusuar kebebasan dan pelindung hak asasi manusia, tidak lebih dari sekadar kedok. Tangannya berlumuran darah karena berpura-pura mempromosikan perdamaian melalui demokrasi. Namun, demokrasi ini disebarkan dengan menjatuhkan bom dan rudal pada orang miskin dan tak berdaya. Para pembela keadilan di Washington yang menutupi tindakannya dengan bahasa reformasi, sementara pada kenyataannya, mereka menabur korupsi dan kehancuran. Allah SWT membongkar narasi palsu ini, Allah SWT berfirman:
﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ * أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ﴾
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 11-12).
Para pemimpin Washington, yang mengaku memperjuangkan perdamaian, justru mereka adalah pihak yang mempersenjatai dan mendanai entitas Yahudi, serta yang mengobarkan genosida.
Saat ini, kita menyaksikan demokrasi melayani kaum elit. Kelompok lobi di Kementerian Pertahanan memastikan bahwa bantuan keuangan dan militer terus mengalir, terlepas dari protes publik. Kompleks industri-militer (Military–industrial complex) mendapat untung dari perang, menghasilkan miliaran dolar dengan menjual senjata yang memicu kekerasan di seluruh dunia. Akibatnya, politisi menyesuaikan diri dengan kepentingan ini, mengabaikan tuntutan rakyat yang mereka klaim sebagai wakilnya.
Aksi protes di seluruh Amerika menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Amerika menentang genosida di Gaza, namun pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung entitas Yahudi. Kesenjangan yang tampak antara opini publik dan kebijakan pemerintah ini jelas memperlihatkan kemunafikan demokrasi. Suara rakyat diredam oleh kepentingan beberapa kelompok kuat yang diuntungkan oleh perang dan penindasan.
Demokrasi, sejak awal, telah menjadi alat kaum elit, yang dirancang untuk melindungi kekuasaan dan kekayaan mereka. Demokrasi sama sekali tidak pernah benar-benar mewakili keinginan rakyat. Kelompok lobi (kepentingan) khusus, khususnya lobi di Kementerian Pertahanan, adalah pihak yang mengendalikan sistem, dan memastikan bahwa kebijakan berpihak pada mereka yang mendapat keuntungan dari perang dan penindasan. Sementara rakyat Amerika membanjiri jalan untuk memprotes genosida di Gaza, pemerintah mereka, yang digerakkan oleh mereka yang mendapat keuntungan dari konflik tersebut, terus mendanai dan mempersenjatai entitas Yahudi.
Sistem (demokrasi) ini bukanlah sistem kebebasan atau representasi, melainkan sistem eksploitasi. Sistem ini melayani kepentingan orang kaya dan berkuasa, mengabaikan seruan rakyat jelata. Berbagai aksi protes yang sedang berlangsung hanya menyoroti jurang pemisah yang dalam antara keinginan rakyat dan tindakan pemerintah, yang menyingkap bahwa demokrasi hanya sebagai struktur represif yang digunakan untuk kepentingan mereka yang berkuasa, bukan warga negara yang seharusnya dilayaninya. [] Dr. Diwan Abu Ibrahim
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 22/10/2024.
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat